Wansus Tribun Jateng
Bedah Kemampuan AI Tiru Perasaan Manusia
Bahkan mantan Rektor Unika Soegijapranata ini sudah buktikan memulai kolaborasi teknologi AI dan Psikologi.
Penulis: M Iqbal Shukri | Editor: muh radlis
TRIBUNJATENG.COM, BLORA - Prof DR Ridwan Sanjaya pakar sistem informasi dan AI menjelaskan awal mula kecerdasan buatan.
Perkembangan dan manfaat bagi manusia. Optimistis kemampuan AI bisa sentuh perasaan manusia.
Bahkan mantan Rektor Unika Soegijapranata ini sudah buktikan memulai kolaborasi teknologi AI dan Psikologi.
Baca juga: Sosok Israwati dan Sri Reski Ulandari Dua Anggota DPRD Jadi Tersangka Penipuan, dari Gerindra & PKB
Berikut wawancara eksklusif dengan pakar sistem informasi dan AI, Prof DR Ridwan Sanjaya.
Teknologi Artificial Intelligence (AI) itu seperti apa ?
Kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence itu sebetulnya sudah ada sejak tahun 1950. Dan kita sebagai orang-orang komputer selalu menggunakan untuk membuat program itu mejadi lebih baik, membuat sistem itu bisa semakin otomatis.
Tetapi memang dalam beberapa tahun terakhir ini muncul yang namanya Generative AI atau kecerdasan buatan generative yang bisa menghasilkan bentuk yang lain.
Baik itu tulisan, suara, musik bahkan sampai dengan video.
Mengapa kecerdasan buatan ini sudah bisa digunakan sampai bisa menyerupai aslinya?
Tentu perkembangan AI sudah sedemikian bagus. Video juga makin lama makin tinggi kualitasnya.
Ketika bisa diperintahkan untuk membuat sebuah cerita pada awal-awalnya mungkin wajahnya belum terlalu sempurna, masih belum halus, kemudian jadi lebih halus, tapi tidak mirip dengan aslinya, tapi lama kelamaan bisa mirip dengan aslinya.
Jadi tidak heran, banyak masyarakat yang tidak tahu, itu seringkali terkecoh.
Dipikir memang orang yang bersangkutan itu yang berbicara atau yang menyampaikan informasi tersebut.
Tapi pada kenyataannya bukan. Bahkan seringkali bahkan itu dibikin dari cerita yang tidak ada.
Seringkali wajah pejabat publik diedit pakai AI, bagaimana cara orang awam membedakan itu asli atau bukan?
Beberapa waktu yang lalu ketika Bu Sri Mulyani (mantan Menteri Keuangan) menyampaikan kalau guru jadi beban negara itu banyak orang yang percaya bahwa itu video asli.
Padahal itu video buatan, video yang dibuat oleh AI. Itu yang banyak orang tidak tahu.
Cara membuktikan kalau yang kasusnya Ibu Sri Mulyani, ya tinggal lihat berita-berita yang sebelumnya.
Karena sekarang ini hampir semua berita selalu diliput dengan video. Nah, kalau diliput dengan video maka perlu ada komparasi.
Waktu itu ada tidak rekamannya. Selain melihat video itu, bisa dilihat dari detailnya seperti apa.
Karena masih selalu ada cacat yang ada di dalam video (buatan AI) tersebut.
Apakah produk yang dihasilkan dari bantuan AI bisa menyentuh sebagaimana perasaan manusia?
Tentu saja memang namanya mesin, robot, algoritma itu tidak punya yang namanya perasaan.
Tetapi seringkali kita lupa, kita hanya melihat yang terlihat, yang ada di permukaan.
Jadi misalkan kita dapat pesan 'sudah makan apa belum' kemudian kita merasa bahwa orang ini perhatian.
Bagaimana kalau itu mesin, robot yang mengirim, kan kita melihatnya di permukaan saja.
Artinya ekspresi yang tampak itu yang dianggap sebagai perasaan manusia.
Nah, jangan-jangan nanti ke depan itu robot makin pintar dengan hal tersebut.
Jadi kita tidak lagi bisa membedakan antara asli, tulus dari dalam hati, atau dari mesin gitu.
Apakah suatu saat teknologi AI juga bisa mempelajari perasaan manusia ?
Tentu saja bisa karena namanya kan kecerdasan buatan, artinya buatan manusia.
Jadi, manusia itu selalu ingin bisa sama seperti dirinya. Kalau perlu ya dia bikin manusia juga, tapi sayangnya kan tidak bisa.
Nah, makanya dia bisanya bikin mesin-mesin yang mirip manusia termasuk juga bicara tentang hati, bicara tentang perasaan, kalau bisa dengan ciri-ciri tertentu kemudian manusia bisa merespon dengan yang manusia lakukan selama ini.
Apakah saat ini mata pelajaran AI sudah diajarkan di kampus?
