Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Readers Note

Darurat Integritas Riset Perguruan Tinggi

Indikator ini bukanlah sekadar angka statistik, tetapi cerminan dari krisis etika akademik. Ketika universitas-universitas besar mulai “memanen” publi

Editor: iswidodo
tribunjateng/dok pribadi
Kodrat Alamsyah, Ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Jateng-DIY 

Darurat Integritas Riset Perguruan Tinggi
Oleh Kodrat Alamsyah, Ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Jateng-DIY

BARU-BARU ini publik dikejutkan dengan beredarnya data Research Integrity Risk Index (RI⊃2;) yang menempatkan sejumlah perguruan tinggi Indonesia dalam kategori “berisiko tinggi” dan bahkan “red flag” dalam integritas riset. 

Dalam daftar tersebut, kampus-kampus ternama seperti Universitas Bina Nusantara, Universitas Airlangga, hingga Universitas Hasanuddin masuk ke dalam zona merah. Sementara itu, Universitas Diponegoro, Universitas Brawijaya, dan Universitas Padjadjaran dikategorikan sebagai high risk.

RI⊃2; sendiri merupakan indeks yang mengukur integritas riset sebuah institusi, terutama terkait dua hal utama: tingginya angka retraction (penarikan publikasi karena pelanggaran etika seperti manipulasi data), dan D-rate atau rasio publikasi di jurnal yang belakangan dikeluarkan dari database internasional seperti Scopus atau Web of Science karena indikasi sebagai jurnal predator.

Indikator ini bukanlah sekadar angka statistik, tetapi cerminan dari krisis etika akademik. Ketika universitas-universitas besar mulai “memanen” publikasi dari jurnal abal-abal demi mengejar kuantitas, kita kehilangan esensi dari apa yang disebut sebagai ilmu pengetahuan: kejujuran, objektivitas, dan kontribusi terhadap masyarakat.

Praktik publikasi di jurnal predator bukanlah sekadar kesalahan teknis. Ini adalah penyakit sistemik yang menjangkiti dunia pendidikan tinggi kita. Budaya “publish or perish” yang semakin mengakar dalam birokrasi akademik membuat dosen dan peneliti berlomba-lomba mengejar angka—bukan kualitas. 

Profesor Simon Marginson dari University of Oxford pernah menyatakan bahwa “pengukuran performa akademik yang berlebihan dapat membunuh semangat ilmiah dan menghasilkan budaya tipu-tipu.” Apa yang terjadi di Indonesia adalah ilustrasi nyata dari hal itu.

Padahal dalam Islam, etika ilmiah adalah hal yang sangat fundamental. Rasulullah bersabda, "Barangsiapa menipu kami, maka ia bukan golongan kami." (HR. Muslim). Dalam konteks riset, memalsukan data, menempatkan nama tanpa kontribusi, atau menerbitkan di jurnal tidak kredibel adalah bentuk penipuan terhadap ilmu, masyarakat, dan masa depan bangsa.

Masalah Struktural

Namun kita tidak bisa hanya menyalahkan individu. Masalah ini perlu dibaca secara struktural. Dorongan pemerintah melalui berbagai regulasi seperti Permenristekdikti No. 20 Tahun 2017 yang mewajibkan publikasi internasional bagi dosen untuk naik pangkat telah menciptakan tekanan luar biasa. Tidak semua kampus memiliki ekosistem riset yang memadai. Maka, ketika tuntutan tidak dibarengi dukungan, ruang untuk kecurangan pun terbuka.

Sosiolog Imam B. Prasodjo pernah menyatakan bahwa sistem meritokrasi yang tidak sehat justru mendorong aktor akademik untuk memilih “jalan pintas.” Ketimbang riset yang mendalam dan berdampak, banyak yang memilih jalur instan demi sekadar lolos akreditasi atau kenaikan jabatan. Akhirnya, integritas dikorbankan demi formalitas.

Tentu ini bukan kabar baik. Namun, bukan berarti tidak ada harapan. Perguruan tinggi harus berani mengevaluasi sistem penilaian dosen dan risetnya. Fokus pada kualitas, bukan sekadar kuantitas. Insentif juga harus diarahkan pada riset-riset yang berdampak pada masyarakat, bukan hanya pada jurnal internasional yang kerap tidak dibaca publik.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi perlu mendorong transparansi dan reformasi dalam manajemen riset. Membentuk lembaga pengawasan integritas riset yang independen dapat menjadi langkah awal.
Generasi muda akademik perlu disiapkan dengan pendidikan etika riset yang kuat. Pelatihan sejak dini tentang plagiarism, research misconduct, dan cara mengevaluasi kualitas jurnal harus menjadi kurikulum wajib dalam pendidikan pascasarjana.

Bangsa ini tidak kekurangan orang cerdas. Tapi kita kekurangan sistem yang mendorong kecerdasan itu tumbuh dalam etika dan tanggung jawab. Jika integritas riset dibiarkan rusak, kita akan mencetak doktor yang hanya pandai menulis, tapi tak paham makna. Kita akan memiliki jurnal yang penuh dengan artikel, tapi hampa kontribusi.

Namun saya percaya, dengan kesadaran kolektif dan keberanian untuk berbenah, dunia akademik Indonesia bisa bangkit dan lebih baik. Mari kita rawat kembali integritas riset sebagai fondasi peradaban. Karena dari riset yang jujur, lahir ilmu yang berguna. Dari ilmu yang berguna, lahirlah bangsa yang berdaulat. (*)

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved