UIN SAIZU Purwokerto

Isra Mikraj dan Dimensi Kesalehan Sosial

Editor: raka f pujangga
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Enjen Zaenal Muttaqin, Dosen FEBI UIN Saizu Purwokerto

Penulis : Enjen Zaenal Muttaqin, Dosen FEBI UIN Saizu Purwokerto

TRIBUNJATENG.COM - Isra Mikraj adalah peristiwa monumental dalam sejarah Islam yang menyimpan makna mendalam, baik dari segi spiritualitas maupun kehidupan sosial.

Perjalanan luar biasa Nabi Muhammad dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa (Isra) dan kemudian menuju Sidratul Muntaha (Mikraj) bukan hanya kisah tentang perjalanan fisik. 

Di baliknya terdapat pesan yang relevan untuk manusia, menyatukan dimensi spiritual dan tanggung jawab sosial.

Melalui refleksi yang mendalam, kita dapat melihat bagaimana peristiwa ini menjadi pedoman bagi umat Islam untuk menyeimbangkan hubungan dengan Allah dan kontribusi terhadap sesama.

Dimensi Spiritual Isra Mikraj

Isra Mikraj menyampaikan pesan spiritual yang sangat kuat. Isra menggambarkan perjalanan horizontal Nabi dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, yang merepresentasikan hubungan manusia dengan lingkungan sosialnya.

Sementara itu, Mi’raj menggambarkan perjalanan vertikal menuju Allah, yang menjadi simbol hubungan manusia dengan Sang Pencipta.

Kedua perjalanan ini saling melengkapi, menunjukkan bahwa kesalehan spiritual sejati hanya dapat diraih melalui harmoni antara ibadah ritual dan keterlibatan sosial.

Kisah Nabi dalam Isra Mi’raj menunjukkan bahwa spiritualitas tidak semata tentang hubungan individu dengan Allah, tetapi juga tentang tanggung jawab terhadap masyarakat. Hal ini tercermin dari pilihan Nabi untuk kembali ke bumi setelah pertemuannya dengan Allah di Sidratul Muntaha.

Keputusannya untuk kembali bukan hanya soal tugas, tetapi juga pesan bahwa kehidupan spiritual harus terhubung dengan aksi nyata dalam masyarakat.

Pesan Sosial dalam Isra Mikraj

Salah satu bagian penting dalam perjalanan Mi’raj adalah pengalaman Nabi melihat berbagai bentuk penyimpangan sosial yang digambarkan dalam bentuk siksaan metaforik.

Nabi menyaksikan, misalnya, orang-orang yang mendapat hukuman karena menelantarkan anak yatim, memakan harta haram, atau menyebarkan fitnah. 

Gambaran ini tidak hanya mengingatkan umat Islam akan konsekuensi di akhirat, tetapi juga menjadi kritik tajam terhadap perilaku yang merusak harmoni sosial.
Pesan moral ini relevan di berbagai konteks, termasuk dalam masyarakat modern. 

Halaman
123

Berita Terkini