Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

UIN Walisongo Semarang

Haji dan Transformasi Manajemen Kerumunan Berkelanjutan

Haji merupakan ibadah multidimensional, dan multisektoral. Secara multidimensional, haji merupakan ibadah yang utuh, melibatkan hati dalam menata niat

Penulis: Abduh Imanulhaq | Editor: galih permadi
IST
Prof. Dr. Imam Taufiq, M.Ag. _Rektor UIN Walisongo Semarang_ 

Dalam manajemen kerumunan haji, ada tiga hal yang perlu menjadi sasaran utama dalam pengembangan layanan terhadap jemaah haji: keselamatan, keamanan, dan kenyamanan. Tujuannya adalah memberikan pengalaman beribadah yang nyaman, aman dan selamat. Sehingga, ibadah haji tidak hanya bertujuan untuk meraih haji mabrur sebagai capaian spiritual, akan tetapi juga meraih kenyamanan yang meningkatkan kekhusukan dalam ibadah, mendapatkan jaminan keamanan dan keselamatan dari potensi negatif kerumunan yang tidak ditata secara baik, seperti penumpukan jemaah, keterlambatan transportasi dan konsumsi, bahkan dampak terburuk korban jiwa.

Kasus tata kelola jemaah haji yang melibatkan masyariq menjadi pelajaran penting bagi pemerintah Arab Saudi untuk melakukan evaluasi, dan kajian sistematis agar kesalahan yang sama tidak terulang. Masukan dari pelbagai pihak, seperti dari DPR, Kementerian Agama dan jemaah akan sangat membantu mengurai persoalan tersebut.

Ada beberapa strategi yang mungkin bisa diinisiasi secara kolaboratif untuk transformasi manajemen kerumunan haji secara berkelanjutan. Pertama, memastikan kesiapan masyariq sebagai organizer dalam mengatur kerumunan haji. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh masyariq secara komprehensi, seperti dalam tata kelola transportasi. Pemetaan jumlah jemaah,  armada, kapasitas, rute,  jalan, potensi kemacetan dan mitigasi keterlambatan transportasi.

Hal ini secara teoritis tampak sederhana, akan tetapi di lapangan, kompleksitasnya sering tidak terduga. Mitigasi dampak terburuk bisa disimulasikan dengan mengitung secara detail tentang bagaimana moda transportasi mampu memindahkan jemaah haji, khususnya saat di Arafah, Muzdalifah dan Mina. Penyediaan armada saja tidak cukup, upaya untuk rekayasa rute lalu lintas, ukuran  jalan; pemetaan jadwal (kedatangan armada, keberangkatan, dan puncak permintaan); informasi populasi dan mobilitas (jumlah penumpang,  usia, jenis kelamin, perilaku mobilitas); dan   penggunaan teknologi pengatur mobilitas armada,  mitigasi kedaruratan perlu dipersiapkan. Selain itu, pembangunan infrastuktur transportasi baru yang memudahkan ribuah jemaah melakukan mobilisasi secara cepat dan nyaman juga perlu dipertimbangkan. Apalagi haji merupakan ibadah tahunan.

Jika pembangunan kereta api cepat Makkah-Madinah bisa menjadi inovasi peningkatan akses transportasi cepat yang menyingkat waktu perjalanan dengan jaminan kenyaman dan keamanan, maka inovasi pembangunan moda transportasi massal di Arafah, Muzdalifah dan Mina bisa menjadi prioritas juga.

Kedua, organizer perlu meminimalisir resiko jika kondisi darurat terjadi. Beberapa hal bisa dilakukan adalah  dengan menyiapkan rencana evakuasi,  penentuan prosedur dalam situasi darurat, dan simulasi dampak negatif dari kerumunan.

Sebagai  ilustrasi, ketika jumlah sarana MCK kurang yang mengakibatkan penumpukan antrian yang berdampak pada ketidaknyamanan,  maka organizer bisa segera melakukan penambangan toilet portable.

Ketiga, kolaborasi. Pemerintah Arab Saudi dan para mitra dari seluruh dunia bisa duduk bersama melakukan evaluasi dan pengembangan haji dengan pendekatan tourist management.

Karena haji merupakan ibadah wajib bagi umat Islam sedunia, maka  pelibatan dalam riset, atau bahkan investasi kolaboratif dengan negara-negara mitra haji dalam bentuk. konsorsium manajemen haji global menjadi urgen diimplementasikan.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved