Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Jawa Tengah

Simulasi Kenaikan Harga Mobil dan Motor di Jateng Setelah Penerapan Opsen Pajak 2025

Berikut ini simulasi kenaikan harga mobil dan motor di Jawa Tengah setelah penerapan opsen pajak pada 2025.

Editor: rival al manaf
Ist
ILUSTRASI, GIIAS The Series 2024 siap menggebrak Semarang dengan penyelenggaraan pameran otomotif yang akan berlangsung di Muladi Dome, Universitas Diponegoro (UNDIP) dari 23 hingga 27 Oktober 2024. 

TRIBUNJATENG.COM - Berikut ini simulasi kenaikan harga mobil dan motor di Jawa Tengah setelah penerapan opsen pajak pada 2025.

Perjanjian Kerja Sama (PKS) tentang optimalisasi pengelolaan pajak daerah dan opsen pajak telah diteken oleh Pemprov Jateng bersama 35 kabupaten kota.

Opsen pajak ini akan menaikan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) 

Baca juga: Opsen Pajak Kendaraan Bermotor Telah Diteken, Sekda Jateng: Akan Diberlakukan 5 Januari 2025

Baca juga: Warga Jateng Keberatan Opsen Pajak Kendaraan, Pilih Kendaraan Bekas Jadi Alternatif

BBNKB adalah pajak yang dibebankan saat terjadi peralihan hak milik kendaraan bermotor.

Di Jawa Tengah Tarif BBNKB 2024 sebesar 12,5 persen akan naik menjadi 16,6 % di tahun 2025.

Kenaikan ini akan berdampak signifikan.

Simulasinya untuk harga mobil misalnya, jika mobil harga Off The Road sebesar Rp300 juta dengan tarif 2024 BBNKB yang dikenakan hanya Rp 37,5 juta

Sedangkan jika menggunakan tarif 2025 BBNKB yang dikenakan sebesar  Rp 49,8 juta ada kenaikan sebesar Rp12,3 juta.

Sementara itu simulasi kenaikan harga sepeda motor diperkirakan bisa mencapai Rp 800 hingga Rp 2 juta.

Kenaikan harga itu diprediksi akan berdampak dengan tingkat penurunan penjualan kendaraan bermotor hingga 20 persen.

Ketua Bidang Komersial Asosiasi Industri Sepedamotor Indonesia (AISI) Sigit Kumala mengatakan penurunan penjualan hingga 20 persen akan terjadi karena dipicu oleh naiknya harga sepeda motor baru.

Kenaikan ini setara dengan kenaikan harga on the road sepeda motor baru sebesar 5 % -7 % , atau dua hingga tiga kali lebih besar dari inflasi.

Kenaikan ini akan semakin membebankan konsumen.

“Konsumen sepeda motor sangat sensitif terhadap kenaikan harga. Opsen pajak bisa menaikkan harga motor di segmen entry level lebih dari Rp800 ribu."

" Segmen midhigh bisa naik hingga Rp 2 juta. Inilah yang akan menekan permintaan padahal sepeda motor ini alat transportasi produktif yang paling dibutuhkan masyarakat di tengah daya beli yang sedang melemah,” ujar Sigit.

Keberadaan sepeda motor sebagai sarana transportasi produktif dan efisien bagi masyarakat membuat penjualan sepeda motor masih terus tumbuh meskipun tipis pertumbuhannya.

AISI mencatat pada periode januari hingga November tahun ini, pasar sepeda motor domestik membukukan angka penjualan sebesar 5,9 juta unit atau tumbuh tipis 2,06 % dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Fungsi produktif sepeda motor yang menjanjikan efektivitas dan efisiensi bagi kegiatan sehari-hari masyarakat membuat asosiasi semula optimis pasar motor tahun depan bisa mencapai 6,4 juta unit hingga 6,7 juta unit.

“Namun karena faktor opsen pajak ini, kami khawatir pasar justru akan tertekan hingga 20 % tahun depan,” kata Sigit.

Daya Saing Melemah

Terkoreksinya penjualan di pasar domestik tentu akan menimbulkan dampak bergulir yang terjadi di sisi hulu maupun hilir dari industri sepeda motor di Tanah Air.

Penurunan permintaan dari pasar akan memaksa produsen sepeda motor memangkas produksinya sehingga ini akan berdampak pada permintaan mereka ke industri suku cadang yang berada di rantai bisnisnya. 

Jika dampaknya sangat besar, tidak tertutup kemungkinan akan timbul PHK di industri ini. 

Dampak bergulir ini juga sangat potensial terjadi di rantai bisnis industri yang ada di sisi hilir, baik itu yang ada di sisi penjualan maupun layanan purna jual serta juga industri pembiayaan dan asuransi.

Kondisi pasar yang memberatkan konsumen dan pelaku industri ini berpotensi menekan daya saing industri di kancah ekonomi global, terutama di kawasan ASEAN.

Pasalnya, dalam situasi persaingan yang sama, negara tetangga yang tercatat sebagai salah satu pasar otomotif yang sedang tumbuh di ASEAN, justru mempertahankan kebijakan pengurangan PPN dari 10 % menjadi 8 % hingga Juni 2025.

Sementara itu, Indonesia menambahkan PPN menjadi 12 % ditambah kenaikan PKB dan BBNKB dan pungutan tambahan pajak atau opsen.

“Jika ini semua diberlakukan dan dipertahankan dalam jangka panjang, kami khawatir daya saing industri kita melemah. Ini kurang positif untuk iklim investasi,” tegasnya. (*)

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved