Berita Semarang
Dari Pedagang Asongan Sukses Dirikan Pasar Tiban, Kiat Jitu Rina Gaet Pelanggan
Larangan pedagang asongan masuk kantor seketika mematikan mata pencaharian Rina dan teman-temannya.
Penulis: khoirul muzaki | Editor: M Syofri Kurniawan
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Suatu hari di tahun 2007, Rina Winarso tiba-tiba mendapat perlakuan tak biasa dari seorang satpam sebuah kantor pemerintahan di Kota Semarang.
Ia dan teman-temannya sesama pedagang asongan ditolak masuk komplek kantor.
Padahal, biasanya ia bebas keluar masuk area kantor untuk menawarkan dagangan.
Baca juga: Angkat Potensi Lokal dan Bantu Peternak, Sukini Inovasi Bikin Ikan Asap Khas Banjarnegara
Tiap hari Rina menenteng tas yang di dalamnya penuh aksesoris, mulai kaus kaki hingga ikat pinggang, untuk dijual.
Ia menawarkannya kepada setiap pegawai yang lalu lalang. Ia tak segan menggelar dagangannya di lantai untuk diperlihatkan ke calon pelanggan.
Tapi hari itu jadi hari buruk baginya. Ia tak bisa lagi mengais rupiah dengan alasan yang kurang bisa diterima.
Kasus hilangnya handphone pegawai di kantor yang belum terungkap membuat pedagang asongan jadi kambing hitam.
Meski tak ada bukti, pihak keamanan kantor memperketat aturan. Mulai saat itu, pedagang dilarang masuk area kantor dengan alasan keamanan.
"Tidak tahu hilangnya kenapa dan dicuri siapa, tapi pedagang yang kena. Kita gak boleh lagi jualan,”katanya, Selasa (22/4/2025).
Padahal selama ini komplek kedinasan di Kota Semarang jadi ladang mata pencaharian baginya.
Ia selalu semangat berangkat berdagang, karena pulangnya pasti membawa uang. Rina sudah punya langganan para pegawai yang biasa memborong dagangannya.
Larangan pedagang asongan masuk kantor seketika mematikan mata pencahariannya.
Rina dan teman-temannya yang tak punya kios atau tempat mangkal permanen otomatis kehilangan pasar.
Ia harus mencari pasar baru agar usahanya tetap lancar.
"Saya akhirnya jualan di even-even tontonan, pengajian, pindah-pindah,”katanya
Sayangnya, hasil berjualan di pusat hiburan atau tontonan kurang memuaskan. Omzetnya menurun tajam.
Tenaganya pun lebih terkuras. Ia juga harus berpindah-pindah tempat jualan mengikuti lokasi kegiatan.
Selain itu, Rina juga berjualan di komplek kawasan industri di Tambakaji, Ngaliyan Kota Semarang.
Di situ, Rina menyasar buruh pabrik untuk berlangganan. Setiap hari, ia membuka lapak dadakan di komplek pabrik dengan cara bongkar pasang.
"Di sini kan pabrik banyak, saya jual kaus kaki yang dibutuhkan buruh,” katanya.
Akses Modal KUR
Rina menyadari, kuantitas barang yang terpajang turut mempengaruhi pasar. Jika jumlah produknya minimal, lapaknya kurang menarik pelanggan. Beda jika lapaknya dipenuhi dagangan, di situ ada banyak pilihan.
Sayangnya, Rina terkendala modal. Sebagai jalan keluar, ia mengakses modal ke Bank Rakyat Indonesia (BRI) lewat program Kredit Usaha Rakyat (KUR).
KUR adalah program pemerintah untuk meningkatkan akses pembiayaan khususnya kepada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Rina yang memiliki usaha riil dan tengah berkembang tak susah mengakses program itu.
Pertama kali mengajukan, ia bisa mengakses pinjaman sebesar Rp 10 juta. Uang itu ia pakai untuk melengkapi dan memperbanyak stok dagangan.
“Pinjam Rp 10 juta untuk kulakan. Jadi sekali kulakan, bisa stok banyak sekalian,”katanya
Dengan memperbanyak stok dagangan, ia tidak harus sering kulakan seperti sebelumnya saat modal kurang.
Lapaknya juga terlihat semakin menarik hingga pelanggannya terus bertambah.
Tak hanya mengandalkan jualan di komplek pabrik, setiap Minggu pagi, ia ikut menggelar dagangan di Simpang Lima Kota Semarang.
Di situ jadi pusat keramaian hingga banyak UMKM sepertinya membuka stan.
“Minggu pagi di simpang lima kan ramai, saya ikut buka stan,” katanya.
Pelopor Pasar Tiban

Menjadi Pedagang Kaki Lima (PKL) sepertinya, ada sisi yang kurang mengenakkan. Rina tidak memiliki tempat atau kios permanen untuk menggelar dagangan. Lokasi jualannya berpindah-pindah dan harus bongkar pasang.
Ia juga harus rela digusur jika yang punya tempat tak merelakan, atau diusir aparat keamanan.
Cara berdagang seperti itu jelas merepotkan. Ditambah saat kondisi cuaca ekstrem atau hujan yang kian menyengsarakan.
“Tiap hari bingung harus mikir besok mau jualan dimana. Kalau ikut even seperti tontonan atau pengajian, lokasinya pindah-pindah terus dan gak pasti,”katanya
Tapi untuk menyewa kios permanen, ia pun pikir panjang. Selain butuh modal banyak, belum tentu usahanya lancar. Risiko kerugian bisa jauh lebih besar.
Rina dan teman-temannya sesama PKL berpikir untuk mencari jalan keluar. Mereka berpikir bagaimana bisa jualan menetap, tapi tidak harus menyewa ruko yang mahal.
Hingga tercetus gagasan untuk membuat pasar sendiri. Bukan pasar permanen, melainkan pasar dadakan (tiban) yang hanya buka di hari tertentu.
Mereka yang akhirnya bersatu membentuk paguyuban Guyub Rukun mencari lokasi strategis untuk dijadikan pasar tiban.
Dari awalnya hanya beberapa orang, kini ada sekitar 50 pedagang yang bergabung di paguyuban.
Lapangan atau lahan kosong di komplek perumahan Kecamatan Ngaliyan jadi target mereka. Rina dan kawan-kawannya melobi pemangku wilayah atau Ketua Rukun Tetangga (RT).
“Kita cari lokasi yang strategis, kerja sama dengan RT setempat. Dari awalnya beberapa pedagang saja, akhirnya banyak pedagang yang mau gabung paguyuban,” katanya.
Kepada Ketua RT pihaknya meyakinkan, RT atau lingkungan diuntungkan dengan adanya pasar tiban. RT mendapat pemasukan dari retribusi para pedagang yang membuka stan di pasar.
Tidak hanya itu, kampung juga memiliki kas lebih dengan membuka jasa parkir di keramaian. Setiap pasar digelar, ratusan bahkan ribuan pengendara yang berkunjung butuh tempat untuk menitipkan kendaraan.
Warga setempat juga bisa ikut berjualan untuk meningkatkan kesejahteraan.
“Kita menggandeng UMKM setempat bisa ikut jualan, biasanya warga ikut jualan kuliner,” katanya.
Merintis pasar rupanya bukan hal gampang. Para pedagang di pasar tiban harus rela bersabar saat pasar baru dibuka dan belum dikenal. Bahkan pihaknya pernah menutup pasar tiban karena sepi setelah dicoba beberapa bulan.
Paguyuban harus merugi karena sudah keluar modal cukup besar untuk meratakan lahan.
Pihaknya harus berpindah mencari lokasi lain yang lebih potensial. Kini, pihaknya memiliki beberapa titik pasar tiban yang sudah berjalan dan bisa diandalkan.
Rina dan teman-temannya kini tak lagi bingung kemana esok harus berjualan. Hampir setiap hari, Rina sudah memiliki jadwal dan tempat untuk berjualan di pasar tiban.
“Misal hari Senin buka pasar tiban di kawasan industri, Selasa ganti di tempat lain, lalu Rabu dan hari seterusnya di lokasi berbeda. Jadi enak sudah terjadwal dan lokasinya jelas,”katanya
Jangan anggap remeh pedagang pasar tiban. Penghasilan mereka tak kalah dengan pedagang yang menggelar produk di ruko mahal.
Pasar tiban sejatinya strategi “jemput bola” mencari pelanggan. Mereka menciptakan pasar dadakan yang memancing warga untuk datang. Dari pusat keramaian yang mereka ciptakan, lahir perputaran uang yang besar.
Dari mengais rizki di pasar tiban, Rina mampu meningkatkan penghasilan. Ia bisa membeli sepeda roda tiga baru untuk mengangkut dagangan. Dari hasil ketekunannya berbisnis, ia juga mampu membeli rumah dan kendaraan.
“Namanya usaha penghasilan tidak pasti. Tapi Alhamdulillah kalau pas ramai omzet lumayan,” katanya.
Meski keberadaan pasar tiban berjalan lancar, usaha Rina dan kawan-kawannya bukan tanpa rintangan. Omzet mereka sangat terpengaruh oleh kondisi cuaca.
Saat hujan turun, terlebih dengan intensitas tinggi, pasar tiban ikut sepi.
Rina dan teman-temannya sepaguyuban juga sempat terpuruk karena pandemi. Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), antara tahun 2020 - 2022 lalu, memaksa pasar tiban tutup.
Para pedagang otomatis kehilangan mata pencaharian. Ia menyaksikan banyak temannya yang gulung tikar, bahkan tidak lagi berjualan hingga sekarang.
Rina bersyukur masih bisa bertahan. Kini ia mulai membangkitkan usahanya yang sempat kembang kempis. Ia bersyukur paguyubannya masih solid untuk kembali menghidupkan pasar tiban.
“Pas Covid itu ujian terberat. Pasar tiban tutup. Giliran boleh buka, tidak boleh ramai orang. Padahal pedagang maunya ramai, kita sempat ngotot sama petugas,”katanya
Persaingan di dunia usaha adalah keniscayaan. Pesaing Rina yang punya bisnis sama pun banyak. Ini justru membuatnya semakin termotivasi untuk lebih bekerja keras menggaet pelanggan.
Di antara promosi yang dilakukan, ia rela mengambil untung sedikit untuk pembelian produk lebih banyak. Misal ia memasang harga tiga pasang kaus kaki hanya Rp 10 ribu.
Likah, salah satu pemakai produk Rina mengaku tertarik dengan promosi yang dilakukan Rina. Promo tertulis 10 Ribu 3 itu membuat pelanggan tertarik untuk menyambangi lapaknya.
Iklan tersebut membuat pelanggan sepertinya berkesimpulan, lapak tersebut menjual barang murah, sesuai keinginan setiap pelanggan.
Meski pun akhirnya, pengunjung sepertinya tidak mesti membeli produk yang tertera dalam promo tersebut. Sebab, ternyata ada banyak pilihan produk di lapak tersebut yang lebih menarik dan berkualitas, meski dengan harga berbeda.
“Ya wajar ada harga ada rupa. Tapi terhitung masih murah, apalagi kalau belinya lebih dari 1,” katanya. (aqy)
Baca juga: Kisah Penyintas Kanker Bangun Usaha di Banjarnegara, Tetap Berbagi meski Warung Sepi
Harga Beras Medium di Semarang Tembus Rp15 Ribu per Kilogram, Ini Penyebabnya |
![]() |
---|
Percontohan Nasional, Koperasi Merah Putih Gedawang Tembus Omzet Rp 69 Juta dalam 1,5 Bulan |
![]() |
---|
Wali Kota Semarang Anjurkan Pedagang Kelontong Kulakan di Koperasi Merah Putih |
![]() |
---|
Pemkot Semarang Wajibkan ASN Jadi Anggota KKMP, Wali Kota: Akan Dipantau Kepala Dinas dan Kabag |
![]() |
---|
Sosok Rohmat Sukur, Warga Semarang Terlibat Penculikan Kacab Bank BUMN: Sering Nyupiri Bos |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.