Berita Jateng
Lebih dari 1.000 Karyawan di Jawa Tengah Kena PHK karena Efisiensi
Sejumlah pabrik di Kota Semarang disebut telah melakukan efisiensi terhadap karyawan dalam beberapa waktu terakhir.
Penulis: Idayatul Rohmah | Editor: m nur huda
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Sejumlah pabrik di Kota Semarang disebut telah melakukan efisiensi terhadap karyawan dalam beberapa waktu terakhir.
Data Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Jateng mencatat, karyawan pabrik terkena dampak pemutusan hubungan kerja (PHK) di ibukota Jateng bahkan mencapai 1.000 pekerja.
"Data kami di KSPI (Jateng-Red) sudah mulai masuk yang kena efisiensi. Sekarang ada sekitar 1.000 orang untuk Kota Semarang. Artinya, masih mengalir data-data yang akan kami kumpulkan. Begitu juga kota-kota lain di Jateng," kata Sekjen KSPI Jateng, Aulia Hakim, saat dihubungi Tribun Jateng, Jumat (21/10).
Di Kota Semarang, menurut dia, ada lebih dari tiga perusahaan yang melakukan efisiensi terhadap karyawan. Perusahaan tersebut di antaranya berada di kawasan Kaligawe dan Ngaliyan.
Aulia menuturkan, alasan efisiensi karyawan itu beragam, mulai dari adanya perubahan kepemilikan perusahaan, hingga ketidakmampuan perusahaan dalam menekan biaya operasional. Hal itu berlangsung bahkan setelah meredanya pandemi covid-19.
"Justru setelah pandemi selesai ini (efisiensi karyawan-Red) merangkak. Apalagi ditambah perkembangan terakhir kenaikan harga BBM, dengan inflasi tinggi, semakin (banyak efisiensi-Red). Perusahaan menggunakan alasan bahwa inflasinya tinggi," ucapnya.
Aulia pun meminta pemerintah segera melakukan antisipasi agar tidak terjadi PHK lebih besar lagi.
"1.000-an (karyawan) itu sudah besar. Harapan kami ke depan tidak ada efisiensi lagi. Kalau ada, harapan kami negara ikut bertanggungjawab. Masuknya investasi harus dikontrol agar bermanfaat, berimbang, dan kesejahteraan diperhatikan," tandasnya.
Adapun, buruh di Jateng juga meminta pemerintah menaikkan upah minimum UMK/UMP 2023 sebesar 13 persen. Besaran kenaikan tersebut diusulkan untuk meningkatkan daya beli para pekerja dari berbagai dampak yang dialami.
"Kepada Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, mohon dipertimbangkan dengan matang agar bisa diakomodir untuk (usulan-Red) kenaikan UMK 13 persen itu," tutur Aulia.
Dia menambahkan, kenaikan upah minimum yang diusulkan satu serikat buruh tersebut bukan tanpa alasan. Jika dihitung 3 tahun ke belakang, kenaikan upah yang terjadi di Jateng cukup miris.
Memberatkan
Sementara, Aulia menyebut, harga sejumlah kebutuhan pokok mengalami kenaikan, disusul kenaikan harga BBM. Hal itu dinilai sangat memberatkan bagi para buruh, dan dikhawatirkan akan semakin menurunkan daya beli mereka.
Sementara, usulan kenaikan sebesar 13 persen dihitung berdasarkan jumlah inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Diasumsikan, tahun depan inflasi mencapai 7-8 persen. Adapun proyeksi pertumbuhan ekonomi mendekati 5 persen. Apabila dijumlahkan, total hampir mencapai 13 persen.
"Jika kita tarik ke belakang, dulu terkait dengan efek pandemi telah mengakibatkan jatuhnya daya beli masyarakat. Kajian kami di KSPI, itu (daya beli para buruh turun) mencapai 30-50 persen, apalagi dengan kenaikan BBM ini," terangnya.
