Readers Note

Readers Note FX Triyas Hadi Prihantoro : Reuni Saat Nataru dan Empati

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

FX Triyas Hadi Prihantoro, Guru SMP Pangudi Luhur Domenico Savio Semarang

oleh FX Triyas Hadi Prihantoro
Guru SMP PL Domenico Savio Semarang

LIBURAN Nataru terbatas menyesuaikan kebijakan Pemerintah Daerah (Pemda) setempat. Namun demikian, masih ada komunitas, paguyuban tertentu tetap mengadakan kegiatan karena dianggap sebagai momentum tahunan.

Kegiatan Nataru setelah masa pandemi tetap sadar lingkungan dengan kesederhanaan, semangat peduli sesama. Ajang silaturahmi Nataru guna mengenang masa lalu dalam kesederhanaan, kekeluargaan, suasana harmonis dan penuh empati.

Seperti halnya diterima penulis, dalam salah satu pesan surat elektronik (email) di mailinglist grup maupun media sosial lain. Tertulis ajakan reuni saat liburan Nataru. Sebagai ajang nostalgia dalam upaya menjaring kembali pertemanan “ngumpulke balung pisah,” sehingga persaudaraan tidak pupus.

Semangat Berbagi

Nataru dan reuni bisa menjadi habitus di era digital saat ini bagi bangsa Indonesia dan dunia. Percepatan informasi dan pesan, langsung mendapatkan tanggapan dari ”kawan lama.”

Reuni menjadi tradisi yang layak dihargai, dihormati dan menjadi tradisi baik. Reuni dengan segala kegiatannya, saat ini menjadi bagian budaya bangsa yang selalu diimbangi dengan pulang kampung halaman.

Di sinilah saat para reuniawan pulang ke daerah asal, berusaha mengajak pertemuan dengan teman-teman sekoleganya dulu.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), reuni merupakan sebuah ajakan pertemuan kembali mantan teman sekolah, organisasi, profesi, bermain, hobby dan masih banyak kepentingan.

Momen pulang kampung saat Nataru sebagai sarana reuni. Pulang kampung bukan hanya melakukan ritual silaturahmi atau mengisi waktu liburan yang menjadi hak pekerja. Karena biasanya para pekerja akan menghabiskan jatah cutinya selama satu tahun yang belum digunakan. Maka dengan reuni bersama teman lama, menjadi tidak rugi waktu dan tenaga saat pulang kampung.

Yang wajib ditanyakan, apakah dengan reuni menjadi kesungguhan hendak bertemu, saling berbagi, mendukung, menguatkan atau malah sebaliknya? Toh dalam reuni sudah menjadi magfum bila hanya dihadiri mereka yang sudah merasa berhasil (sukses).

Maka, apa yang menjadi urgensi reuni itu sendiri tanpa membawa kesan bagi mereka yang membutuhkan (masih berjuang) dalam menstabilkan kehidupan. Sebuah kepedulian kepada saudara kita yang miskin dan terlantar, serta sodara kita yang sedang terkena bencana baik banjir, tanah longsor, gempa maupun erupsi gunung berapi.

Jangan Minder

Namun karena terjadinya perubahan dalam kehidupan kadangkala mereka yang tak jadi apa-apa (miskin) harus minder dan tidak mau hadir untuk bernostalgia.

Pandangan inilah yang harus dikikis bila ajang reuni benar-benar untuk bernostalgia dan berbagi kenangan. Pemaksaan dengan menarik dana demi suksesnya reuni bukan hal penting. Maka perlu menjadi kesepakatan meski sudah berubah.

Metamorfosa radikal kehidupan tanpa melupakan masa lalu yang mengedepankan kesahajaan, kepolosan, kesederhanaan. Reuni setelah ”berpencar” meninggalkan atribut kekinian dan kembali ”polos.”

Keangkuhan dengan berbagai asesoris dan parfum parfum bermerk harus ditinggalkan. Reuni sebagai rasa kepedulian (loyalitas) kepada sekolahnya dulu. Bersama-sama membangun sekolah dan wilayahnya dengan memberi masukan pemikiran, gagasan sampai materi demi kemajuan.

Loyalitas Alumni

Penyelenggaran reuni pada momen nataru merupakan waktu yang sangat tepat, efektif dan efisien. Bentuk loyalitas alumni tampak saat kegiatan diadakan di sekolah sebagai bentuk aktual.

Dibarengi penggalangan dana, mengundang mantan guru, pembentukan koperasi, dana sosial (untuk beasiswa) kepada adik kelas sebagai prasasti. Bagi yang sukses secara studi (intelektual) diharap mau memberikan “penularan” ilmu (manajemen, inovasi, kreatifitas) pendidikan pada warga sekolah.

Reuni layak diselaraskan dengan program pemerataan pendapatan. Bagi yang "sukses" di kota dan berdana besar membuat lapangan pekerjaan baru di kampung.

Sehingga tidak perlu lagi orang kampung berurbanisasi ke kota. Ditumbuhkan UMKM yang menunjang usaha mereka di kota. Misal pengusaha garmen, membuka UMKM asesories pakaian, pelengkap rumah, pertanian, pangan, kebutuhan rumah tangga, sejalan profesi.

Kebiasaan bereuni tanpa dengan aksi sosial harus banyak membawa manfaat. Masih banyak sodara kita yang membutuhkan uluran tangan baik kita yang telah sukses.

Janganlah melupakan sejarah ” jas merah,” saat masih dalam kebersamaan untuk meraih cita cita dan prestasi. Kabar sehat dan bahagia menjadi dambaan bersama saat reuni. Maka selamat bernostalgia dengan semangat kepedulian demi kemashalatan bersama. (*)

Berita Terkini