Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

UIN SAIZU Purwokerto

Dari Islam Warisan Menuju Islam Berbasis Ilmu: Menjemput Spirit Beragama yang Mencerahkan

Islam hadir ke tengah-tengah manusia bukan sebagai beban, melainkan sebagai rahmat dan petunjuk hidup. Ia bukan agama yang membelenggu

IST
Prof. Dr. H. Supriyanto, Lc., M.S.I. Guru Besar UIN Saizu Purwokerto 

 Ayat ini menunjukkan bahwa keimanan dan ilmu pengetahuan adalah dua entitas yang saling menguatkan, bukan saling meniadakan.

Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menulis secara gamblang bahwa amal tanpa ilmu adalah sia-sia, dan ilmu tanpa amal adalah bencana. Ia menekankan bahwa beragama tidak cukup hanya dengan ritual, tetapi juga harus melalui pencarian makna dan pemahaman mendalam.

Menurut Al-Ghazali, ilmu adalah cahaya yang menerangi jalan ibadah dan membimbing seseorang agar tidak tersesat dalam fanatisme dan kekakuan.

Pemikir lain yang tak kalah penting, Ibnu Rusyd (Averroes), menegaskan bahwa tidak ada kontradiksi antara syariat dan akal.

Dalam Fasl al-Maqāl, ia mengatakan bahwa syariat mendorong umat Islam untuk menggunakan akal dalam memahami wahyu.

 Jika tampak ada perbedaan antara wahyu dan akal, maka yang perlu dikaji adalah cara kita memahami keduanya. Pendekatan ini penting untuk menyikapi perbedaan pendapat dalam Islam (ikhtilaf) secara sehat dan konstruktif.

Dari Islam Identitas Menuju Islam Kesadaran

Kita hidup di era di mana beragama secara sadar menjadi kebutuhan. Kita tidak bisa lagi mengandalkan warisan keislaman yang semata-mata berasal dari garis keturunan.

Islam bukan sekadar nama yang tertera di KTP atau rutinitas Ramadan tahunan. Islam adalah cara hidup (way of life) yang harus dipahami, dijalani, dan dimaknai secara kontekstual.

Ketika kita memahami Islam melalui ilmu, kita akan menemukan keluasan dan fleksibilitasnya. Kita akan tahu bahwa dalam Islam, terdapat ruang perbedaan yang sehat. Kita akan memahami bahwa dalam fiqh, banyak pendapat yang semuanya sah berdasarkan dalil.

Maka, kita tidak mudah saling menyalahkan, apalagi mengkafirkan. Kita akan lebih bijak dan toleran. Lebih dari itu, dengan ilmu, kita akan memahami bahwa Islam adalah agama yang likulli zaman wa makan—relevan untuk setiap tempat dan zaman.

Dalam menghadapi tantangan global, seperti digitalisasi, perubahan sosial, dan pluralisme budaya, hanya Islam yang berbasis ilmu yang dapat menjawabnya secara bijak.

Transformasi: Dari Taklid Menuju Ijtihad

Kini saatnya kita berhijrah dari taklid menuju ijtihad—dari mengikuti tanpa memahami menjadi beragama dengan kesadaran. Ijtihad bukan berarti semua orang harus menjadi mujtahid.

Tetapi semangat ijtihad menuntut kita untuk selalu belajar, mencari alasan dari setiap ajaran, dan tidak puas dengan jawaban “karena sudah dari dulu begitu”.

Halaman
123
Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved