Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Fokus

Fokus: Bakti Demang Sagopa

KOCAP kacarita, pada Sagopa hanyalah penggembala ternak biasa. Dia tinggal di kampung, Kabuyutan Widarakandang, di tepi Alas Wanamarta, yang merupakan

Penulis: achiar m. permana | Editor: m nur huda
tribunjateng/cetak/grafis bram
ACHIAR M PERMANA wartawan Tribun Jateng 

Tajuk Ditulis Oleh Wartawan Tribun Jateng, Achiar M Permana

TRIBUNJATENG.COM - KOCAP kacarita, pada Sagopa hanyalah penggembala ternak biasa. Dia tinggal di kampung, Kabuyutan Widarakandang, di tepi Alas Wanamarta, yang merupakan batas terluar Kerajaan Mandura.

Sagopa muda sempat merantau, menjadi abdi dalem Kerajaan Mandura. Dia kerap digambarkan sebagai sosok yang hidup sederhana. Yang luar biasa, dia juga menjadi orang kepercayaan Prabu Basudewa lantaran sifatnya yang setia, jujur, dan patuh pada perintah.

Suatu ketika, Sagopa mendapatkan tugas khusus dari Prabu Basudewa untuk mengasuh, mendidik, sekaligus menyembunyikan tiga putranya dari ancaman Kangsa, anak Basudewa dari istri lainnya. Kangsa sesungguhnya bukan anak kandung Basudewa, dalam epos Mahabarata, dia dikisahkan sebagai darah daging Prabu Gorawangsa, raja raksasa dari Kerajaan Guwabarong.

Ketiga putra raja Mandura itu, Kakrasana, Narayana, dan Rara Ireng, terancam keselamatannya oleh Kangsa. Di kemudian hari, ketiga putra raja itu menjadi orang penting di jagat pewayangan. Kita mengenalnya sebagai Prabu Baladewa, Prabu Kresna, dan Dewi Wara Sembadra, istri ksatria berjuluk Lelananging Jagad: Arjuna.

Kangsa melakukan pelbagai upaya untuk membunuh Kakrasana bersaudara. Dengan berbagai kesulitan, Demang Sagopa dan istrinya, Nyai Sagopi, berhasil menunaikan tugas itu dengan baik.

Dalam banyak hal, Demang Sagopa juga banyak berjasa pada Kerajaan Mandura. Dia dianggap menyelamatkan nama baik kerajaan, berkait dengan skandal yang terjadi di sana.

Atas kesetiaan dan jasa Sagopa, penguasa Kerajaan Mandura pun menunjuknya sebagai demang di Widarakandang dan menjadikan kampung itu sebagai perdikan. Jabatan yang kemudian melekat pada namanya: Demang Sagopa. Dalam versi lain, dia juga disebut sebagai Demang Antagopa.

“Dadi wong kudune ya ngono-a, Kang. Unjuk jasa, ora kakehan petingsing, ora mung leda-lede kaya sampean,” tiba-tiba Dawir, sedulur batin saya, nyeletuk.

Entah mengapa, kisah Demang Sagopa tiba-tiba menyeruak ke benak, di tengah riuh rendah demo para kepala desa di depan gedung DPR. Para kepala desa ramai-ramai menyerbu Gedung yang dirancang oleh arsitek Soejoedi Wirjoatmodjo itu, Selasa (17/1/2023) lalu, untuk menuntut revisi UU Desa. Mereka menuntut perpanjangan masa jabatan kades, dari enam tahun menjadi sembilan tahun.

Serupa para kepala desa, Sagopa juga seorang pemimpin kampung. Dia memimpin Kabuyutan Widarakandang, dengan pangkat demang. Yang jelas, selama menjadi demang, Sagopa lebih mengedepankan bakti. Dia hanya menjalankan tugas yang diberikan kepadanya, tanpa sibuk meminta balasan dari kerajaan. Dia nyaris tidak menuntut apa pun.

Ihwal tuntutan para kepala desa, pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari, memiliki respons menarik. Menurut dia, masa jabatan kekuasaan pejabat negara yang terlalu lama dapat menimbulkan sifat koruptif. Indonesia sudah memiliki pengalaman berkait dengan masa Orde Baru yang begitu panjang. 

Dalam konteks perpanjangan masa jabatan kades, menurut Feri, punya bahaya yang sama seperti perpanjangan masa jabatan presiden atau kepala daerah. “Apalagi, bila perpanjangan masa jabatan kades disetujui tanpa mengubah ketentuan tentang kades yang dapat menjabat selama tiga periode. Apabila demikian, seorang kades bisa menjabat selama lebih dari seperempat abad,” katanya.

“La, kalau bagian yang begini, sampean mesti ngarep dhewe. Mbengok paling banter dhewe!” celetuk Dawir lagi. (*tribun jateng cetak)

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved