Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Readers Note

Strategi Adaptasi Saat Bekerja Tidak Sesuai Bidang Pendidikan

Di Jawa Tengah, menurut laporan Kompas Regional (2 Mei 2025), masih ada sekitar 1.100 anak yang putus sekolah.

Editor: iswidodo
Tribunjateng/dok pribadi
Mahasiswa Magister Psikologi UNIKA Gregorius Andrea Mustikaningrat 

Strategi Adaptasi Saat Bekerja Tidak Sesuai Bidang Pendidikan

oleh Gregorius Andrea Mustikaningrat, SPd
Mahasiswa Magister Psikologi Unika Soegijapranata

SETIAP anak muda pernah punya mimpi. Ada yang ingin menjadi guru, dokter, polisi, atau perwira TNI. Sejak kecil, kita diajari bahwa dengan kerja keras, semua bisa tercapai. Namun kenyataan di dunia nyata sering kali tidak seindah itu.

Banyak anak muda harus menghadapi kenyataan pahit, semangat dan kemampuan tidak selalu cukup untuk membuka jalan. Ada yang harus berhenti karena ekonomi, ada yang terhenti karena aturan, dan ada pula yang tertunda karena batasan dan aturan.

Menurut data BPS tahun 2025,  tingkat pengangguran terbuka pada kelompok usia muda (20–29 tahun) masih mencapai 13 persen—angka tertinggi dibanding kelompok usia lain. Artinya, banyak anak muda yang siap bekerja, tetapi belum mendapat kesempatan.

Saya melihat, banyak teman seperjuangan yang harus berhenti di tengah jalan. Bukan karena mereka malas, bukan pula karena kurang usaha. Tapi karena sistem dan aturan membuat langkah mereka terhenti bahkan ketika semangat masih menyala.

Mimpi Berhenti

Di Jawa Tengah, menurut laporan Kompas Regional (2 Mei 2025), masih ada sekitar 1.100 anak yang putus sekolah. Bukan karena mereka tidak mau belajar, melainkan karena kemiskinan ekstrem memaksa mereka berhenti lebih cepat dari seharusnya. 

Banyak di antara anak-anak itu akhirnya merantau bawa bekal ijazah SD atau SMP, bekerja sebagai buruh, pelayan, atau kuli bangunan. Mereka memilih bekerja daripada sekolah, bukan karena tak punya semangat, tapi karena tuntutan hidup.

Anak-anak yang putusa sekolah kemudian berisiko dalam lingkar kemiskinan antargenerasi. Dengan pendidikan rendah, peluang mereka untuk mendapatkan pekerjaan layak menjadi sangat kecil. Akibatnya, ketimpangan sosial tetap bertahan dari tahun ke tahun.

Mereka belajar dari kehidupan, bukan dari buku pelajaran. Namun kehidupan yang keras ini juga menuntut daya tahan yang luar biasa—sebuah ketangguhan yang lahir bukan dari pilihan, tetapi dari keterpaksaan.

Batasan Usia 

Setelah sekolah, persoalan lain menunggu, yaitu keharusan bekerja. Laporan Kompas Tren (8 November 2025) menyebut bahwa di Indonesia, usia 26 tahun sudah dianggap “tua” untuk mencari kerja. Banyak HRD perusahaan menolak pelamar bukan karena kompetensinya, tetapi karena umur. Ironisnya, di sisi lain, pengalaman kerja juga dijadikan syarat utama. Lalu bagaimana nasib mereka yang baru lulus kuliah di usia 25–26 tahun.

Pemerintah memang telah menghapus batas usia pelamar kerja lewat kebijakan baru (CNBC Indonesia, 30 Mei 2025). Namun, praktik di lapangan belum seideal itu. Masih banyak perusahaan yang menolak pelamar hanya karena dianggap “terlalu tua”.

Fenomena ini memperlihatkan bentuk diskriminasi usia yang masih kuat dalam dunia kerja Indonesia. Walaupun regulasi mulai berubah, persepsi sosial terhadap usia produktif masih sempit—seolah kemampuan seseorang menurun begitu melewati batas tertentu.

Sumber: Tribun Jateng
Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved