"Maaf, Tuanku," kata Siput, "Saya selalu membawa rumah saya karena saya takut dengan Kunang-Kunang. Ia selalu membawa api ke mana-mana.
Jadi, daripada rumah saya kebakaran ketika saya tinggal, lebih baik saya bawa terus ke mana saya pergi. Begitulah, Tuanku. Saya tidak salah. Kunang-kunang itulah yang salah."
Maka, kunang-kunang pun dipanggil menghadap Raja. "Hei Kunang-Kunang," kata Raja Hutan.
"Kenapa kalian selalu membawa api ke mana-mana? Lihatlah, Siput jadi takut rumahnya kebakaran. Dan kini masalahnya jadi berbuntut panjang."
"Wahai Tuanku," jawab Kunang-Kunang. "Kami ke mana-mana membawa api karena kami takut pada Laba-Laba. Laba-laba itu suka sekali membuat jaring di sembarang tempat.
Mata kami rabun. Jadi, kami sengaja membawa api supaya terang jalan kami, Tuanku. Jadi, bukan karena salah kami masalah ini. Laba-laba itulah yang salah."
Laba-laba pun dipanggil menghadap Raja. "Hai Laba-Laba, kenapa kalian membuat jaring di mana-mana? Lihatlah, Kunang-Kunang selalu membawa api karena takut terkena jaring kalian."
"Maaf, Tuanku," kata Laba-Laba, "Kami dari dulu diajarkan oleh orang tua kami untuk mencari makan menggunakan jaring itu. Tubuh kami lembek.
Kami mengharapkan makanan dari binatang-binatang kecil yang terperangkap jaring kami. Kalau jaring itu tidak kami buat, kami tidak makan, Tuanku. Kami tidak bisa hidup tanpa jaring-jaring itu."
Mendengar penjelasan tersebut, Raja Hutan pun jadi maklum. Ia tidak bisa menyalahkan Laba-laba.
Maka, kasus itu pun ditutup. Keadilan yang dituntut oleh Induk Berang-Berang tidak berhasil ia dapatkan.
Raja Hutan meminta kerelaan hati Induk Berang-Berang untuk mengikhlaskan kematian anaknya.
Raja juga meminta binatang-binatang di hutan untuk tidak lagi saling menyalahkan, sehingga mereka bisa tetap hidup dengan damai setelahnya. (*)