Opini
Opini Andre Bagus Saputra: Menilik Hak Pekerja atas Tunjangan Hari Raya Keagamaan
Opini Ditulis Oleh Andre Bagus Saputra (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia)
Opini Ditulis Oleh Andre Bagus Saputra (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia)
TRIBUNJATENG.COM - Istilah Tunjangan Hari Raya (THR) tentu tidak asing lagi kita dengar, terutama pada kalangan pekerja/buruh di Indonesia. Tunjangan Hari Raya keagamaan sendiri merupakan hak setiap pekerja yang diberikan pada saat menjelang hari raya keagamaan pekerja. THR Keagamaan diberikan kepada pekerja yang telah memiliki masa kerja tertentu dan merupakan suatu kewajiban bagi perusahaan untuk memberikan THR Keagamaan bagi pekerjanya.
Sebagaimana ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, menyatakan bahwasannya “Tunjangan Hari Raya keagamaan wajib diberikan oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh”, regulasi lain yang mengatur terkait pelaksanaan THR Keagamaan yaitu Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di perusahaan.
Demikian beberapa hari lalu Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor M/2/HK.04.00/III/2023 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2023 bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan. Sehingga pengaturan THR 2023 merujuk pada ketentuan SE menaker tersebut.
Pada dasarnya setiap pekerja sebagaimana disebutkan di atas berhak mendapatkan THR Keagamaan sesuai dengan lama masa kerjanya. Dalam hal ini yang berhak mendapat THR keagamaan yaitu Pekerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Pekerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) dengan masa kerja minimal sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan, Pekerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) yang di PHK oleh perusahaan tempat kerja terhitung 30 hari sebelum hari raya keagamaan, dan Pekerja dan/atau Buruh yang dipindahkan oleh perusahaan tempat kerja dengan masa kerja berlanjut tetapi belum mendapatkan hak HTR oleh perusahaan sebelumnya.
Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia dalam Konferensi Pers yang dilaksanakan tanggal 28 Maret 2023 secara virtual, mengatakan “THR Keagamaan ini harus dibayar penuh, tidak boleh dicicil” beliau meminta agar perusahaan tunduk pada aturan SE Menaker tersebut. Oleh karena itu pembayaran THR Keagamaan Tahun 2023 harus diberikan secara kontan/ penuh dan tidak dapat dicicil, dan pemberian THR diberikan kepada pekerja maksimal tujuh hari sebelum hari raya keagamaan.
Merujuk ketentuan Pasal 6 Permenaker Nomor 6 Tahun 2016, THR keagamaan ini harus diberikan dalam bentuk uang, oleh karena itu jika dalam hal ini perusahaan memberikan barang dan/ atau selain dalam uang sebagai pembayaran THR, maka hal tersebut bertentangan dengan ketentuan a quo serta perusahaan tetap diwajibkan memberikan THR kepada pekerja dalam bentuk mata uang sah sebagaimana digunakan dalam transaksi sehari-hari.
Proporsionalitas Pemberian THR Keagamaan
Dalam pemberian THR Keagamaan terdapat perhitungan sebagimana ketentuan dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekejra/Buruh di perusahaan. Pemberian THR ini diberikan secara proporsional sesuai dengan masa kerja pekerja/buruh di perusahaan. Bagi pekerja yang telah bekerja selama 12 (dua belas) bulan atau 1 (satu) tahun berturut-turut berhak mendapatkan THR sebesar 1 (satu) bulan upah pokok. Adapun bagi pekerja yang mempunyai masa kerja kurang dari 12 bulan / 1 (satu) tahun berlaku perhitungan sebagai berikut:
Masa Kerja (bulan) x 1 bulan Upah Pokok 12 (bulan)
Kemudian bagi pekerja/buruh yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja harian lepas, upah 1 (satu) bulan dihitung dengan ketentuan jika pekerja/buruh bersangkutan telah bekerja selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut, maka satu bulan upah dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan terakhir sebelum hari raya keagamaan. Adapun jika pekerja/buruh bersangkutan telah bekerja kurang dari 12 (dua belas) bulan atau 1 (satu) tahun, maka upah 1 (satu) bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima setiap bulannya selama bekerja.
Perusahaan dapat memberikan THR keagamaan lebih kepada pekerja/buruh sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak, berdasarkan Peraturan Perusahaan (PP), berdasarkan Perjanjian Kerja (PK), maupun berdasarkan Perjanjian Kerja Bersama (PKB). THR Keagamaan di sisi merupakan hak pekerja juga merupakan sebuah kewajiban bagi perusahaan, dalam hal perusahaan tidak dapat memberikan hak pekerja sebagaimana mestinya, terdapat konsekuensi hukum yang diberikan oleh perusahaan. Jika perusahaan telat memberikan THR Keagamaan kepada pekerja, maka perusahaan akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 5 persen dari total THR yang harus dibayar sejak berakhirnya batas waktu kewajiban pengusaha untuk membayar.
Pengenaan sanksi administrasi tersebut tidak menghilangkan kewajiban perusahaan untuk memberikan THR keagamaan kepada para pekerjanya. Pun jika perusahaan tidak memberikan THR keagamaan akan dikenakan sanksi sebagaimana ketentuan Pasal 11 ayat (2) Jo Pasal 79 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Sanksi tersebut meliputi teguran tertulis, pembatasan kegiatan usaha, penghentian sementara seluruh atau sebagian alat produksi dan pembekuan kegiatan usaha.
Dengan demikian hakikatnya pemberian THR Keagamaan oleh perusahaan merupakan suatu kewajiban, dan pembayaran THR tersebut maksimal dibayarkan 7 (tujuh) hari sebelum pelaksanaan hari raya keagamaan. Besaran pembayaran THR disesuaikan dengan masa kerja pekerja/buruh sehingga diberikan secara proporsional dan adil. Oleh karena pemberian THR merupakan kewajiban, maka hal ini memberikan implikasi adanya sanksi jika perusahaan membayarkan THR tersebut melebihi ketentuan waktu pembayaran atau bahkan perusahaan tidak memberikan/membayarkan THR Keagamaan kepada pekerjanya. (*tribun jateng cetak)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.