Breaking News
Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Readers Note

Murid Digital Tak Butuh Guru Serba Tahu Tapi yang Mau Tumbuh Bersama

Pada peringatan Hari Pendidikan Nasional, berbagai slogan yang menggelorakan semangat perubahan dan refleksi terhadap dunia pendidikan Indonesia

Editor: iswidodo
tribunjateng/dok pribadi
Prof. Dr. Heny Hartono, SS, MPd Guru Besar Fakultas Bahasa dan Seni Soegijapranata Catholic University (Unika) Semarang 

Murid Digital Tak Butuh Guru Serba Tahu Tapi yang Mau Tumbuh Bersama
Prof. Dr. Heny Hartono, SS, MPd
Guru Besar Fakultas Bahasa dan Seni Soegijapranata Catholic University (Unika) Semarang

Pada peringatan Hari Pendidikan Nasional, berbagai slogan yang menggelorakan semangat perubahan dan refleksi terhadap dunia pendidikan Indonesia digemakan lewat berbagai platform dan seremoni. 
Di balik semua retorika yang mengemuka, ada satu hal krusial yang masih sering luput dari perhatian yaitu kesenjangan besar antara cara belajar generasi digital dengan pendekatan mengajar yang masih konvensional.
Peserta didik hari ini yang terlahir sebagai generasi Z dan generasi Alpha bukan hanya tumbuh di era digital, tetapi mereka lahir di dalamnya. Mereka dengan mudah mendapatkan pengetahuan baru lewat video berdurasi dua hingga tiga menit, mereka terbiasa mengekspresikan diri lewat emoji dan story pendek, mereka ahli mengelola identitasnya di dunia maya sejak usia dini. Sementara itu, banyak guru dan dosen masih mengandalkan ceramah satu arah, dan mengajar dari modul yang tak berubah selama bertahun-tahun. Ketika peserta didik terlihat bosan, gelisah, sibuk mencoret-coret buku atau bermain gadget, seringkali mereka dianggap kurang fokus atau kurang disiplin. Padahal, bisa jadi mereka hanya tidak nyambung dengan metode dan teknik pembelajaran yang sudah terlalu jauh tertinggal dari realitas belajar mereka.

Penguatan Peran
Sistem pendidikan kita sering kali masih terjebak pada pengukuran nilai semata. Fokus utama masih pada ujian, angka, dan kelulusan. Padahal, dunia nyata jauh lebih kompleks dan tidak sesederhana lembar jawaban peserta didik. Peserta didik kita hidup dalam realitas yang berbeda, yang penuh dengan tantangan sosial, emosional, bahkan eksistensial. Sesungguhnya tantangan-tantangan tersebut tidak cukup dihadapi hanya dengan kecakapan akademik. Realitas ini menimbulkan pertanyaan mendalam: Apakah sekolah kita masih mendidik? Apakah kita sungguh-sungguh mempersiapkan mereka untuk masa depan, atau hanya menyiapkan mereka untuk ujian minggu depan?
Transformasi pendidikan tidak berarti semua guru atau dosen harus menjadi ahli teknologi. Yang jauh lebih perlu diperhatikan adalah pentingnya para guru atau dosen menguatkan peran mereka sebagai pendidik yang siap bertransformasi dalam pola pikir. Pendidik lebih dari sekedar pengajar yang menyandang gelar Mr. Know All, yang menjadi satu-satunya sumber informasi. Pendidik adalah fasilitator, pendamping, dan co-learner. Ketika peserta didik  bisa mendapatkan jawaban hanya dengan mengetik di mesin pintar digital, tugas pendidik bukan sekadar memberi informasi, tapi mengajarkan cara berpikir, menyaring, dan mempertanyakan informasi itu secara kritis. Pergeseran fokus dari fokus hasil ke fokus proses harus menjadi budaya baru dalam proses pendidikan. Di sinilah letak peran guru dan dosen sebagai pemandu nilai dan penalaran, bukan hanya sebagai penyampai materi.

Cara Lama
Hari Pendidikan Nasional adalah momen reflektif yang lebih dari sekedar seremoni. Momentum ini harus digunakan untuk menanyakan ulang: untuk siapa pendidikan kita diselenggarakan? Jika jawabannya adalah untuk generasi muda, maka kita tidak bisa terus memaksakan mereka mengikuti cara-cara lama yang tidak lagi relevan.
Sekolah bukan hanya tempat anak-anak belajar pelajaran, tapi tempat mereka belajar menjadi manusia. Sekolah atau kampus harus menjadi tempat belajar untuk mempersiapkan manusia seutuhnya di abad ke-21 yang membutuhkan lebih dari sekadar kemampuan menghitung dan menghafal. Mereka butuh berpikir kritis, berempati, beradaptasi, dan berkarya secara kreatif — semua itu hanya bisa tumbuh jika pendekatan pendidikannya juga berubah. 
Maka, jika ingin relevan, para pendidik perlu bergerak. Para pendidik dan pembuat kebijakan harus berani meninjau ulang cara mendidik, bukan sekadar memperbaiki kurikulum. Transformasi pendidikan bukan dimulai dari alat digital, tapi dari kesadaran mendalam akan perubahan zaman. Murid digital tidak butuh guru yang serba tahu, mereka butuh guru yang mau tumbuh bersama. (*) 

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved