Inilah perang yang membawa damai. Inilah perang yang lahir dari cinta, bukan dendam. Rasulullah SAW mengajarkan bahwa kekuatan sejati bukan pada pedang, tapi pada kemampuan menahan diri.
Damai yang Sulit Tapi Mungkin
Kita tidak bisa menutup mata dari kenyataan bahwa ancaman perang di masa depan semakin besar. Ledakan penduduk, krisis iklim, perebutan energi dan air, serta krisis ideologi menjadikan dunia ini seperti barel mesiu yang menunggu percikan api. Tapi menyerah pada pesimisme juga bukan solusi.
Pelajaran dari Rasulullah SAW adalah bahwa damai bisa dibangun, meski dalam kondisi paling terpuruk. Yang dibutuhkan bukan sekadar diplomasi, tapi juga etika. Perang ala Rasulullah bukanlah tentang membunuh lawan, tapi tentang menundukkan ego, menciptakan keadilan, dan menghindari kerusakan.
Jika kita serius ingin menghindari perang global, maka kita perlu membumikan kembali nilai-nilai profetik ini ke dalam politik, ekonomi, dan hubungan antarbangsa. Kita perlu menyadari bahwa setiap bom yang dijatuhkan bukan hanya menghancurkan gedung, tapi juga harapan anak-anak untuk hidup dalam damai.
Akhirnya, Ini Soal Pilihan
Perang memang bagian dari sejarah, tapi bukan takdir. Damai memang sulit, tapi bukan mustahil. Kita bisa memilih menjadi bagian dari tradisi kekerasan, atau meneladani strategi Nabi Muhammad SAW dalam membangun peradaban: mengutamakan akhlak, melindungi yang lemah, dan menyatukan yang berbeda.
Seperti kata Albert Einstein, “Damai tidak dapat dipertahankan dengan kekuatan; itu hanya dapat dicapai melalui pengertian.” Dan tidak ada pengertian yang lebih dalam daripada menyadari bahwa musuh kita yang sesungguhnya bukanlah bangsa lain, agama lain, atau suku lain—melainkan kebencian dalam diri sendiri. *