Nasional
Nasib Nelayan di Indonesia Harga Jaring Capai Miliaran, BBM Mahal, dan Bantuan Tak Sampai
Suasana lantai tiga Balai Besar Penangkapan Ikan (BBPI) di kawasan Tanjung Emas, Semarang, tampak ramai.
Penulis: budi susanto | Editor: rival al manaf
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Suasana lantai tiga Balai Besar Penangkapan Ikan (BBPI) di kawasan Tanjung Emas, Semarang, tampak ramai.
Di ruangan tersebut perwakilan nelayan dari berbagai wilayah di Jawa Tengah berkumpul, namun bukan sekadar untuk menghadiri forum resmi.
Mereka membawa harapan, kekhawatiran, dan unek-unek yang sudah lama terpendam.
Di bawah tema Sinergi dan Inovasi dalam Pelayanan BBPI untuk Mendukung Pengelolaan Penangkapan Ikan yang Berkelanjutan, para nelayan akhirnya punya kesempatan menyampaikan langsung berbagai kendala yang mereka alami kepada pihak terkait dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Baca juga: Verrel Bramasta Lunasi Rp 10 Juta Setelah Pedagang Mainan Kecewa: Mending Balikin Barangnya
Baca juga: Kasus DBD Naik, Dinas Kesehatan Kota Pekalongan Gencarkan Edukasi dan PSN Berbasis Sekolah
Namun, di balik tema besar itu, terkuak kenyataan pahit yang harus mereka hadapi di laut maupun darat.
Siswo Purnomo, perwakilan dari Paguyuban Nelayan Mitra Nelayan Sejahtera Juwana, memulai dengan persoalan alat tangkap.
Dengan nada tenang namun penuh tekanan, ia menjelaskan betapa mahalnya harga jaring untuk kapal-kapal besar.
“Bayangkan, jaring purse seine untuk kapal 100 GT harganya bisa mencapai Rp 1 miliar. Tapi kualitasnya belum tentu bagus kalau tidak sesuai spesifikasi,” ujar Siswo, Selasa (1/7/2025).
Jaring yang tak sesuai spesifikasi tidak hanya menyulitkan di lapangan, tapi juga mempercepat kerusakan. Bahan yang rapuh akan mudah rusak karena terpapar panas dan air laut.
Menurutnya, jaring purse seine seharusnya bisa bertahan tiga tahun, tapi tetap harus ada perawatan setiap tahunnya dan biaya perawatan bisa mencapai 50 persen dari harga baru.
“Makanya kami berharap ada sertifikasi resmi alat tangkap dari BBPI. Jangan sampai nelayan rugi karena beli alat tangkap yang ternyata cepat rusak,” pintanya.
Keluhan lain datang dari Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Jawa Tengah, Riswanto.
Ia menyoroti dampak kondisi global yang tidak menentu, terutama dalam hal biaya operasional.
“Sekitar 70 persen biaya operasional kami itu untuk bahan bakar. Ketika harga naik dan distribusinya tidak pasti, kami sangat terdampak,” katanya.
Menurut Riswanto, selain harga BBM, masalah lain yang tak kalah pelik adalah alat tangkap yang mahal dan tidak efisien.
Inilah Sosok Mulyono, Alumni Fakultas Kehutanan UGM yang Sering Dikaitkan Dengan Jokowi |
![]() |
---|
Presiden Prabowo Perintahkan Gibran Berkantor di Papua |
![]() |
---|
Rumput Laut Jepara akan Dikembangkan Jadi Suplemen Antidiabetik |
![]() |
---|
Cegah Aksi Pencucian Uang, Bank yang Laporkan Transaksi Keuangan Mencurigakan Dapat Penghargaan |
![]() |
---|
Lalu Lintas Tersendat! Jalan Tol Jakarta - Tangerang Kebanjiran |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.