Ia mempersilakan masyarakat yang akan melakukan pengaduan jika merasa dirugikan oleh perusahaan fintech. Jika ada aduan, pihaknya pun tidak bisa langsung memutuskan bahwa fintech tersebut ilegal atau tidak berizin.
Menurutnya, hal tersebut merupakan tugas dari Kantor OJK pusat.
"Jika ada pengaduan, kami akan membahasnya terlebih dahulu di level satgas waspada investasi daerah. Kemudian diangkat ke pusat, nanti pusat yang memutuskan dan mengumumkan apakah fintech itu legal atau ilegal, kami hanya komando di lapangan," jelasnya.
Sementara, Deputi Komisioner Pengawas Perbankan IV OJK Pusat, Teguh Supangkat, menuturkan Satgas Waspada Investasi telah melakukan bersih-bersih terhadap 231 perusahaan fintech yang ilegal. "Ada 231 ilegal dan 99 legal," kata Teguh.
Jika masyarakat mengalami tindakan penagihan intimidatif, pelanggaran privasi dan identitas, kata dia, bisa diadukan ke OJK atau melapor ke kepolisian jika sudah meresahkan. Karena itu, masyarakat seharusnya bisa memilih fintech yang legal dan terdaftar di OJK agar tidak mengalami kejadian kurang mengenakan.
"Pilih fintech yang legal terdaftar di OJK, jangan yang abal-abal. Masyarakat bisa lihat di website OJK.co.id. Di situ ada daftar fintech yang legal," terang pria asal Kota Tegal itu.
Ia juga mengimbau masyarakat untuk berhati-hati karena ada fintech yang abal-abal atau ilegal mencantumkan logo OJK untuk meyakinkan calon konsumen. Perusahaan peer to peer lending fintech yang legal akan mempunyai nomor tercatat dan terdaftar di OJK.
Teguh mengatakan OJK sudah memberikan sejumlah rambu yang harus dipatuhi fintech saat mendirikan perusahaannya. Salah satunya adalah P2P Lending tidak diperbolehkan mengambil data pribadi masyarakat.
Meskipun demikian, kebocoran data pribadi dapat tetap terjadi. Terutama saat masyarakat memberikan data pribadinya secara sadar. Misalnya melalui persetujuan syarat dan ketentuan dalam aplikasi P2P Lending.
"Tidak boleh ambil data masyarakat. Terkadang secara sadar masyarakat memberikannya, ketika aplikasi meminta persetujuan boleh atau nggak kontaknya diakses. Terkadang masyarakat memencet 'yes' sehingga semua kontak (nomor telepon) jadi ketahuan," jelasnya.
Akan tetapi, Teguh juga memastikan bahwa bila peer to peer lending tersebut sudah menerima data pribadi masyarakat, ia harus tunduk pada UU yang berlaku.
Misalnya peraturan yang mengatur data-data yang diterbitkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil). Dengan kata lain bila terdapat fintech yang meminta fotokopi KTP masyarakat sebagai syarat pinjaman, perusahaan fintech memang dapat menyimpan sesuai izin pemilik, tetapi tidak boleh menyalahgunakannya.
Ketika ditanya mengenai perusahaan P2P lending fintech yang tidak memiliki alamat kantor dan kontak yang jelas, ia menegaskan bahwa hal itu keliru. "Aturannya harus ada (kantor dan kontak jelas). Kalau di daerah, seperti di Jateng memang tidak ada kantornya," imbuhnya.
Ia pun akan mendorong adanya satu peraturan perlindungan kepada masyarakat yang merupakan konsumen P2P lending fintech. (tim)