Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

UIN SAIZU Purwokerto

Jejak 'Mantra Sunan Kalijaga' di Sri Lanka: Kisah Persatuan Nusantara di Tanah Pembuangan

Sri Lanka, sebuah pulau di Samudra Hindia, menyimpan jejak sejarah yang luar biasa tentang diaspora Nusantara.

Editor: raka f pujangga
Istimewa
AKADEMISI - Akademisi UIN Saizu Purwokerto, Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy, M.E. 

Akademisi UIN Saizu Purwokerto, Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy, M.E

TRIBUNJATENG.COM - Sri Lanka, sebuah pulau di Samudra Hindia, menyimpan jejak sejarah yang luar biasa tentang diaspora Nusantara.

Salah satu kisah yang menarik adalah tentang para ulama, bangsawan, dan pejuang dari Nusantara yang diasingkan ke sana oleh Belanda.

Di antara mereka adalah Sheikh Yusuf al-Makassari, ulama besar asal Makassar yang menjadi murid Syekh Ibrāhīm al-Kūrānī al-Madani.

Baca juga: UIN Saizu Dapat Bantuan Mobil Ambulans dari BRI, Dukung Pelayanan Prima Klinik Isyfina ke Masyarakat

Pada tahun 1684, Belanda mengasingkannya ke Sri Lanka karena pengaruhnya yang besar terhadap umat Islam.

Selama sepuluh tahun, Sheikh Yusuf menjadi panutan, mengajar, dan menulis karya-karya penting.

Namun, Belanda yang khawatir akan pengaruhnya memutuskan untuk mengasingkannya lebih jauh ke Tanjung Harapan, Afrika Selatan, pada tahun 1694, di mana ia wafat pada tahun 1699.  

Tidak hanya Sheikh Yusuf, nasib serupa juga menimpa Amangkurat III, Raja Kartasura, yang diasingkan ke Sri Lanka pada tahun 1708 beserta keluarga dan pengikutnya.

Belanda kemudian menjadikan Sri Lanka sebagai tempat pembuangan bagi para pangeran dan bangsawan yang dianggap berbahaya dari berbagai daerah seperti Gowa, Maluku, Ternate, dan Tidore. Istilah "diselong" atau "disailankan" pun menjadi populer saat itu.

Salah satu bangsawan yang mengalami nasib ini adalah Sultan Fakhruddin Abdul Khair Batara Tangkana Gowa, Sultan Gowa ke-26. Putrinya, Siti Awang, yang lahir di Sri Lanka, menikah dengan Pangeran Adipati Amangkurat dari Surakarta, yang juga diasingkan di sana.  

Pernikahan antar bangsawan Nusantara di tanah pembuangan ini menjadi pola umum yang memperkuat ikatan di antara mereka.

Kesamaan nasib dan asal-usul menjadikan bahasa Melayu sebagai lingua franca yang menggantikan bahasa ibu masing-masing. 

Selain bangsawan, Sri Lanka juga menjadi tempat bagi para pekerja, serdadu bayaran, dan pendatang lain dari Nusantara. Mereka semua akhirnya membentuk satu komunitas yang dikenal sebagai Suku Melayu Sri Lanka.  

Suku Melayu Sri Lanka dikenal karena keahlian militer dan keterpelajarannya.

Hussainmiya, seorang sejarawan, mencatat bahwa mereka menjadi bagian dari pasukan Belanda dan Inggris yang ditakuti karena keberaniannya.

Namun, di balik kekuatan militer, mereka juga menjaga warisan budaya dan keagamaan dari tanah leluhur mereka.  

Pada tahun 2011, Dr. Ronit Ricci dari Australian National University melakukan digitalisasi manuskrip di komunitas Melayu Sri Lanka dan menemukan harta karun yang luar biasa.

Salah satunya adalah manuskrip milik B.D.K Saldin, seorang akuntan keturunan Melayu. 

Manuskrip ini berisi teks berbahasa Jawa, yang merupakan satu-satunya teks Jawa yang ditemukan di antara manuskrip-manuskrip Melayu Sri Lanka.  

Penulis manuskrip tersebut adalah Encik Sulaiman bin Abdul Jalil, keturunan Jawa dari Mataram yang sempat menetap di Makassar sebelum akhirnya berada di Sri Lanka.

Di dalam manuskripnya, terdapat teks beraksara Pegon yang diawali dengan Basmalah dan identik dengan Kidung Rumeksa ing Wengi, sebuah tembang yang dipercaya sebagai karya Sunan Kalijaga.

Kidung ini dikenal sebagai doa yang dilagukan dan diyakini memiliki kekuatan spiritual untuk melindungi dari marabahaya.  

Teks Kidung Rumeksa ing Wengi dalam manuskrip tersebut diawali dengan, "Bismillāhirrahmānirrahīm, Ana kidung Rumekå ing wengi, teka rahayu, luputing lârâ luputing bilaing kabéh. Jin Syethan datan purun..." dan diakhiri dengan,

"Samekta ing para Nabi dadia sarira tunggal, wiji sawiji Mulaning dadiyu aparan Cuk dadiya isining jagad kang kadaning Dzat é." Meskipun terdapat beberapa kesalahan dalam penulisan, metrum tembang tetap terjaga, menunjukkan keakraban penulis dengan sastra Jawa.  

Selain Kidung Rumeksa ing Wengi, manuskrip tersebut juga memuat terjemahan Hadis Qudsi berbahasa Jawa dengan aksara Pegon. Hadis tersebut berbunyi, "al-Insānu sirrī wa Anā sirruhū" (Manusia adalah rahasiaku dan aku adalah rahasianya), yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa sebagai, "Manusa iku rasa nisun lan Isun iku pawin rasane," dan "Manusa iku dhāt Ingsun lan isun iku pawan dhāt ing manusa."  

B.D.K Saldin, pemilik terakhir manuskrip ini, adalah keturunan Encik Pantasih dari Sumenep, Madura.

Nama-nama seperti Madura, Makassar, dan Mataram dalam manuskrip ini mencerminkan persatuan suku-suku Nusantara di tanah pembuangan.

Mereka membentuk komunitas yang kuat, dengan bahasa, budaya, dan agama sebagai perekat utama.  

Sayangnya, Komunitas Melayu Sri Lanka saat ini menghadapi tantangan besar.

Jumlah mereka hanya 3 persen dari populasi Sri Lanka, dan generasi muda mulai kehilangan kemampuan berbahasa Melayu.

Selain itu, munculnya pandangan yang menganggap tradisi dan budaya sebagai "kurang Islami" juga mengancam kelestarian warisan mereka.  

Manuskrip-manuskrip ini adalah bukti ketangguhan dan kesungguhan komunitas Melayu Sri Lanka dalam mempertahankan identitas mereka.

Baca juga: Cek Daya Tampung UM-PTKIN 2025 UIN Saizu Purwokerto, Pilih Jurusan Sesuai Minatmu!

Mereka tidak hanya menjaga warisan budaya dan agama, tetapi juga menciptakan jejak sejarah yang menginspirasi.  

Kisah ini mengingatkan kita akan pentingnya melestarikan warisan leluhur, terutama di tengah arus globalisasi yang kian deras.

Seperti Kidung Rumeksa ing Wengi yang tetap hidup di Sri Lanka, semangat persatuan dan keteguhan hati komunitas Melayu Sri Lanka patut menjadi teladan bagi kita semua.  (*)

Wallahu a'lam.

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved