Citizen Journalism
Di Balik Semangat Penggembira Muktamar Muhammadiyah di Solo
Sejak masuk gerbang tol Weleri KM-384 hingga exit tol Bandara Adi Sumarmo di Solo KM-498, kami melihat banyak rombongan bus penggembira menuju Solo.
TRIBUNJATENG.COM - Bakda Sholat Jumat, saya berdua dengan istri berangkat menuju Solo, setelah sebelumnya pamit ke Ibu saya, Hj. Mubayanah (82 tahun).
Beliau salah satu imam mushola putri 'Aisyiyah di kampung Kedonsari, desa Penyangkringan, kecamatan Weleri, kabupaten Kendal. Kampung episentrum gerakan Muhammadiyah di kecamatan Weleri.
Baru kali ini ibu saya absen sebagai penggembira Muktamar ke-48 di Solo karena alasan kesehatan.
Masyarakat Weleri mengenal Kedonsari sebagai "Kampung Solo". Karena penduduknya sebagian besar "singkek" (pendatang) dari daerah Solo dan sekitarnya. Terutama berasal dari kabupaten Klaten, yang sebagian besar berprofesi pedagang di Pasar Weleri. Sebagian lainnya berasal dari Sukoharjo dan Wonogiri, disamping penduduk asli.
Di kampung Solo inilah Muhammadiyah telah hadir sejak era 1960-an. Tidak tahu persis kapan waktunya, yang jelas tahun 1974 saya sudah sekolah di TK ABA dan tahun 1975 masuk kelas 1 MI Muhammadiyah "Klenteng".
Disebut MI klenteng karena lokasinya persis berhadapan dengan Klenteng Weleri. Maka menjadi wajar jika Sekretaris PCM Weleri pertama, seorang muslim Tionghwa.
Bapelurzam (Badan Pelaksana Urusan Zakat Muhammadiyah) Weleri pertama hadir tahun 1979 (59 orang muzakki), dimana hampir sebagian besar (90 persen) muzakki warga kampung Solo.
Sependek pengetahuan saya, Bapelurzam merupakan institusionalisasi gerakan zakat pertama kali di Muhammadiyah. Konseptor, aplikator sekaligus motivator gerakan zakat yang diinisiasi oleh KH Abdul Barie Shoim. Sebagaimana tertera dalam buku "Zakat Kita, Zakat yang Direalisasikan". (PCM Weleri, 1978).
Bapelurzam lahir jauh sebelum LazisMu, LazisNU, Baznas dan berbagai Lembaga Pengelola ZIS lain, sebagaimana diatur dalam UU Zakat. Sebuah gerakan membumikan _Rukun Islam ke-3 (zakat), yang benar- benar tumbuh dari kesadaran umat di tingkat bawah. Saya menyaksikan bagaimana semangat umat di akar rumput dalam membayar zakat, punya semangat yang sama sebagaimana umat menjalankan ibadah sholat, puasa dan haji.
Semangat yang masih terjaga hingga sekarang. Setidaknya terlihat dari besarnya angka perolehan zakat di Ranting Penyangkringan yang mencapai Rp 1 Milyar setahun.

Kalo soal Infaq, Sedekah, Hibah dan Wakaf boleh dikatakan tidak pernah tercatat di Bapelurzam (sekarang LazisMu). Bagi umat, zakat hukumnya "fardhu", sedangkan infaq, sedekah, hibah dan wakaf bukan bagian dari Rukun Islam dan hukumnya "sunah muakad".
Penggembira Muktamar
Warga persyarikatan di kampung kami, hampir selalu berbondong-bondong hadir sebagai penggembira muktamar di manapun diselenggarakan.
Muktamar di Aceh dan Makassar misalnya, sebanyak 1-2 bus (50-100 orang) ikut hadir. Terkadang saya bertanya, apa yang mereka harapkan dan peroleh sebagai penggembira.
Mereka bukan peserta yang memiliki hak suara atau peninjau yang memiliki hak bicara di forum. Mereka bukan kandidat pimpinan yang dicalonkan untuk mengikuti kontestasi muktamar.