Readers Note
Mengembalikan Makna Gelar Sarjana yang Berjiwa Bebas
Secara historis, tujuan utama pendidikan tinggi—khususnya jenjang sarjana—mengacu pada konsep Liberal Arts (Seni Bebas).
Mengembalikan Makna Gelar Sarjana yang Berjiwa Bebas
Oleh Alodia Nina Al Khalifi Afiliasi
Mahasiswa S1 Pendidikan Matematika UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
SAAT gencarnya tuntutan pekerjaan yang serba praktis, narasi bahwa kuliah hanyalah "jembatan menunda pengangguran selama 4 tahun" kembali viral di media sosial. Gelar sarjana kini sering dipersepsikan hanya sebagai lisensi untuk melamar kerja, bukan penanda kecakapan berpikir yang mendalam.
Fenomena ini adalah masalah besar: hilangnya makna sejati dari pendidikan tinggi.
Secara historis, tujuan utama pendidikan tinggi—khususnya jenjang sarjana—mengacu pada konsep Liberal Arts (Seni Bebas). Konsep ini bukan tentang seni melukis atau musik, melainkan seperangkat ilmu dasar yang dirancang untuk membentuk "jiwa bebas" (Free Spirit).
Fokusnya adalah pada pengembangan fondasi berpikir, yang dahulu dikenal sebagai Trivium: Grammar (cara berbahasa dan komunikasi yang baik), Retorik (cara menyampaikan argumen yang efektif), dan Logik (cara bernalar dan berpikir kritis).
Melampaui Keterampilan Teknis
Ketika orientasi kampus bergeser total ke pendidikan praktikal (vokasi), universitas berisiko gagal dalam misi terpentingnya. Jurnal akademis karya Kurniawan Dwi Saputra menguatkan kritik ini, yang menyatakan Liberal Arts bertentangan dengan pendidikan vokasi karena fokus utamanya adalah pada studi kebijaksanaan dan kearifan, bukan pelatihan keterampilan sempit.
Jika universitas hanya mencetak technician (teknisi) siap pakai, maka ia kehilangan daya adaptasinya. Keterampilan teknis apa pun yang dipelajari hari ini akan cepat usang digantikan oleh otomatisasi dan AI.
Lantas, apa yang menjamin pekerjaan yang baik? Jaminannya bukan hanya ijazah atau keahlian spesifik, melainkan kapasitas untuk menciptakan lapangan kerja sendiri dan memecahkan masalah kompleks. Sebagai contoh, alumni program studi Peternakan, tidak hanya sebatas menjadi karyawan di pabrik pakan. Dengan logika dan kemampuan analisis yang kuat, ia bisa menjadi wirausahawan mandiri yang menciptakan inovasi pakan lokal atau membangun sistem rantai pasok protein yang efisien, suatu hal yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
Relevansi di Industri Grobogan
Isu ini memiliki urgensi khusus bagi daerah seperti Grobogan, yang sangat bergantung pada sektor pertanian, peternakan, dan potensi agrobisnis lainnya. Tuntutan akan keterampilan teknis di bidang pertanian tentu tinggi di sini, baik dalam pengolahan hasil panen maupun teknologi irigasi.
Namun, di era disrupsi ini, tantangan Grobogan jauh lebih kompleks daripada sekadar keterampilan teknis.
Masalah seperti fluktuasi harga komoditas, manajemen risiko kekeringan atau banjir, dan optimalisasi rantai pasok memerlukan pemikir strategis. Mereka yang memiliki fondasi Liberal Arts—yaitu mampu menganalisis data, bernegosiasi dengan stakeholder, dan merumuskan solusi multi-disiplin—justru yang akan mampu memimpin sektor pertanian Grobogan menuju modernisasi dan ketahanan pangan. Mereka adalah pemecah masalah besar yang mampu mengubah komoditas lokal menjadi produk bernilai tambah tinggi, alih-alih hanya menjadi pelaksana teknis di lahan.
Kehormatan Intelektual
Pendidikan tinggi harus kembali pada esensi historisnya: membentuk pemikir kritis yang memiliki logika kuat, retorika yang efektif, dan kerangka berpikir yang tertata. Universitas harus dihormati sebagai tempat lahirnya filsuf, pemikir, dan pemecah masalah besar, bukan sekadar pabrik penghasil technician yang tunduk pada permintaan pasar.
Mengembalikan makna gelar Sarjana berarti mengembalikan pendidikan pada tujuan mulianya: memerdekakan jiwa dan akal agar mampu menganalisis dunia, membangun peradaban, dan bukan hanya sekadar memenuhi pasar tenaga kerja. (*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jateng/foto/bank/originals/Alodia-Nina.jpg)