Kedua, di dalam kegiatan kokurikuler, sekolah dapat membentuk kebiasaan yang berfungsi sebagai upaya preventif untuk menjaga kelestarian alam. Ini bisa mencakup kegiatan seperti membersihkan lingkungan sekolah, mendaur ulang sampah bekas, memanfaatkan lahan yang terbengkalai, dan melakukan kegiatan bercocok tanam. Peran agensi siswa diperhatikan dengan memberikan mereka suara, pilihan, dan tanggung jawab penuh atas program-program tersebut. Guru dapat membimbing peserta didik dalam merumuskan beberapa ide program, yang kemudian diintegrasikan dalam kegiatan kokurikuler yang menjadi milik bersama. Kegiatan yang dirancang oleh peserta didik akan memiliki makna yang lebih dalam jika mereka terlibat langsung dalam proses pembuatannya.
Ketiga, sekolah dapat menyelipkan edukasi mitigasi bencana dalam kegiatan ekstrakurikuler. Misalnya, dalam kegiatan ekstrakurikuler pramuka, peserta didik dapat terlibat dalam aktivitas yang menumbuhkan kesadaran akan kecintaan pada alam, sebagaimana tercermin dalam Dasa Dharma.
Selain itu, dalam kegiatan ekstrakurikuler seperti jurnalistik atau karya ilmiah remaja, siswa dapat mengumpulkan data di lapangan tentang lokasi bencana dan tindakan preventif yang telah dilakukan.
Pengembangan kurikulum haruslah adaptif terhadap lingkungan. Dalam kurikulum mitigasi bencana, sekolah harus memperhatikan kondisi geografis dan potensi bencana yang mungkin dihadapi siswa sebagai bagian dari masyarakat. Meskipun kita tidak dapat menghindari bencana sepenuhnya, sebagai generasi terdidik, kita memiliki kekuatan untuk mengurangi risikonya dengan langkah-langkah preventif. Alam membutuhkan lebih dari kata-kata Mutiara. Alam membutuhkan aksi nyata dari kita dalam mencintainya. (*)