Tribun Sejarah

Menyusuri Jejak Penyebaran Islam di Ungaran Semarang, Makam Waliyullah Hasan Munadi di Nyatnyono

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Suasana Makam Waliyullah Hasan Munadi di Nyatnyono, Ungaran Barat, Kabupaten Semarang, Rabu (5/4/2023).

TRIBUNJATENG.COM, UNGARAN - Wilayah Desa Nyatnyono, Ungaran Barat, Kabupaten Semarang diyakini menjadi satu di antara saksi jejak penyebaran Islam di Jawa Tengah.

Syekh Hasan Munadi, menurut warga setempat, merupakan tokoh pendakwah yang konon hidup sezaman dengan Raden Fatah dan Sunan Kalijaga pada masa Kesultanan Bintoro Demak.

Makam Syekh Hasan Munadi sendiri berada di Desa Nyatnyono dan hingga kini masih dirawat dengan baik oleh masyarakat setempat.

Makam tersebut terletak di kawasan dataran tinggi, di dalam bangunan serta cungkup.

Cungkup untuk makam tersebut diyakini merupakan bahan kayu Jati asli sejak zaman dahulu.

Makam anak Syekh Hasan Munadi, yaitu Kyai Hasan Dipuro juga berada di dekatnya lantaran semasa hidupnya juga mensyiarkan agama Islam.

Pada momen-momen tertentu, misalnya malam Jumat atau selikuran pada 21 Ramadan, Makam Syekh Hasan Munadi dan anaknya dipadati ribuan peziarah.

Menurut penuturan Humas Pengurus Makam Waliyullah Hasan Munadi, Syekh Hasan Munadi merupakan seorang pendakwah yang datang dari Kerajaan Mataram pada sekitar tahun 1.400 Masehi.

“Jadi pada zaman dahulu masyarakat di sini tidak beragama, kemudian Hasan Munadi melakukan syiar hingga agama Islam tersebar,” ungkap dia ketika ditemui Tribunjateng.com, Rabu (5/4/2023).

Masjid Subulussalam 

Selain melakukan syiar agama Islam di kawasan Ungaran dan sekitarnya tersebut, Syekh Hasan Munadi juga membangun masjid yang bernama Masjid Subulussalam.

Masjid tersebut mengalami beberapa kali pemugaran sejak 1985 hingga tampilannya kini nampak modern.

Empat pilar di Masjid Subulussalam di Ungaran, Kabupaten Semarang yang merupakan bagian asli peninggalan Syekh Hasan Munadi. (reza gustav)

Meskipun demikian, di dalam masjid tersebut, masih terdapat bagian-bagian yang asli, misalnya empat tiang (saka) cungkup, serta mimbar berbahan kayu.

“Empat tiangnya masih asli,” kata Amin, sapaannya.

Empat pilar tersebut berbalut ukiran bernuansa Majapahit yang masih berdiri tegak.

Tampilannya sendiri nampak kontras dengan bangunan sekelilingnya.

Empat tiang itu bisa menjadi tanda bahwa masjid peninggalan Waliyullah Syekh Hasan Munadi merupakan masjid tua.

Konon, sebelumnya, cungkup itu hanya bersaka satu.

Seiring berjalannya waktu, saka atau pilar utama itu dibelah menjadi empat bagian.

Saka yang dimaksud, sampai sekarang masih ada.

Asal-usul saka tersebut diyakini berasal dari Demak.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, tiang itu diambil dari bahan-bahan yang dipersiapkan Walisongo untuk pembangunan Masjid Agung Demak.

Syekh Hasan Munadi yang sudah memutuskan menetap di kaki gunung Ungaran saat itu menyanggupi permintaan Sunan Kalijaga untuk membantu pembangunan Masjid Agung Demak.

Kemudian, Hasan Munadi meminta syarat bahwa satu di antara saka yang hendak dibuat untuk Masjid Agung Demak dikirim ke Ungaran.

Sebab, Hasan Munadi saat itu tengah membangun sebuah masjid untuk tempat pembelajaran agama Islam bagi masyarakat di kaki Gunung Ungaran.

Permintaan tersebut disanggupi Sunan Kalijaga dan para prajurit Kesultanan Demak Bintoro kala itu langsung dikirim ke kaki Gunung Ungaran.

Sendang Nyatnyono

Masjid Subulussalam di Ungaran, Kabupaten Semarang yang merupakan bagian asli peninggalan Syekh Hasan Munadi. (reza gustav)

Selain Makam Waliyullah Hasan Munadi, Kyai Hasan Dipuro dan Masjid Subulussalam, terdapat satu lagi jejak peninggalan penyebaran Islam di sana, yaitu Sendang Nyatnyono.

Sendang keramat tersebut juga berjuluk Sendang Kalimah Tayyibah.

Di sendang tersebut, terdapat mata air di mana airnya dipercaya berkhasiat khusus dan memiliki karomah dan berkah.
Menurut Amin, sendang itu ditemukan pada 1985.

“Saat munculnya sendang itu, di Masjid Subulussalam masih terdapat persatuan ulama termasuk Mbah Hamid, Gus Dur juga dan lain sebagainya.

Saat itu perekonomian warga sedang minim,” kata Amin.

Pada momen tertentu, sendang itu ramai dikunjungi warga untuk bersih diri.

Sebagai contoh, saat menjelang Ramadan 2023 / 1444 H, Rabu (22/3/2023), ribuan warga melaksanakan padusan atau bersih diri di sendang tersebut.

Menurut penuturan seorang pengurus Sendang Kalimah Tayyibah, Ahmaji, air dari sendang tersebut dipercaya memiliki karomah serta bisa memberikan berkah bagi warga.

“Masyarakat meyakini mandi di Sendang Kalimah Tayyibah bukan sembarang air, jadi mengharap barokahnya mbah wali, mengharap ridhonya Allah SWT, agar ibadah puasanya berjalan lancar,” ungkap dia kepada Tribunjateng.com.

Kegiatan padusan itu, menurut Ahmaji, sudah rutin dilakukan warga baik warga lokal maupun luar Kabupaten Semarang setiap tahunnya, menjelang masuknya bulan puasa.

Dia menerangkan, sudah 20 tahun berturut-tutut sendang tersebut ramai dikunjungi.

Warga yang mandi di sana, tidak mengambil air langsung di sendang.

Di lokasi sendang sudah dibangun tempat khusus mandi dengan air dari sendang yang mengalir dan keluar melalui kran-kran.

Para pengunjung harus mengenakan sarung dan dilarang telanjang.

Seorang pengunjung, Sulistyo (43), mengaku sudah sering bersih diri di sendang tersebut.

Dia datang dari Kota Semarang sengaja menuju ke Sendang Nyatnyono untuk melakukan bersih-bersih.

“Sering, biasanya waktu Kamis malam, tapi kalau ini padusan. Mudah-mudahan mendapat berkah,” kata dia. (*)

Baca juga: 5 Orang Ditangkap, Hasil Operasi Bersinar Candi 2023 Polres Karanganyar, Ini Peran Tiap Pelaku

Baca juga: SOSOK Gadis Tionghoa Jadi Pemicu Kekalahan Perang, Ini Deretan Kisah Asmara Pangeran Diponegoro

Baca juga: Cek Kesiapan Mudik Lebaran, Ganjar Imbau Pemudik Manfaatkan Transportasi Publik

Baca juga: KPU Karanganyar Keluarkan 422 Orang Dari Daftar Pemilih, Ini Alasannya

Berita Terkini