Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, persoalan hukum soal kawasan Rempang sebenarnya sudah selesai.
Hanya saja, ada proses perizinan yang tumpang tindih sehingga menyebabkan konflik seperti saat ini.
"Rempang itu sebenarnya kalau masalah hukumnya sudah selesai. Jadi begini saya urutannya. tahun 2004 ada memorandum of understanding (MoU) antara Badan Pengusahaan (BP) Batam atau pemda lah ya, untuk pengembangan kawasan wisata di pulau-pulau yang terlepas dari pulau induknya," ujar Mahfud di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (11/9/2023).
"Memang ada peraturannya (untuk pengembangan). Nah salah satunya Pulau Rempang itu. Itu diputuskan pengembangan wisata tahun 2001, 2002. Kemudian tahun 2004 ada perjanjian, MoU antara pengembang, dengan BP Batam," kata dia.
Sebelum proses pengembangan dilaksanakan, kata dia, ternyata Pemda setempat sudah mengeluarkan lagi sejumlah izin kepada orang lain.
Mahfud tidak merinci izin apa yang dimaksud. Namun, dia menjelaskan bahwa saat pengembang akan masuk, di kawasan Rempang sudah ada kegiatan dan penghuninya.
"Ada penghuni lama dan seterusnya, dan seterusnya, sehingga ya diselesaikan," kata dia.
Kemudian, izin-izin baru yang diterbitkan setelah MoU antara pengembang dan BP Batam semuanya dibatalkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).
Merujuk kepada pembatalan perizinan oleh Kementerian LHK itulah kemudian ada perintah untuk pengosongan kawasan rempang.
Sebab, pada 2023 ini, akan masuk sejumlah kegiatan sebagaimana yang sudah ditekan dalam MoU pada 2004 lalu.
"Nah di situ lalu terjadi perintah pengosongan karena tahun ini akan masuk kegiatan-kegiatan yang sudah diteken tahun 2004 sesuai dengan kebijakan tahun 2001, 2002," ungkap Mahfud.
Kesepakatan kompensasi
Mahfud mengatakan, sebelum ada kesepakatan untuk relokasi, ada kesepakatan pemberian kompensasi kepada warga Pulau Rempang.
Salah satunya, kepada warga yang terimbas relokasi diberikan tanah seluas 500 meter persegi untuk setiap keluarga.
Selain itu, dalam perjanjian disebutkan, warga yang terkena relokasi akan dibangunkan rumah dengan tipe 45 dan diberi santunan sebesar Rp 120 juta untuk setiap kepala keluarga.
"Lalu diberi uang tunggu sebelum relokasi setiap kepala sebesar Rp1.034.000. Diberi uang sewa rumah sambil menunggu dapat rumah masing-masing Rp 1 juta semuanya sudah disepakati, rakyatnya sudah setuju dalam pertemuan tanggal 6 (September)," ujar Mahfud.
"Rakyatnya yang hadir sekitar 80 persen sudah setuju semua. Nah, itu yang kemudian belum terinformasikan. Nah itu kan tidak pernah anda beritakan bahwa mereka akan direlokasi ke daerah terdekat di dekat pantai, mendapat tanah 500 meter, jumlahnya 1.200 keluarga itu," papar dia.
Menurut Mahfud, yang masuk dalam MoU antara masyarakat dan pengelola yakni lahan seluas 17.500 hektare.
Lahan tersebut sebelumnya sudah disepakati untuk dipakai sebagai lokasi investasi.
Merujuk dari semua proses yang sudah terjadi, Mahfud menduga adanya provokator atas kondisi di Rempang.
Provokasi disampaikan kepada pihak yang masih tidak setuju atas pengosongan lahan.
"Bahwa ada yang keberatan, tidak setuju atau apa ada yang memprovokasi. Oleh sebab itu saya berharap pada aparat penegak hukum, aparat keamanan supaya berhati-hati menangani ini," ungkap Mahfud.
"Supaya diberitahu bahwa sudah ada kesepakatan antara pemerintah daerah, pengembang, masyarakat sudah ada tanggal 6 September, lalu demonya meledak tanggal 7 (September) sehingga ada 8 orang yang sekarang diamankan karena diduga memprovokasi dan diduga tidak punya kepentingan," papar dia.
Pendekatan keadilan
Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas memberikan tiga solusi untuk dilaksanakan pemerintah mengatasi bentrok yang terjadi di Pulau Rempang
Dasar solusi yang diungkapkan Anwar Abbas adalah konstitusi dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah ndonesia.
"Maka saya megharapkan dan mengusulkan agar pemerintah konsisten dan konsekuen dengan apa yang telah diamanatkan oleh konstitusi tersebut dan mengusulkan agar kepada masyarakat Pulau Rempang tersebut diberikan tiga hal," kata Anwar dalam keterangan tertulis, Senin (11/9/2023).
Hal pertama yang disebut Anwar yaitu masyarakat diberikan ganti kerugian yang pantas dan berkeadilan.
"Kedua, mereka diberi saham di perusahaan yang akan berinvestasi tersebut," ucap dia.
Ketiga, warga yang lahannya terdampak pembangunan Rempang Eco City dibuatkan tempat tinggal di pulau yang sama berupa rumah susun.
"Sehingga mereka tetap bisa tinggal di daerah yang sudah lama mereka diami, sukai dan cintai tersebut," ungkap dia.
Sementara itu, menurut Bakal calon presiden (capres) dari Koalisi Perubahan Anies Baswedan menilai, perlu ada langkah-langkah koreksi yang dilakukan oleh pemerintah untuk menghindari konflik dalam kegiatan investasi.
"Kalau kegiatan investasi justru memicu penderitaan, justru memicu kondisi yang tidak sehat di dalam kesejahteraan rakyat, maka ini perlu ada langkah-langkah koreksi," kata Anies saat dalam konferensi pers di kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Jakarta, pada Selasa.
Anies berpandangan, tujuan dari investasi seharusnya tidak hanya sekedar memperkaya investor. Akan tetapi, juga harus meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar.
Oleh sebab itu, menurut dia, investasi harus juga mengedepankan prinsip keadilan yang tidak hanya dirasakan oleh pengembang atau pemilik modal, tetapi juga masyarakat pada umum.
Mantan Gubernur DKI Jakarta ini pun menyinggung pengalamannya memimpin Ibu Kota yang meminimalisasi penggusuran hanya untuk pembangunan.
Sebab, akan ada dampak psikologis mendalam yang dirasakan masyarakat akibat kebijakan pemerintah yang tidak adil.
"Kami merasakan pengalaman di Jakarta ketika ada tindakan-tindakan kekerasan yang menyangkut penggeseran dan penggusuran itu luka sosialnya lama," kata Anies.
Anies Baswedan mendorong adanya pendekatan dialog yang melibatlkan masyarakat untuk agar tidak terjadi konflik yang berkepanjangan.
Ia menilai, bakal ada kesepakatan-kesepakatan atau titik tengah yang tidak merugikan para investor maupun masyarakat jika dilakukan dialog.
"Sampai pada kesimpulan yang diterima, baru kemudian eksekusi, dengan cara seperti itu, maka kita akan bisa merasakan pembangunan yang prosesnya dirasakan sebagai proses yang baik, yang benar," tutur Anies.
(*)
Artikel ini telah tayang di TribunBatam.id dengan judul VIRAL Panglima TNI Perintahkan Prajurit Atasi Warga Rempang, Ini Penjelasannya