UIN Walisongo Semarang
Haji dan Transformasi Manajemen Kerumunan Berkelanjutan
Haji merupakan ibadah multidimensional, dan multisektoral. Secara multidimensional, haji merupakan ibadah yang utuh, melibatkan hati dalam menata niat
Penulis: Abduh Imanulhaq | Editor: galih permadi
TRIBUNJATENG.COM - Haji merupakan ibadah multidimensional, dan multisektoral. Secara multidimensional, haji merupakan ibadah yang utuh, melibatkan hati dalam menata niat, emosi, dan spiritual; optimalisasi fisik dalam ibadah yang membutuhkan mobilitas seperti tawaf, sai, mabit dan jumrah.
Dalam perkembangannya, dimensi ibadah haji tidak hanya berkaitan dengan tiga dimensi tersebut, akan tetapi membutuhkan ketahanan mental dan kestabilan spiritual.
Seperti penantian antrian keberangkatan. Disinilah ibadah haji merupakan ibadah yang memiliki rangkaian penyelenggaraan terpanjang. Perspektif pelaksanan haji dulu dengan sekarang sangat berbeda.
Dulu, kemampuan ekonomi jemaah relatif berbeda, dan antrian terbatas. Sekarang, konteks berubah drastis. Haji adalah ibadah jangka panjang, memerlukan durasi waktu tak hingga.
Bahkan, jika kita kalkulasi dari aspek waktu, mulai dari pendaftaran, penantian kuota, penerapan kuota, keberangkatan, pelaksanaan dan kepulangan, ibadah haji termasuk ibadah yang membutuhkan waktu terpanjang. Relatifitas ini tergantung antrian, kuota dan kebijakan haji pemerintah Arab Saudi.
Dalam dimensi multisektoral, haji melibatkan sektor yang banyak, beragam, dan kompleks. Jika kita kategorisasikan dalam tahapan. Setidaknya ada tahapan: pra-keberangkatan, persiapan, keberangkatan, pelaksanaan dan pemulangan.
Masing-masing tahapan melibatkan lintas sektor. Beberapa individu dan lembaga seperti Bank Penerima Setoran (BPS) Syari'ah, BPS, Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, KBIH, masyarakat, tokoh agama, keluarga, dan stakeholder terkait, terlibat dalam membantu mempersiapkan, mendampingi dan mengantarkan keberangkatan Jemaah haji.
Keterlibatan perbagai pihak menunjukkan, haji tidak hanya ibadah personal atau kelompok, akan tetapi ibadah yang menggerakkan banyak massa, lembaga, korporasi, industri, dan negara.
Keterlibatan massa dalam jumlah banyak perlu ditangani dengan professional, sistematis, terkoordinasi dengan baik. Jika kita lihat data kuantitatif, jumlah jemaah haji Indonesia tahun 2023 meningkat, berjumlah 229.000 orang. Kuota ini meningkat dari tahun sebelumnya, 2022, sejumlah 100.051 orang. Pada tahun 2010-2011 berjumlah 221.000 orang, 2012-2013 sejumlah 168.000 orang dan 2017-2019 ada 221.000 jemaah. Sementara saat pandemi, 2020-2021, tidak ada kuota.
Jumlah jemaah Indonesia termasuk terbanyak di antara negara lain di dunia. Jika kita lihat data jumlah jemaah haji global. Tahun 1999-2021, jumlah terkecil berada pada saat pandemi pada tahun 2021 berjumlah 58.745 orang. Sementara jumlah terbesar tercatat pada tahun 2012 sebesar 3.161.573 (Salma Saleh: 2022). Jumlah ini berpotensi meningkat dari tahun ke tahun.
Jumlah jemaah yang banyak berpotensi menyebabkan kerumunan. Ketika kerumunan tidak dikelolal dengan baik, maka bencana mengancam di depan pintu. Oleh karena itu, manajemen kerumunan (crowd management) dalam tata kelola pelaksanaan haji menjadi signifikan. Pertama, kerumunan jemaah haji memiliki kompleksitas luar biasa, karena kerumunan jemaah hari berasal dari negara yang beragama, yang memiliki budaya, nilai dan tradisi yang berbeda ketika mereka melakukan aktifitas dan dimobilisasi saat di kerumunan. Pemahaman budaya dalam manajemen kerumunnan menjadi signifikan untuk mengetahui budaya masing-masing jemaah haji secara kolektif, dalam hal bagaimana secara kultural mereka dapat diorganisir secara efektif.
Kedua, keragaman level usia jemaah haji. Gap usia, dari yang muda sampai lansia cukup variatif. Perbedaan generasi memiliki konsekuensi perbedaan cara komunikasi, interaksi, dan mekanisme layanan serta pendampingan.
Ketiga, kerumunan haji di Arab Saudi berhubungan dengan sektor transportasi, sarana prasana, dan catering. Dalam hal tersebut, Kementerian agama tidak memiliki peran yang dominan, karena tata kelola berada dalam otoritas pemerintah Arab Saudi. Koordinasi lintas sektor antara Kemenag, mitra di Arab Saudi dan jemaah haji menjadi kesuksesan.
Diantara capaian kesuksesan koordinasi lintas sektoral tersebut, pertama, peningkatan Indeks Kepuasan Jemaah Haji (IKHJ) yang dilakukan oleh BPS, pada tahun 2022 mencapai 90,45 dengan kategori sangat memuaskan. Capaian ini merupakan capaian tertinggi dari IKHJ sejak tahun 2010. Komitmen Menteri Agama dan seluruh pihak dalam menyiapkan layanan haji dengan baik.
Pada tahun 2023, ada beberapa inovasi yang layak diapresiasi. Pertama, pendampingan terhadap lansia. Lebih dari tiga puluh persen Jemaah haji Indonesia berusia di atas 65 tahun. Inovasi ini dilakukan dengan matang, dengan melakukan kajian yang melibatkan ahli geatri, buku panduan manasik untuk lansia, pendamping lansia, transportasi untuk lansia, ruang tunggu khusus, dan layanan kesehatan prioritas.
Kedua, layanan antar obat. Layanan ini bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi Jemaah untuk mendapatkan akses kesehatan. Harapannya, proses penyembuhan Jemaah haji yang sakit bisa lebih cepat dan mampu melaksanakan ibadah dengan optimal. Ketiga, layanan pengalaman beribdah. Layanan izin akses ke Raudhah difasilitasi Daerah Kerja (Daker) Madinah untuk mendapatkan jadwal kunjungan. Ini adalah salah satu bentuk dari penerapan manajemen kerumunan dalam kunjungan ke Raudah. Kerjasama Daker dengan pemerintah Arab Saudi menjadi contoh baik (best practice) yang bisa dikembangkan dalam sektor lain.
Semangat Baru, 4.295 Mahasiswa Baru Ikuti PBAK UIN Walisongo 2025 |
![]() |
---|
Kementerian Agama Raih Popular Government Institutions Award 2025 |
![]() |
---|
6.000 Al-Qur’an untuk Kendal: KKN Moderasi UIN Walisongo Semarakkan Desa Karangayu |
![]() |
---|
UIN Walisongo Perkuat Hubungan Global Melalui MoU dengan Bajda Education Group Arab Saudi |
![]() |
---|
402 Mahasiswa FITK UIN Walisongo Diterjunkan ke 47 Sekolah Mitra untuk PLP 1 |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.