Sekarang itu kecerdasan buatan bukan hanya pada disiplin ilmu komputer saja. Jadi saya mengajar di Magister Manajemen, saya juga mengajar di lingkungan perkotaan, juga mengajar di arsitektur.
Semua yang di program studi tersebut sudah mengenal AI, sudah menggunakan AI untuk kepentingan masing-masing.
Jadi kalau yang namanya kecerdasan buatan untuk lingkungan perkotaan itu bagaimana mengotomatisasi masukan-masukan dari masyarakat itu untuk bisa dibagikan ke unit-unit terkait, misalnya seperti itu.
Kalau di Magister Manajemen bagaimana memastikan data-data yang masuk itu bisa diolah untuk strategi pemasaran.
Kalau yang di arsitektur itu juga bagaimana kecerdasan buatan itu bisa menciptakan lingkungan rumah yang adaptif.
Tidak harus secara manual dikendalikan.
Nah, artinya kecerdasan buatan itu sudah bukan domain ilmunya orang-orang komputer saja.
Tetapi hampir semua bidang sekarang bahasanya AI, bahasanya IoT dan lain sebagainya.
Sudah adakah Undang-undang atau peraturan pemerintah yang mengatur tentang etika penggunaan AI ?
Beberapa tahun yang lalu kebetulan saya sudah bertemu dengan beberapa teman yang di Kominfo (sekarang Komdigi).
Itu mereka sudah mengeluarkan panduan etika penggunaan kecerdasan buatan.
Memang bacaan seperti itu tidak diminati ya.
Orang-orang malas kalau mau baca yang seperti itu.
Begitu ada kejadian baru cari. Itu sebetulnya sudah ada. Bahkan undang-undangnya juga sudah ada.
Undang-undangnya itu juga sudah diterbitkan sejak lama bagi mereka-mereka yang di bidang kepolisian dan hukum sudah tahu, itu sudah ada bagaimana menjeratnya dan lain sebagainya.
Jadi kayaknya untuk bagian-bagian itu tidak ketinggalan.
Memang kurang detail karena kita belum tahu kondisi realitas seperti apa yang ada di masyarakat, tetapi itu sudah bisa untuk panduan awal.
Apakah menyalahgunakan wajah orang lain kemudian diedit memakai AI bisa dipidana?
Jadi di undang-undang informasi dan transaksi elektronik itu sebetulnya sudah ada beberapa pasal yang membahas tentang itu ya.
Bagaimana kemudian mengubah, tanpa izin menggunakan wajah orang itu secara implisit sudah ada di sana, termasuk bagaimana hukumannya.
Apakah bidang psikologi dengan AI bisa dikolaborasikan?
Memang seringkali psikologi dan komputer itu dianggap bertentangan ya.
Jadi kalau psikologi lebih menyentuh manusia sementara komputer itu dianggap lebih menyentuh ke mesin. Tetapi sebetulnya dua hal itu bisa berkolaborasi.
Sebagai contoh saya pernah penelitian bersama orang yang konsen di bidang psikologi, saat itu meneliti tentang kepribadian ambang, orang-orang galau.
Orang-orang galau itu kalau sampai kemudian dibiarkan itu ada kecenderungan melukai diri sendiri. Kecenderungannya bahkan lebih jauh dari itu.
Bagaimana jika di sisi mereka tidak ada psikolog. Makanya kemudian ada yang namanya teknologi AI.
Penggunaan chatbot untuk berkomunikasi dengan mereka-mereka yang punya kepribadian ambang, dan hasilnya cukup positif. Mereka-mereka yang punya kepribadian ambang merasa ditemani.
Sampai nantinya ketika ada orang-orang yang punya kompetensi di bidang itu atau orang-orang dekatnya bisa mengajak berkomunikasi, maka kemudian dialihkan.
Nah, itu salah satu bentuk kolaborasi antara psikologi dan teknologi.
Bagaimana caranya anak-anak remaja, anak muda, dan masyarakat umum bisa menggunakan AI secara benar?
Sejak awal ada istilah namanya literasi digital, jadi literasi digital itu membuat kita memahami apa yang namanya digital. Kadang-kadang karena salah informasi, orang-orang itu menjadi takut.
Takut dengan hal-hal yang berbau dengan teknologi. Biasanya kalau sudah takut menjauhi. Kalau sudah menjauhi memusuhi.
Padahal orang yang lain bahkan menunggangi teknologi. Jadi seringkali manusia itu bukan kalah oleh mesin, tapi kalah oleh mesin yang ditunggangi oleh manusia.
Artinya manusia menggunakan mesin untuk kemudian berkompetisi dengan manusia yang tadi takut dengan teknologi. Jadi yang penting kata kuncinya adalah literasi.
Literasi digital itu bukan hanya bicara tentang bagaimana menggunakan teknologi, bukan juga bicara tentang bagaimana budayanya, bagaimana etikanya, bagaimana keamanannya.
Jadi kalau mereka memahami dimensi digital secara menyeluruh dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi, saya kok yakin mereka bisa lebih paham tentang yang terjadi di dunia digital.(Iqs)

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.