Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Beras Oplosan

Daftar 13 Merek Beras Diduga Oplosan Diungkap Satgas Pangan Polri, Dijual di Minimarket

Merek-merek beras ini mudah ditemui di minimarket atau pusat perbelanjaan dan diprediksi sudah dikonsumsi banyak orang.

Editor: rival al manaf
TRIBUNJATENG/Eka Yulianti Fajlin
TIMBANG BERAS - Pedagang sembako sedang menimbang beras. Satgas pangan mengungkap 13 merek beras diduga oplosan. 

Berdasarkan laporan terbaru, produksi beras nasional diperkirakan mencapai 35,6 juta ton, melampaui target 32 juta ton.

Kata Amran, pemerintah tak akan tinggal diam dan siap menindak tegas pihak-pihak yang merugikan masyarakat.

“Kami mengajak semua pelaku usaha beras untuk segera koreksi. Ini tidak boleh dibiarkan dan harus dihentikan mulai hari ini,” kata Amran, dalam konferensi pers di kantor Kementerian Pertanian, Jakarta, Kamis (26/6/2025), dikutip dari Tribunnews.

Pengamat Pertanian Center of Reform on Economic (CORE) Eliza Mardian merespons soal hasil investigasi Kementerian Pertanian soal peredaran 212 merek beras yang diduga tidak memenuhi standar mutu, takaran, dan harga eceran tertinggi (HET).

Eliza menilai, temuan adanya 85,56 persen beras premium dan 88,24 persen beras medium tidak sesuai regulasi menunjukkan lemahnya penegakan hukum dan pengawasan terhadap standar mutu. 

Selain itu, ia mengatakan, praktik oplosan yang dianggap "biasa" di pasar-pasar induk mengindikasikan normalisasi pelanggaran, yang menunjukkan kegagalan dalam sistem pengawasan pasar dan rendahnya risiko hukuman bagi pelaku. 

"Jadi memang perlu efek jera, misal mencabut izin usaha atau denda berkali-kali lipat," kata Eliza, saat dihubungi, Kamis (26/6/2025).

Eliza kemudian menuturkan, praktik oplosan yang marak dapat mengurangi kepercayaan konsumen terhadap pasar beras dan institusi pengawas. 

Hal ini, menurutnya, dapat memicu keresahan sosial karena beras merupakan komoditas yang "sensitif", sebab bisa menentukan stabilitas ekonomi sosial.

Selain itu, katanya, pasar beras di Indonesia cenderung oligopolistik di tingkat distribusi dan ritel, dimana margin keuntungan terbesar diserap di middleman rantai distribusi, sementara keuntungan yang didapatkan petani sendiri tidak sampai  40 persen dari nilai tambah produk tersebut.

Tak hanya itu, Eliz menyoroti, kejadian adanya beras oplosan mencerminkan kegagalan pasar yang disebabkan oleh asimetri informasi antara pedagang dan konsumen. 

Ia mengatakan, di satu sisi konsumen tidak memiliki akses penuh terhadap informasi mengenai kualitas, komposisi, atau asal-usul beras yang mereka beli. Hal tersebut yang kemudian dimanfaatkan pedagang.

"Nah pedagang yang melakukan praktik oplosan pun itu memanfaatkan ketidaktahuan konsumen dan ketiadaan traceability ini untuk memaksimalkan keuntungan. Hal ini membuat konsumen membayar harga premium untuk produk yang tidak sesuai dengan kualitas yang dijanjikannya. Ini konsumen dirugikan banyak," jelasnya.

Lebih lanjut, menurut Eliza, solusi untuk permasalahan tersebut, satu di antaranya bisa dengan menindak tegas pelaku kejahatan dengan sanksi yang jelas dan efek jera.

Selain itu, perlunya reformasi rantai pasok, dalam hal ini memperpendek rantai pasok dengan mendorong penjualan langsung dari petani ke konsumen


Artikel ini telah tayang di TribunJatim.com 

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved