UIN SAIZU Purwokerto

Mengapa Manusia Suka Berperang? Belajar dari Strategi Damai Nabi Muhammad SAW

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Muhammad Ash-Shiddiqy

Oleh Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy,M.E
Akademisi UIN Saizu Purwokerto

Dunia tampaknya sedang menuju tepi jurang lagi. India dan Pakistan, dua negara nuklir yang sudah lama berseteru, kini semakin panas.

Rusia dan Ukraina masih berkecamuk dalam konflik yang merenggut ribuan nyawa. Israel dan Palestina terus berdarah-darah. Yaman, Suriah, dan banyak kawasan lain masih diselimuti abu konflik. Bahkan di wilayah yang tampak tenang, ketegangan geopolitik perlahan membusuk dari dalam, siap meledak kapan saja.

Apakah kita ini memang “didesain” untuk perang? Sejarah manusia seperti ditulis dengan tinta darah. Sejak ribuan tahun lalu—sejak kota-kota pertama di Mesopotamia, perang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari peradaban.

Sumer dan Akkad, Sparta dan Athena, Romawi dan Karthago, hingga Perang Dunia I dan II, semuanya menunjukkan satu pola: manusia selalu punya alasan untuk berperang, entah karena tanah, emas, Tuhan, atau harga diri.

Pertanyaannya sederhana, namun jawabannya rumit: mana yang lebih panjang dalam sejarah manusia—masa perang atau masa damai?

Sejarawan seperti Yuval Noah Harari menyebut perang sebagai “ciri utama sejarah manusia.” Sementara itu, Steven Pinker dalam The Better Angels of Our Nature justru menunjukkan bahwa sejak 1945, jumlah konflik besar sebenarnya menurun. Periode damai relatif panjang, terutama karena kerja sama internasional dan institusi seperti PBB. Tapi jika dilihat dari intensitas dan dampaknya, perang masih lebih “berkesan”. Damai itu senyap, sedangkan perang itu gaduh.

Kita mungkin sudah lebih modern, lebih berpendidikan, dan lebih terkoneksi. Tapi tetap saja, perang masih dianggap sebagai “solusi politik” terakhir. Umat manusia, tampaknya, masih terus belajar menjadi manusia.

DNA Kekerasan atau Warisan Kehausan?

Ada yang percaya bahwa kekerasan adalah bagian dari DNA manusia. Tapi jika itu benar, bagaimana menjelaskan sosok seperti Nabi Muhammad SAW? Di tengah masyarakat Arab yang sangat memuliakan perang dan balas dendam, beliau justru datang dengan pendekatan yang sangat strategis dan penuh etika dalam menghadapi konflik.

Perang dalam Islam bukanlah ekspresi kebencian atau pelampiasan amarah. Ia adalah opsi terakhir setelah segala jalan damai tertutup. Bahkan ketika sudah terjadi, Rasulullah SAW memberi batas yang sangat jelas: tidak membunuh wanita, anak-anak, orang tua, atau pemuka agama; tidak merusak pohon, ladang, atau tempat ibadah; dan tidak menyiksa tawanan. Ini bukan romantisasi, tapi fakta sejarah yang dibenarkan oleh banyak sejarawan, baik Muslim maupun non-Muslim.

Bandingkan dengan perang modern, di mana teknologi memungkinkan pembunuhan massal dari jarak jauh. Drone menjatuhkan bom tanpa pernah tahu wajah musuh. Rumah sakit dan sekolah jadi target. Perang menjadi bisnis, dan damai hanyalah jeda untuk bersiap perang berikutnya.

Dari Madinah Kita Belajar Strategi Damai

Rasulullah SAW tidak langsung mengangkat pedang saat ditindas di Makkah. Selama lebih dari 13 tahun, beliau memilih jalur dakwah yang penuh kesabaran. Setelah hijrah ke Madinah, beliau membentuk komunitas yang berbasis pada Piagam Madinah—sebuah perjanjian sosial yang menjamin hak-hak semua kelompok, termasuk Yahudi dan non-Muslim.

Perang pertama umat Islam, Perang Badar, bukan ekspansi. Itu respons terhadap ancaman nyata. Bahkan ketika menang, Rasulullah SAW tidak membantai musuh, melainkan memperlakukan tawanan dengan sangat manusiawi. Dalam Fathu Makkah—momen ketika beliau bisa membalas semua luka masa lalu—yang beliau tunjukkan justru pemaafan besar: “Pergilah, kalian bebas.”

Halaman
12

Berita Terkini