"Klarifikasi dari pihak yang bersangkutan perlu, kemudian dituangkan dalam berita acara."
"Nah, berita acara inilah yang kemudian dijadikan dasar untuk membuat beschikking (SK)."
"Jika dilihat dari kronologi dan konsideran dalam SK, tidak ada sama sekali sumber dari berita acara."
"Padahal pejabat kampus juga harus menerapkan asas umum pemerintahan yang baik dalam setiap tindakan," tandas Said.
Rektor Unnes Berlebihan
Di sisi lain, tanggapan serupa juga disampaikan akademisi Universitas Airlangga Surabaya (Unair) Dr Herlambang P Wiratraman.
Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KKAI) itu, menilai Rektor Unnes terkesan berlebihan dalam menanggapi ekspresi seseorang.
"Rektor Unnes terkesan terlalu berlebihan dalam menanggapi ekspresi seseorang, apalagi dari ‘kalimat tanyanya’ membuat pembaca bertanya."
"Bagi saya itu ekspresi kritik reflektif atas situasi tertentu berbasis persepsi penulis," ungkap Herlambang.
• Pembatalan 56 Sertifikat Warga Kebonharjo, BPN Sebut Hasil Keputusan PTUN Semarang
• Kecelakaan Flyover Manahan, Polresta Surakarta Ingatkan Lagi Batas Kecepatan Maksimal 40 Km/jam
Menurut Herlambang, ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan.
Pertama, apakah ada proses internal universitas, menanyakan atau mengklarifikasi atau bahkan menyidangkan yang bersangkutan dalam sidang etik?
Proses atau mekanisme itu diperlukan untuk memahami lebih dalam maksud dan tujuannya.
Kedua, langkah hukum pembebastugasan mengganggu aktivitas akademik.
Sehingga jelas melanggar kebebasan akademik, khususnya setiap individual dosen untuk mengekspresikan kritiknya, yang sebenarnya dijamin konstitusi.
Yakni UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR).