Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Readers Note

Kesiapan Guru Faktor Penentu Pembejaran Koding dan AI

Kurikulum ini dirancang untuk siswa SD kelas atas, SMP, hingga SMA/SMK yang memiliki fasilitas dan kesiapan.

Editor: iswidodo
Tribunjateng/dok pribadi
oleh Dr. Emilia Ninik Aydawati, SP, MHum  Dosen Fakultas Bahasa dan Seni Unika Soegijapranata 

Kesiapan Guru Faktor Penentu Pembejaran Koding dan AI
oleh Dr. Emilia Ninik Aydawati, SP, MHum 
Dosen Fakultas Bahasa dan Seni Unika Soegijapranata

BADAN Standar, Kurikulum, dan Penilaian Pendidikan, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia merilis naskah akademik tentang pembelajaran koding dan kecerdasan artifisial pada bulan Februari 2025. Pembelajaran ini akan ditambahkan sebagai mata pelajaran pilihan di sekolah-sekolah mulai tahun ajaran 2025-2026. 

Kurikulum ini dirancang untuk siswa SD kelas atas, SMP, hingga SMA/SMK yang memiliki fasilitas dan kesiapan.
Tujuannya jelas yaitu menyiapkan peserta didik agar tidak hanya menjadi pengguna, tapi juga pencipta teknologi masa depan. Namun, pertanyaan yang perlu segera dijawab adalah, “Apakah guru-guru kita sudah siap mengajar coding dan AI?”

Faktanya, banyak sekolah yang masih belum memiliki banyak komputer, koneksi internet yang stabil, atau perangkat lunak untuk membantu mereka. Para guru tentu saja tidak bisa dibiarkan “belajar sendiri” dalam hal ini. Tentu saja, mereka tidak dapat mempelajari cara memprogram atau memahami dasar-dasar AI dalam waktu singkat.

Kesenjangan
Kesenjangan ini memunculkan risiko serius: siswa di sekolah perkotaan berpeluang lebih besar mendapatkan pendidikan digital berkualitas, sementara siswa di daerah lain tertinggal jauh karena gurunya tidak siap, bukan karena mereka tidak mampu.

Di sisi lain, guru bukan hanya pengajar teknis. Mereka juga berperan membentuk cara berpikir logis, kreatif, dan etis dalam penggunaan teknologi. Mengajar Koding dan AI bukan sekadar menyalin perintah ke komputer, melainkan memperkenalkan pola pikir algoritmik dan pemecahan masalah yang berguna di berbagai bidang kehidupan. Menurut UNESCO salah satu parameter utama untuk guru adalah bahwa guru harus mengenalkan nilai-nilai dan sikap dalam penggunaan AI berpusat pada manusia.

Jika guru tidak mendapatkan pembekalan yang memadai, maka materi baru ini bisa menjadi beban tambahan, bukan inovasi yang memerdekakan. Bahkan, bisa muncul ketimpangan antara sekolah yang siap dan tidak siap, baik dari segi infrastruktur maupun sumber daya manusia.

Inovasi pendidikan tidak boleh hanya berhenti pada peluncuran kurikulum atau penambahan mata pelajaran. Ia harus menyentuh dan memperkuat aktor utamanya: para guru. Tanpa guru yang paham, terlatih, dan percaya diri, pengajaran koding dan  AI akan menjadi sekadar simbol modernitas tanpa substansi.

Kompetensi Guru

Untuk memastikan implementasi yang adil dan efektif, pemerintah perlu memberi perhatian serius pada peningkatan kompetensi guru. Pelatihan daring dan luring harus diadakan secara sistematis, mulai dari pelatihan dasar untuk semua guru, hingga pelatihan lanjutan bagi guru informatika. Konten pelatihan harus relevan, aplikatif, dan mudah diakses.

Dinas Pendidikan Provinsi dan kabupaten/kota, khususnya di Jawa Tengah, bisa mengambil inisiatif dalam mengembangkan pelatihan berbasis komunitas guru. Kolaborasi dengan kampus, komunitas teknologi, dan industri digital juga bisa mempercepat proses ini. Pendekatan berbasis co-teaching—di mana guru berkolaborasi dengan praktisi IT—dapat diterapkan di sekolah-sekolah percontohan.

Pemerintah juga harus menyiapkan panduan kurikulum, contoh modul pembelajaran, dan repositori materi interaktif yang bisa digunakan secara terbuka. Dengan begitu, guru tidak harus memulai dari nol atau merasa sendiri dalam menghadapi materi yang sama sekali baru.

Kebijakan memasukkan Koding dan AI ke dalam kurikulum adalah langkah berani dan visioner. Namun, keberhasilan kebijakan ini sangat ditentukan oleh kesiapan guru sebagai ujung tombak pelaksana. Tanpa guru yang paham, percaya diri, dan didukung, pembelajaran AI bisa menjadi formalitas tanpa makna.

Kita tidak boleh membiarkan transformasi digital hanya dinikmati oleh sekolah unggulan di kota besar. Pendidikan digital haruslah inklusif, adil, dan relevan dengan kebutuhan lokal. Guru adalah jembatan utama untuk mewujudkan hal itu. (*)

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved