Breaking News
Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

UIN SAIZU Purwokerto

Dari Islam Warisan Menuju Islam Berbasis Ilmu: Menjemput Spirit Beragama yang Mencerahkan

Islam hadir ke tengah-tengah manusia bukan sebagai beban, melainkan sebagai rahmat dan petunjuk hidup. Ia bukan agama yang membelenggu

IST
Prof. Dr. H. Supriyanto, Lc., M.S.I. Guru Besar UIN Saizu Purwokerto 

Oleh Prof. Dr. H. Supriyanto, Lc., M.S.I.
Guru Besar Filsafat Islam UIN SAIZU Purwokerto

Islam hadir ke tengah-tengah manusia bukan sebagai beban, melainkan sebagai rahmat dan petunjuk hidup. Ia bukan agama yang membelenggu, melainkan membebaskan.

Sejak awal, Islam ditegaskan sebagai agama yang mudah dan luas: al-Islām dīn yusr wa wus‘ah. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya agama (Islam) itu mudah, dan tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali ia akan dikalahkan oleh agama itu sendiri.” (HR. Bukhari). Namun, dalam praktik keseharian umat Islam saat ini, sering kali kemudahan dan keluasan Islam tersebut tergerus oleh pendekatan keberagamaan yang kaku, tertutup, dan sempit.

Fenomena ini tak lepas dari apa yang oleh para ulama disebut sebagai Islam Warisan. Yakni bentuk keberagamaan yang diterima secara turun-temurun tanpa diiringi dengan upaya pemahaman mendalam.

Dalam pola ini, Islam hadir lebih sebagai identitas sosial dan budaya ketimbang jalan hidup yang dipahami secara sadar. Islam menjadi sesuatu yang “diterima begitu saja”, bukan hasil pencarian yang dilandasi ilmu.

Bahaya Taqlid Buta dalam Islam Warisan

Dalam masyarakat yang menjalani Islam secara warisan, mudah sekali kita temui bentuk-bentuk keberagamaan yang mekanis: beribadah tanpa kesadaran makna, bertindak tanpa pemahaman dalil.

Lebih jauh, dalam kondisi ini, muncul gejala taqlid buta—yakni mengikuti ajaran atau praktik keagamaan tanpa mengetahui dasar ilmunya.

Taqlid ini bukan semata bentuk kepatuhan, melainkan penyerahan akal dan nurani kepada figur atau tradisi, tanpa ruang untuk bertanya dan mengkritisi.

Syaikh al-Kamāl ibn al-Humām dalam At-Tahrîr menyatakan bahwa taqlid adalah “mengamalkan pendapat seseorang yang tidak menjadi hujjah, tanpa mengetahui dalil yang mendasarinya.”

Artinya, seseorang dapat menjalankan Islam secara formal, tetapi kehilangan substansi karena tidak memahami apa, mengapa, dan bagaimana ia berislam.

Dalam jangka panjang, Islam Warisan yang dibumbui taqlid buta akan melahirkan komunitas Muslim yang cenderung eksklusif, fanatik, dan tidak siap dengan perbedaan.

Hal ini amat berbahaya, terutama di tengah dinamika kehidupan modern yang menuntut keterbukaan dan kemampuan berdialog dengan keragaman. Ketika agama dijalankan tanpa ilmu, maka agama bisa menjadi sumber konflik, bukan rahmat.

Islam dan Ilmu: Fondasi Keberagamaan yang Sehat

Sebaliknya, Islam mengajarkan bahwa ilmu adalah fondasi utama dalam beragama. Dalam QS. Al-Mujadilah: 11, Allah menegaskan bahwa “Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”

 Ayat ini menunjukkan bahwa keimanan dan ilmu pengetahuan adalah dua entitas yang saling menguatkan, bukan saling meniadakan.

Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menulis secara gamblang bahwa amal tanpa ilmu adalah sia-sia, dan ilmu tanpa amal adalah bencana. Ia menekankan bahwa beragama tidak cukup hanya dengan ritual, tetapi juga harus melalui pencarian makna dan pemahaman mendalam.

Menurut Al-Ghazali, ilmu adalah cahaya yang menerangi jalan ibadah dan membimbing seseorang agar tidak tersesat dalam fanatisme dan kekakuan.

Pemikir lain yang tak kalah penting, Ibnu Rusyd (Averroes), menegaskan bahwa tidak ada kontradiksi antara syariat dan akal.

Dalam Fasl al-Maqāl, ia mengatakan bahwa syariat mendorong umat Islam untuk menggunakan akal dalam memahami wahyu.

 Jika tampak ada perbedaan antara wahyu dan akal, maka yang perlu dikaji adalah cara kita memahami keduanya. Pendekatan ini penting untuk menyikapi perbedaan pendapat dalam Islam (ikhtilaf) secara sehat dan konstruktif.

Dari Islam Identitas Menuju Islam Kesadaran

Kita hidup di era di mana beragama secara sadar menjadi kebutuhan. Kita tidak bisa lagi mengandalkan warisan keislaman yang semata-mata berasal dari garis keturunan.

Islam bukan sekadar nama yang tertera di KTP atau rutinitas Ramadan tahunan. Islam adalah cara hidup (way of life) yang harus dipahami, dijalani, dan dimaknai secara kontekstual.

Ketika kita memahami Islam melalui ilmu, kita akan menemukan keluasan dan fleksibilitasnya. Kita akan tahu bahwa dalam Islam, terdapat ruang perbedaan yang sehat. Kita akan memahami bahwa dalam fiqh, banyak pendapat yang semuanya sah berdasarkan dalil.

Maka, kita tidak mudah saling menyalahkan, apalagi mengkafirkan. Kita akan lebih bijak dan toleran. Lebih dari itu, dengan ilmu, kita akan memahami bahwa Islam adalah agama yang likulli zaman wa makan—relevan untuk setiap tempat dan zaman.

Dalam menghadapi tantangan global, seperti digitalisasi, perubahan sosial, dan pluralisme budaya, hanya Islam yang berbasis ilmu yang dapat menjawabnya secara bijak.

Transformasi: Dari Taklid Menuju Ijtihad

Kini saatnya kita berhijrah dari taklid menuju ijtihad—dari mengikuti tanpa memahami menjadi beragama dengan kesadaran. Ijtihad bukan berarti semua orang harus menjadi mujtahid.

Tetapi semangat ijtihad menuntut kita untuk selalu belajar, mencari alasan dari setiap ajaran, dan tidak puas dengan jawaban “karena sudah dari dulu begitu”.

Kita tidak sedang dituntut menjadi ahli fatwa, tapi kita dituntut menjadi Muslim yang tahu dasar keimanannya, yang sadar atas ibadahnya, dan yang mampu mengaitkan ajaran agama dengan konteks sosial di sekitarnya. Hanya dengan cara ini, kita bisa menghadirkan Islam sebagai agama yang membebaskan, mencerahkan, dan membangun peradaban.

Warisan keislaman adalah harta tak ternilai. Namun, warisan itu akan kehilangan makna jika tidak dihidupkan dengan ilmu. Kini saatnya kita tidak hanya mewarisi Islam, tetapi juga mewarisi semangat keilmuannya. Dengan ilmu, kita tidak sekadar menjadi Muslim karena lahir dari keluarga Muslim, tetapi menjadi Muslim karena pilihan sadar, yang terus belajar dan bertumbuh.

Sebagaimana sabda Nabi SAW, “Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga” (HR. Muslim). Maka, mari kita menempuh jalan itu dengan tekun, rendah hati, dan penuh semangat. Agar Islam yang kita jalani bukan sekadar simbol, tetapi jalan hidup yang bermakna.

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved