Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Nasional

Royalti Musik Dinilai Tak Akurat, Guru Besar Unika Ridwan Sanjaya: LMKN Jangan Malas Bikin Aplikasi

Fenomena hak cipta dan royalti musik mendapat perhatian dari Guru Besar Unika Soegijapranata, Prof. Dr. Ridwan Sanjaya.

ist/Humas Unika
POLEMIK ROYALTI MUSIK - Guru besar Soegijapranata Catholic University (SCU) Prof. Dr. Ridwan Sanjaya, S.E., S.Kom., MS.IEC dalam sebuah acara beberapa waktu lalu. 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Perdebatan mengenai hak cipta dan royalti belakangan mencuat di berbagai ruang publik.

Tidak sedikit seniman, penulis, maupun pencipta karya yang mengeluhkan sistem pembagian royalti yang dianggap tidak adil atau belum transparan.

Fenomena ini turut mendapat perhatian dari Dekan Fakultas Ilmu Komputer, Soegijapranata Catholic University (SCU) Semarang, Prof. Dr. Ridwan Sanjaya, S.E., S.Kom., MS.IEC.

Baca juga: Aliansi Musisi Solo Geruduk DPRD, Desak Pembubaran LMKN dan Revisi Aturan Royalti Musik

Ia menyoroti soal kurang akuratnya penghitungan royalti.

Belakangan, polemik yang muncul berkaitan dengan sistem pembagian hak royalti ke Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

LMKN adalah badan non-APBN yang ditunjuk oleh pemerintah untuk menarik, menghimpun, dan menyalurkan royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait atas penggunaan lagu dan/atau musik secara komersial.

Yang menjadi masalah saat ini, royalti yang dipungut LKMN tidak didasarkan lagu mana yang diputar.

Berbeda dengan Spotify, Apple Music, atau Youtube, yang bisa mendeteksi lagu mana-mana yang dimainkan," kata Prof Ridwan kepada Tribun Jateng.

"Akibatnya akurasi pembagian royalti LKMN pasti rendah sekali. Sehingga menimbulkan rasa ketidakadilan pembagian royalti, bahkan tidak ada dasar perhitungan yang pasti," jelas dia.

Melalui Peraturan Pemerintah (PP) nomor 56 tahun 2021 tentang pengelolaan royalti lagu dan musik, setiap penggunaan lagu dan musik untuk kepentingan komersial wajib membayar royalti kepada LMKN.

Hal ini mencakup berbagai sektor, mulai dari restoran, kafe, hotel, karaoke, konser, bioskop, seminar, hingga penggunaan di transportasi umum, lembaga penyiaran, dan nada tunggu telepon.

Prof Ridwan kemudian mendorong agar terciptanya satu aplikasi yang difungsikan untuk menghitung setiap lagu yang dimainkan di tempat-tempat publik secara akurat.

Menurut dia, Peraturan Pemerintah juga perlu disesuaikan agar tidak ketinggalan jaman cara berpikirnya.

"Karena besarnya uang yang dipungut, LKMN jangan malas membuat aplikasi yang memungkinkan untuk menghitung lagu-lagu yang dimainkan tempat-tempat publik secara akurat," jelasnya.

Dalam pandangannya, LMKN saat ini dimanjakan oleh PP yang jadul dan tidak mendorong usaha mereka untuk menyesuaikan jaman yang kini sudah era digital.

"LKMN sebetulnya mirip penarik retribusi di pasar. Ketika ada yang buka, ya bayar. Tidak peduli dan tidak masalah aktivitasnya apa. Jadi jangan harap musisi dapat royalti yang akurat," jelasnya.

"Jaman sekarang jaman IT. Jangan pakai cara-cara masa lalu. Itu hanya memperlihatkan kemalasan saja," tambah sosok yang juga guru besar SCU tersebut.

Dia mengatakan, pembuatan aplikasi untuk menghitung hak royalti tersebut mudah dibuat.

Yang perlu ditekankan yakni penerapannya perlu dibiasakan.
 
"Lagian akan membantu musisi yang disuka oleh pemutar lagu. Kalau suka, biasanya lebih rela," kata dia.

Prof Ridwan mengatakan, yang terpenting Hak Cipta dan Royalti penerapannya harus memperhatikan aspek keadilan dan transparansi.

"Bukan tutup mata hanya karena aturannya yang ada hanya itu saja," kata dia.

Dibagian lain, Prof Ridwan lewat bidang pengetahuannya telah melahirkan ratusan buku yang berkaitan dengan tehnik informatika dan sistem informasi.

Bahkan dia telah menulis buku sejak tahun 2000 silam.

Buku pertamanya berjudul Membuat Aplikasi WAP dengan PHP.

Buku tersebut diterbitkan sebanyak 4500 eksemplar dan kembali cetak ulang 3500 eksemplar karena digunakan Ericsson untuk mempromosikan layanannya.

Sedangkan buku best seller karya Prof Ridwan berjudul Membuat Blog dengan Blogspot yang sampai 7 kali cetak ulang.

Prof Ridwan mengatakan, melalui penerbitan buku tersebut ia juga sudah memiliki hak royalti.

Baca juga: Bayar Royalti Musik Wajib, Pakar Hukum Unika Soegijpranata: UMKM Bisa Dikecualikan

"Saya menjadi penulis buku sejak tahun 2000 dan saat ini kurang lebih ada 110 buku yang diterbitkan di Elex Media, ANDI Publisher, dan beberapa penerbitan kampus," katanya.

Terkait royalti, bahkan sudah dinikmati sejak buku diterbitkan atau disebut uang muka royalti dan berulang setiap pertengahan dan akhir tahun.

"Karena buku seperti kaset dan CD yang dulu bisa dihitung berapa pieces ini yang terjual. Maka perhitungan royaltinya jelas. Bahkan royalti terus jalan sampai sekarang meski sudah tidak sebesar dulu, mengingat tren teknologi juga cepat berganti," terangnya. (*)

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved