Berita Semarang
Potensi Energi Terbarukan RI Capai 3.687 GW, Modal Utama Menuju Energi Bersih
Indonesia dianggap memiliki potensi besar dalam memperkuat ketahanan energi nasional, dengan cadangan energi terbarukan mencapai 3.687 gigawatt (GW).
Penulis: Idayatul Rohmah | Editor: M Syofri Kurniawan
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Indonesia dianggap memiliki potensi besar dalam memperkuat ketahanan energi nasional, dengan cadangan energi terbarukan mencapai 3.687 gigawatt (GW).
Koordinator Kelompok Kerja Hukum, Ditjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yoga Marantika, mengatakan, potensi ini tersebar dari ujung barat hingga timur Nusantara, dengan enam sumber energi utama yakni panas bumi, hidro, surya, angin (bayu), bioenergi, dan energi laut.
Merujuk data tahun 2024 tersebut, pulau Sumatra menyimpan potensi terbesar yakni 1.240 GW; disusul Jawa sebesar 696,58 GW; Kalimantan 517,53 GW, Maluku dan Papua 518,46 GW; Bali dan Nusa Tenggara 457,17 GW; serta Sulawesi sebesar 257,36 GW.
Baca juga: Film Temui Aku di Kota Lama Gelar Casting di Semarang, Sutradara: Banyak Talenta Berbakat
"Indonesia memiliki cadangan potensi energi terbarukan sebesar 3.687 GW, terbagi di beberapa pulau.
Tentunya ini adalah potensi yang sangat besar dari sisi energi yang bersih," kata Yoga dalam kegiatan pelatihan media bertema “Energi Bersih – Potensi, Bisnis Proses, dan Outlook” yang digelar Pamerindo Indonesia bersama Lembaga Inovasi Energi Teknologi Nusantara (Lientera), dan PT Radian Teknologi Global (RTG) secara daring, Sabtu–Minggu (28–29/6/2025).
Pemanfaatan energi terbarukan ini sejalan dengan agenda pemerintah dalam memperkuat ketahanan energi nasional melalui program Asta Cita yang digaungkan Presiden Prabowo Subianto.
Dalam visi dan misi Asta Cita poin kedua, disebutkan pentingnya memantapkan sistem pertahanan keamanan negara dan mendorong kemandirian energi melalui swasembada pangan, energi, air, serta pembangunan ekonomi hijau dan biru.
Yoga menjelaskan, ketahanan energi diukur melalui empat parameter utama: availability, accessibility, affordability, dan acceptability.
Berdasarkan Indeks Ketahanan Energi Nasional tahun 2023, Indonesia memperoleh skor 6,64 dari skala 10, yang menandakan kategori “tahan”.
"Jadi skor tersebut menunjukkan bahwa Indonesia berada dalam kategori tahan dari kriteria kualifikasi terkait ketahanan energinya," jelasnya mewakili Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE), Eniya Listiani Dewi.
Lebih lanjut, ia menjabarkan dari enam jenis EBT, panas bumi dan hidro menjadi andalan karena dapat digunakan sebagai base load atau sumber daya utama dalam sistem ketenagalistrikan. Potensi panas bumi di Jawa, misalnya, mencapai 7,77 GW dan telah banyak dimanfaatkan dalam sistem kelistrikan Jawa-Madura-Bali (Jamali).
Demikian pula energi hidro, khususnya di Sumatera dan Kalimantan, yang secara konstan menyuplai listrik karena sifatnya yang stabil.
Energi surya juga disebut memiliki potensi besar, didukung posisi geografis Indonesia yang berada di garis khatulistiwa. Energi ini dinilai cocok diterapkan di daerah terpencil melalui sistem off-grid, meski ia juga menyoroti tantangan intermitensi atau ketergantungan pada kondisi cuaca dan keterbatasan jam produksi harian.
“Tanpa dukungan energy storage seperti baterai, suplai listrik dari PLTS hanya optimal sekitar 4–5 jam per hari. Tantangan lainnya adalah harga baterai yang masih relatif mahal, sehingga dibutuhkan investasi lebih untuk menjamin suplai 24 jam," ungkapnya.
Sementara itu, program pengembangan pembangkit EBT dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025–2034, pemanfaatan energi baru dan terbarukan ditargetkan mencapai 42.569 megawatt (MW) dari pembangkit, serta 10.256 MW dari sistem penyimpanan (storage).
Distribusi pengembangan EBT dalam RUPTL ini juga mengikuti sebaran potensinya. Pulau Sumatera direncanakan mendapat alokasi 9.841 MW pembangkit, Kalimantan 3.456 MW, Sulawesi 7.687 MW, serta Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara sebesar 2.303 MW.
Sementara wilayah Jamali, yang merupakan pusat konsumsi listrik nasional, diproyeksikan akan mengembangkan kapasitas terbesar, yakni 19.643 MW dari pembangkit EBT dan 7.956 MW dari sistem penyimpanan energi.
Yoga memaparkan, jenis EBT yang akan dimanfaatkan dalam periode ini antara lain tenaga air, angin, surya, panas bumi, serta biomassa, biogas, dan tenaga sampah.
Bahkan untuk jangka panjang, Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) berkapasitas 500 MW juga direncanakan mulai masuk pada tahun 2032.
Tantangan Pengembangan EBT
Namun demikian, Yoga menegaskan bahwa transisi energi bersih bukan tanpa tantangan.
Salah satu tantangan tersebut adalah kebutuhan investasi yang sangat besar, terutama untuk membangun infrastruktur yang dapat menghubungkan sumber-sumber EBT—yang sebagian besar berada di daerah terpencil atau tersebar—dengan pusat-pusat konsumsi energi.
Untuk mendukung target tersebut, sebutnya, investasi yang dibutuhkan di sektor EBT mencapai Rp1.682,4 triliun. Pemerintah juga menargetkan penciptaan 760.000 green jobs serta penurunan emisi karbon hingga 129,5 juta ton CO₂.
“Energi terbarukan umumnya bersifat on-site. Tidak seperti batubara yang bisa diangkut ke mana saja, panas bumi misalnya, harus dimanfaatkan langsung di lokasi wilayah kerja. Maka dari itu, dibutuhkan jaringan transmisi yang kuat dan investasi besar agar energi ini bisa sampai ke demand,” jelasnya.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, pemerintah mendorong pembaruan kebijakan yang mendukung iklim investasi di sektor EBT.
Salah satu langkah konkret yang dilakukan adalah penerbitan Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2025 tentang pedoman perjanjian jual beli tenaga listrik (PJBL) antara pengembang listrik swasta (IPP) dan PLN. Regulasi ini secara khusus disusun untuk menyelaraskan kebijakan kelistrikan dengan prinsip energi hijau.
“Dulu, skema PJBL untuk EBT sama halnya dengan pembangkit fosil. Sekarang sudah ada kekhususan, tentunya sebagai upaya untuk mengakselerasi pemanfaatan energi baru dan terbarukan yang lebih masif,” tambah Yoga.
Tak hanya dari sisi regulasi, aspek keekonomian, pendanaan, kesiapan industri dalam negeri, serta penerimaan sosial juga disebutkan menjadi fokus perhatian.
Penguatan industri lokal juga didorong agar sejalan dengan kewajiban Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) di sektor EBT.
Kementerian ESDM, dalam hal ini menerbitkan Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2025 yang mengatur lebih lanjut mengenai TKDN untuk sektor EBT. Aturan ini ditujukan untuk mempercepat pengembangan industri nasional yang mendukung pemanfaatan EBT secara optimal.
"Tantangan kesiapan industri ini terkait dengan pengembangan industri lokal, karena memang kita juga harus tetap comply terhadap ketentuan-ketentuan TKDN," imbuhnya.
Ketua Dewan Pembina Lientera, Moshe Rizal, mengapresiasi langkah pemerintah memasukkan energi terbarukan dalam porsi besar, termasuk Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sebesar 500 MW dalam RUPTL terbaru.
“Memang renewable itu menjadi sorotan utama dan mayoritas dari RUPTL kita memang renewable. Kita bagus, PLTN sudah masuk di dalam RUPTL 500 MW," kata Moshe.
Namun, Moshe juga mengingatkan, keberadaan proyek dalam RUPTL belum menjamin realisasinya dalam waktu dekat.
Menurutnya, RUPTL hanyalah salah satu dari sejumlah indikator yang dipertimbangkan oleh investor. Ada juga faktor lain yang jadi pertimbangan investor untuk berinvestasi.
"Banyak yang kita lihat di dalam RUPTL ini sebenarnya proyek-proyek yang sudah lama ada dan belum ada investornya, masuk lagi ke RUPTL yang baru. Kenapa? Karena PPA (Power Purchase Agreement) dan RUPTL memang dua kriteria yang harus ada, namun bukan hanya itu saja," paparnya.
Menurutnya, investor tetap akan melihat kelayakan secara menyeluruh, termasuk stabilitas kebijakan, kepastian regulasi, hingga daya saing Indonesia dibanding negara tetangga.
“Sekarang negara-negara seperti Vietnam, Thailand, dan Malaysia menjadi primadona investasi. Kita ini bersaing dengan mereka," ungkapnya.
Ia menambahkan, perlu adanya dorongan dalam percepatan realisasi proyek energi terbarukan. Hal itu agar tidak hanya berhenti di atas kertas, melainkan bisa benar-benar menjawab kebutuhan energi bersih nasional dan menarik minat investor global.
"Maka dari itu, harus ada dorongan dari pemerintah untuk bisa merealisasikan RUPTL ini," imbuhnya. (idy)
Baca juga: Agustina, Wali Kota Semarang Terima Permohonan Maaf Lima Mahasiswa Terlibat Kerusuhan May Day
Realisasi Pembayaran PBB Capai 78 Persen, Pemkot Semarang Perpanjang Jatuh Tempo Hingga 30 September |
![]() |
---|
Aksi Berani Wanita Pendemo Protes Polisi di Semarang, Setelah Kasus Ojol Tewas Dilindas Brimob |
![]() |
---|
ATVSI Dorong Revisi UU Penyiaran, FGD Digelar di Semarang |
![]() |
---|
ASN Kota Semarang Wajib Jadi Anggota Koperasi Merah Putih, Simpanan Pokok Dijadikan Modal KKMP |
![]() |
---|
Deteksi Polutan Transparan, Peneliti Smart Materials Research Center Undip Raih Gelar Doktor |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.