Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Readers Note

Menanamkan Nilai Filosifis Jawa Sejak Dini di Tingkat SD 

Di balik sikap polosnya tersebut tersimpan sebuah nilai filosofis jawa yang berusaha selalu kita tanamkan sebagai bentuk kearifan lokal jawa.

Editor: iswidodo
tribunjateng/dok pribadi
Hilal Mulki Putra | Guru MI Al-Mujahidin Temanggung 

Menanamkan Nilai Filosifis Jawa Sejak Dini di Tingkat SD 
Oleh  Hilal Mulki Putra | Guru  MI Al-Mujahidin Temanggung

BEBERAPA waktu lalu, saya menyaksikan sebuah kejadian kecil yang menyentuh batin saya. Seorang murid kelas 3 dengan sukarela membantu temannya yang terjatuh, kemudian dengan naturalnya dia berkata;”Monggo, dipun tulungi” sambal menyodorkan tangan. 

Di balik sikap polosnya tersebut tersimpan sebuah nilai filosofis jawa yang berusaha selalu kita tanamkan sebagai bentuk kearifan lokal jawa.

Sebagai seorang guru yang mengabdikan diri di lembaga pendidikan dasar di pulau Jawa, kita memiliki kesempatan emas untuk menanamkan nilai filosofis Jawa yang sarat dengan dengan kebijaksanaan hidup. Bukan dalam bentuk filsafat yang rumit, melainkan melalui praktik keseharian yang penuh dengan makna.

Nilai Filosofis Jawa
    
Pertama, prinsip Ajining Diri Saka Lati, Ajining Raga Saka Busana atau yang memiliki arti harga diri berasal dari perkataan, harga tubuh berasal dari pakaian. Prinsip ini kami terapkan melalui kebiasaan sederhana. Hal ini kami mulai dengan setiap paginya untuk menyapa dengan ucapan “sugeng enjang, Pak/Bu Guru” sambil sungkem atau mencium tangan tangan Bapak Ibu Guru.

Selain itu, Saat berbicara mereka diajarkan untuk menggunakan bahasa Jawa krama alus kepada guru maupun orang tua. Bukan sekadar formalitas, melainkan untuk melatih kesadaran bahwa setiap kata harus dijaga, serta setiap sikap haruslah diperhatikan.

Kedua, nilai Ojo Dumeh yang memiliki arti jangan semena-mena dengan siapapun. Nilai ini kami kenalkan dalam permainan dakon yang mengajarkan nilai dimana setiap manusia haruslah sabar dalam menunggu antrian, jujur dalam menghitung biji, dan sportif dalam bersaing. 
    
Mereka memahami bahwa dalam kehidupan terdapat aturan yang harus dipatuhi, ada hak orang lain yang harus dihargai. Nilai ini menjadi benteng dari budaya instan gratification yang menggerogoti karakter anak.
    
Ketiga, filosofi Wani Ngalah, Dhuwur Wekasane  yang memiliki arti berani mengalah, akhirnya mulia. Nilai ini kami implementasikan dalam konflik sehari-hari. Contoh pada saat anak saling berebut mainan, kami tidak serta merta menghakimi. Melainkan mengajak berdialog. Perlahan mereka belajar bahwa mengalah bukan berarti kalah, melainkan bukti kedewasaan dan kekuatan karakter.

Yang menarik nilai-nilai ini tidak kami ajarkan melalui ceramah panjang, melainkan melalui teladan dan pembiasaan. Dari sini, kita dapat belajar bersama bahwa segala sesuatu itu perlu pembiasaan, keteladanan, dan diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari, agar manusia terbentuk menjadi pribadi yang menghargai segala sesuatu yang ada. 

Kearifan Lokal
    
Dalam pembelajaran akademis, nilai-nilai Jawa dapat diintegrasikan saat siswa belajar berhitung. Saat belajar menulis, kami memperkenalkan tulisan Jawa hanacaraka sambil bercerita filosofi Jawa. Melalui pendekatan ini, anak pun tahu bahwa ha-na-ca-ra-ka bukanlah hanya sebuah huruf, melainkan juga mengenai persaudaraan dan pengorbanan menurut cerita sejarah Jawa.
    
Hasil dari pembelajaran yang meenerarapkan nilai-nilai filosofis Jawa mungkin tidaklah instan. Tetapi, penulis yakin bahwa benih-benih karakter yang ditanamkan sejak dini akan tumbuh menjadi pohon yang kokoh. Ketika murid-murid dengan santun membantu teman yang kesulitan, jujur dalam mengakui kesalahan, atau ikhlas mengalah untuk beberapa hal tertentu. Penulis percaya kita sedang mempersiapkan generasi penerus bangsa yang tidak hanya cerdas, tapi juga berbudi luhur.
    
Merawat kearifan lokal dalam konteks pendidikan berbasis nilai filosofis Jawa di atas, bukan sekadar melestarikan budaya secara simbolis. Lebih daripada itu, ini adalah sebagai upaya dalam membentuk manusia yang seutuhnya memahami jati dirinya. 
    
Ketika anak-anak memahami filosofi permainan tradisional contohnya, mereka secara tidak langsung sedang menginternalisasikan kebijaksanaan leluhur yang senantiasa relevan dengan perkembangan zaman. 
    
Pada akhirnya, pendidikan yang berpijak pada kearifan lokal akan melahirkan generasi penerus yang tidak tercabut akar budayanya. Membiasakan anak untuk berbahasa krama alus serta meneladani nilai-nilai budaya luhur Jawa dalam praktik sehari-sehari di sekolah merupakan investasi berharga untuk membawa bangs akita gemilang di masa depan. (*)

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved