Opini
Opini Nanang Qosim: Konsistensi Menjaga Amanah Agama
Indonesia bukan negara agama tertentu, Indonesia juga bukan negara sekuler yang memisahkan antara agama dengan negara secara mutlak. Tetapi bahwa b
Opini Ditulis Oleh Nanang Qosim, M.Pd (Dosen Agama Islam Poltekkes Kemenkes Semarang)
TRIBUNJATENG.COM - Indonesia bukan negara agama tertentu, Indonesia juga bukan negara sekuler yang memisahkan antara agama dengan negara secara mutlak. Tetapi bahwa banyak aturan hukum di Indonesia yang bersumber dari aturan agama yang kemudian menjadi pedoman bagi seluruh masyarakat Indonesia, terlepas dari apa pun agama yang dia anut.
Akibat kentalnya hubungan agama dengan negara di Indonesia, maka para tokoh agama memiliki posisi yang sangat signifikan dalam percaturan hidup bangsa. Karena mereka dianggap sebagai sosok yang punya pemikiran netral dan hanya berorientasi pada kehidupan vertikal kepada Tuhan, tanpa dibalut kepentingan yang dapat merusak tatanan hidup bangsa.
Persoalan muncul, manakala sebagian orang, termasuk mereka yang dinilai memiliki pemahaman lebih terhadap agama sehingga ucapan dan tingkah lakunya kerap menjadi panutan banyak orang. Ironisnya, justru diantara mereka ada yang memanfaatkan agama yang mereka pahami itu untuk kepentingan duniawi yang justru merusak citra mereka sendiri.
Kita dapat saksikan setiap kali ada kegiatan atau perhelatan yang digelar oleh pemerintah misalnya, mereka memiliki tempat yang cukup strategis guna menghargai status yang mereka miliki tentang pemahaman keagamaannya. Namun terkadang karena istimewanya perlakuan yang diterima dari pejabat negara, membuat sebagian dari mereka lupa dengan kapasitas yang diembannya.
Bukan rahasia umum lagi jika ada beberapa tokoh agama di Indonesia yang memanfaatkan “status ketokohan”-nya untuk kepentingan pribadi dan melupakan kepentingan umat yang seyogianya menjadi tanggung jawabnya. Hampir di semua lini kehidupan "termasuk di lingkungan birokrasi" cenderung diwarnai dan ditempati oleh orang-orang yang menjadikan agama sebagai “tameng” untuk mengejar kepuasan pribadi dan golongannya.
Ketika ada perasaan dekat dengan pejabat yang selama ini mengistimewakan mereka karena statusnya sebagai tokoh agama, maka rasa enggan untuk meminta sesuatu yang terkadang jauh dari nilai kewajaran terkikis oleh nafsu yang begitu mendominasi. Banyak cara yang mereka gunakan untuk merayu sang penguasa agar apa yang diinginkan dapat terkabul dengan jalan pintas. Sehingga kesempatan yang harusnya bukan menjadi haknya beralih pada mereka karena ada perspektif yang tertanam kuat apa yang menjadi titah dari tokoh agama adalah sesuatu yang wajib untuk diturutkan.
Inilah yang membuat negara mengalami kemunduran manakala banyak orang-orang yang tidak lagi amanah dengan status dan jabatan yang mereka emban. Tidak hanya di kalangan elite politik saja, amanah rakyat sering tergadai, di kalangan para pemuka agama apa yang menjadi kepentingan umat juga kerap diperjualbelikan untuk kepentingan pribadi.
Rasa malu dan menjaga wibawa sebagai sosok yang memiliki kharisma dan wibawa sebagai wakil Tuhan untuk mengajak umat kepada jalan yang lebih baik, seakan hilang dengan munculnya sifat tamak yang sesungguhnya sangat dibenci tuhan. Lebih dari itu, sifat iri yang terkadang tidak bisa lepas dari setiap insan manusia, termasuk para pemuka agama hipokrit ini, harus berujung pada kerugian orang lain. Karena apa yang mereka katakan kepada para pemangku kebijakan kerap mengubah kebijakan yang dibuat. Sehingga berdampak pada kerugian pihak lain, terutama tidak memiliki kekuatan apa-apa.
Tanpa ada niat untuk mencederai peran dan status sosial yang dimiliki oleh mereka yang mengenakan simbol agama, tulisan ini untuk mengingatkan mereka yang mulai lupa diri sehingga keluar dari koridor keagamaan dan kerap mengurusi hal-hal yang bukan menjadi urusannya. Harus diakui, tentunya masih banyak tokoh agama yang memiliki sifat baik lagi mulia dan senantiasa menjalankan kehidupan sesuai porsi yang dimilikinya tanpa ada hasrat untuk memanfaatkan status sosial yang mereka emban. Jika kita bijak menyikapi tulisan ini, maka sejatinya tokoh agama yang masih berada dalam jalur yang benar-benar diperintahkan oleh Tuhan akan tersenyum membaca tulisan ini. Karena ada pengakuan dalam diri mereka bahwa masih terdapat rekan-rekan sejawat yang memang sudah mulai melenceng dalam memainkan perannya.
Sementara bagi mereka yang memang merasa sebagai oknum yang dimaksudkan dalam tulisan ini, alangkah lebih bijak jika kemarahan yang menghinggapi mereka, diiringi dengan rasa untuk introspeksi diri. Agar wibawa yang mereka miliki di dunia tidak luntur karena sifat hipokrit yang mendominasi dan kemuliaannya di mata Tuhan tidak sirna.
Belajar dari Umar
Jika kita konsisten dengan amanah sebagai wakil Tuhan di muka bumi ini, maka tidak ada salahnya untuk meneladani sifat salah satu sahabat empat Rasulullah saw., yakni Umar bin Khatab. Khalifah Umar yang dikenal sebagai perangai yang sangat beringas sebelum masuk Islam, tapi berubah menjadi lemah lembut setelah masuk Islam. Tanpa kehilangan sikap tegas dan wibawa yang dibawanya, beliau sangat ditakuti dan disegani tidak hanya oleh kalangan umat muslim, namun juga umat agama lain.
Satu kisah penuh teladan yang ditunjukkan Kalihaf Umar "sebagai gambaran jauh dari politik aji mumpung" ialah ketika suatu malam beliau sedang mengerjakan tugas kenegaraan di rumahnya. Ketika itu putranya, Abdullah bin Umar, datang untuk membicarakan suatu hal. Sebelum Umar membuka pintu, ia terlebih dahulu bertanya apa maksud dan tujuan kedatangan Abdullah ke rumahnya. Lantas Abdullah pun menyampaikan maksudnya yang tidak lain untuk membicarakan persoalan keluarga.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.