Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Fokus

Fokus: Terbuka dan Tertutup

MASYARAKAT Indonesia menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Apakah MK akan menyetujui gugatan uji materi (judicial review) UU No. 7 Tahun 2017 ten

Penulis: iswidodo | Editor: m nur huda
tribunjateng/bram
Tajuk Ditulis Oleh Wartawan Tribun Jateng, Iswidodo 

Tajuk Ditulis Oleh Wartawan Tribun Jateng, Iswidodo

TRIBUNJATENG.COM - MASYARAKAT Indonesia menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Apakah MK akan menyetujui gugatan uji materi (judicial review) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) atau menolaknya. Partai politik menanggapi pro dan kontra terkait sistem proporsional ini.

Beberapa parpol sudah bersuara di media massa bahwa mereka setuju sistem Proporsional Terbuka, seperti yang berlaku saat ini. Pemilih memilih nama caleg yang tercantum pada surat suara. Dan penentuan caleg menjadi legislator berdasar perolehan suara terbanyak dalam parpol, sesuai daerah pemilihan (dapil).

Namun ada juga partai politik menginginkan kembali menerapkan Sistem Pemilu Proporsional Tertutup. Artinya pemilih memilih partai politik. Baru kemudian parpol menentukan nama-nama caleg yang akan menjadi wakil rakyat. Penentuan caleg yang menjadi legislator, menggunakan nomor urut, sebagaimana telah diurutkan oleh partai politik, internal.

Dua sistem ini ada kelebihan dan kekurangannya. Sistem Proporsional Tertutup, artinya surat suara hanya menampilkan logo partai tanpa daftar nama caleg. Sedangkan caleg yang akan menjadi legislator ditentukan oleh parpol internal.

Caleg ditentukan oleh nomor urut. Maka nomor urut 1 dan 2 kemungkinan besar akan jadi, lebih mungkin, dibanding nomor urut di bawah. Misal dalam satu dapil, parpol memperoleh 2 kursi, maka otomatis nomor urut 1 dan 2 dalam susunan caleg parpol tersebut akan mendapat kursi.

Sedangkan sistem proporsional terbuka, adalah yang berlaku saat ini. Surat suara memuat data lengkap tiap caleg meliputi logo parpol, foto, nomor urut dan nama caleg. Pemilih bisa coblos atau contreng nama caleg atau nomor urut caleg meski tidak mencoblos gambar parpol.

Dan yang terpenting, caleg yang akan memperoleh kursi adalah mereka yang mendapat surat suara terbanyak. Otomatis persaingan caleg dalam internal partai sangat ketat. Lebih berat bersaing dalam internal partai dibanding dengan partai lain.

Pengamat dan akademisi menilai, sistem proporsional terbuka lebih demokratis. Karena rakyat memiliki hak memilih atas setiap individu yang pantas untuk menduduki kursi di lembaga legislatif. Sementara sistem proporsional tertutup menekankan pada penentuan nama bakal caleg sesuai keputusan pimpinan atau keanggotaan partai politik. Dalam sistem proporsional tertutup maka kekuasaan partai sangat mendominasi.

Di sisi lain, sistem proporsional terbuka juga dimungkinkan orang yang tiba-tiba menjadi caleg berhasil memperoleh suara terbanyak. Karena meskipun sebelumnya tidak terkenal, dengan berbekal dana besar, mereka bisa dalam waktu singkat memperoleh simpati pemilih. Tanpa berjuang dari bawah, bisa tiba-tiba terpilih karena punya uang banyak. Sebaliknya pengurus partai yang lama berjuang dan loyal sejak lama, mungkin saja tidak terpilih karena kurang modal.

Politikus bisa lompat partai sesuai kesepakatan antara dirinya dengan partai yang akan ditumpanginya. Dengan modal besar, dan keterkenalan, maka seseorang bisa saja pindah partai dalam waktu singkat menjelang penyusunan bakal caleg, dan berhasil meraih kursi legislatif. Ini sudah banyak terjadi di setiap menjelang Pemilu.

Menurut akademisi, Sistem Proporsional Terbuka sekarang ini merupakan hasil evaluasi dari Pemilu zaman Orde Baru. Sejak Reformasi 1998 diterapkan sistem proporsional terbuka sebagai transisi dari kelemahan sistem proporsional tertutup menuju demokrasi yang realistis.

Sistem proporsional terbuka juga lebih memungkinkan Caleg berkomunikasi langsung dengan masyarakat. Pemilih alias publik bisa lebih intens partisipasinya. Tapi ada juga kekurangan sistem proporsional terbuka. Menurut Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra, sistem proporsional terbuka menampilkan sejumlah sisi gelap.

Antara lain, menghilangkan jarak antara pemilih dengan kandidat wakil rakyat. Karena partai politik tidak lagi fokus mengejar fungsi asasi sebagai distributor pendidikan dan partisipasi politik yang benar. Kandidat yang diusung hanya berkonsentrasi mendulang suara terbanyak. Pembinaan kader muda mengenai ideologi partai jangka panjang kurang diperhatikan. (*tribun jateng cetak)

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved