Sementara di Panti Pamardi Raharjo Banjarnegara, para penyintas ODGJ tanpa identitas dibuatkan KK bersama dengan mengangkat satu di antaranya sebagai Kepala Keluarga.
Sayangnya, pelayanan perekaman untuk ODGJ masih sebatas yang berada di panti.
ODGJ yang hidupnya masih di jalan belum tersentuh layanan ini.
Ia menilai Dindukcapil mestinya lebih proaktif melayani administrasi kependudukan ODGJ bukan hanya yang berada di panti.
Ia mencontohkan, ketika ODGJ terjaring razia dan dibawa ke rumah sakit, Dindukcapil bisa langsung melakukan perekaman. Sehingga dokumen kependudukan mereka bisa terbit lebih cepat.
Dengan begitu, ODGJ bisa segera didaftarkan ke BPJS Penerima Bantuan Iuran (PBI) agar bisa mengakses pelayanan kesehatan secara gratis.
"Karena Jamkesda sudah dihapus. Adanya pembiayaan langsung dari APBD, itu pun kabarnya mau dihapus. Sehingga untuk dapat pengobatan gratis, harus ditanggung BPJS yang usulannya harus pakai KTP, " katanya
Di sisi lain, ia menyoroti minimnya jumlah panti di Jawa Tengah yang tak sebanding dengan jumlah ODGJ.
Data dari Dinsos Provinsi Jateng, hanya ada 11 panti yang khusus menampung ODGJ dengan kapasitas 1136 orang.
Padahal tercatat, di Jawa Tengah ada 50.559 orang dengan gangguan mental atau psikotik.
Sementara keberadaan panti swasta yang khusus menampung ODGJ pun masih jarang.
Tak ayal, Dinsos Kabupaten maupun masyarakat sering kesulitan menitipkan ODGJ ke panti sosial milik Pemprov dengan alasan kamar penuh.
Sedangkan Pemkab tidak memiliki panti sosial mengingat kewenangan itu berada di Pemerintah Provinsi.
"Padahal sebagian ODGJ di panti bisa tinggal bertahun-tahun karena tak ditemukan keluarganya.
Sementara yang di luar sudah ngantre mau dirawat di panti, " katanya