Banjir Semarang
Walhi: Pemerintah Maladaptasi Tangani Banjir Jawa Tengah
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Tengah menilai pemerintah maladaptasi dalam penanganan banjir.
Penulis: iwan Arifianto | Editor: rival al manaf
Ringkasan Berita:
- Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Tengah menilai pemerintah maladaptasi dalam penanganan banjir di beberapa daerah di Jawa Tengah.
- Banjir tidak disebabkan oleh anomali cuaca seperti curah hujan tinggi tetapi adanya anomali kebijakan pemerintah sehingga mereka melakukan maladaptasi
- Semarang, Demak, Pati, Grobogan dan daerah lainnya disebabkan terjadinya perubahan landskap ruang yang signifikan di daerah hulu.
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Tengah menilai pemerintah maladaptasi dalam penanganan banjir di beberapa daerah di Jawa Tengah.
Kegagalan adaptasi tersebut karena selama ini pemerintah hanya fokus menangani banjir dengan kebijakan teknikal seperti pompa air, pembangunan tanggul serta bendungan.
Pemerintah juga gagal memahami penyebab banjir yang semata-mata terjadi karena curah hujan tinggi.
"Banjir tidak disebabkan oleh anomali cuaca seperti curah hujan tinggi tetapi adanya anomali kebijakan pemerintah sehingga mereka melakukan maladaptasi," ungkap Staf Advokasi dan Pengorganisiran Rakyat WALHI Jawa Tengah, Dera kepada tribunjateng.com dalam konferensi pers melalui zoom, Kamis (30/10/2025).
Baca juga: Kejar Target Rp 7,1 Miliar: Dindagkop UKM Blora Hadapi Tantangan Kesadaran Pedagang Bayar Retribusi
Baca juga: Harmoni Budaya Wonosobo, Kolaborasikan Pertunjukan Wayang, Bundengan, dan Tari Khas di TMII Jakarta
Maladaptasi yang dilakukan berupa pemerintah selalu menawarkan solusi menghadapai banjir melalui kebijakan teknikal seperti memperbanyak pompa air, membangun tanggul dan mengeruk sedimentasi kali.
Padahal banjir yang sudah terjadi sejak 21 Oktober 2025 lalu di beberapa daerah di Jawa Tengah seperti Kota Semarang, Demak, Pati, Grobogan dan daerah lainnya disebabkan terjadinya perubahan landskap ruang yang signifikan di daerah hulu.
Selain perubahan lanskap tata ruang, banjir semakin parah karena daerah hilir mengalami degradasi lingkungan akibat aktivitas industrialisasi yang berlebih dan proyek-proyek raksasa seperti Tol Tanggul Laut Semarang-Demak (TTLSD).
Proyek tersebut menyebabkan siklus hidrologi air terputus dengan rusaknya anak sungai.
Kolam retensi sebagai bagian dari siklus air juga belum terbangun. Akibat dari ini, air tidak mampu keluar dan tergenang di perkotaan.
"Masalah lainnya penurunan muka tanah, pengambilan air tanah yang berlebih," sambung Dera.
Kajian Walhi Jateng, banjir di beberapa daerah di Jawa Tengah yang berlangsung hampir 10 hari menyebabkan kerusakan di berbagai sektor.
Seperti banjir di Grobogan akibat tanggul jebol berdampak ke 21 desa sehingga ada 2.095 rumah direndam banjir.
Tak hanya kawasan permukiman, 145 hektar sawah juga ikut terendam. Kemudian di kota Semarang, banjir melumpuhkan jalur Kaligawe sehingga terjadi kemacetan akses jalan Pantura Semarang-Demak sepanjang sekitar 25 kilometer.
Distribusi barang terhambat dan para sopir harus tidur di jalan serta ada beberapa kendaraan mogok. Selain itu, banjir Semarang berdampak ke 12.957 kepala Keluarga dengan 38.180 jiwa terdampak.
Banjir di Kabupaten Pati pada tanggal 23 Oktober 2025 akibat jebolnya tanggul sungai Widodaren menyebabkan sebanyak 700 rumah warga terendam banjir.
Jalur pantura Pati-Rembang juga terendam banjir setinggi 30 sentimeter yang menyebabkan jalanan macet dan kendaraan mogok.
Dera menyebut, banjir di beberapa daerah tersebut merupakan bencana berulang sehingga pemerintah Jawa Tengah dan pemerintah daerah harus serius menanganinya.
Ia merekomendasikan, pemerintah harus meninjau ulang kebijakan perencanaan tata ruang daerah yang berkaitan dengan corak ekonomi yang ekstraktif di kawasan hulu.
Kedua, fokus penanggulangan bencana adalah dari akar dengan membatasi dan menutup berbagai macam proyek dan izin usaha yang merusak kawasan hulu.
Ketiga, menjalankan dan memulihkan fungsi kawasan hulu dan daerah aliran sungai sebagai daerah resapan dan lindung.
Keempat membentuk kebijakan tentang kebencanaan yang berfokus kepada region, dengan melihat kesalingan hubungan satu daerah dengan daerah lain.
Artinya, kebijakan selama ini tidak saling koneksi padahal penyebab terjadinya banjir ada hubungannya semisal banjir di Kota Semarang tak lepas dari kondisi di Kabupaten Semarang.
"Terakhir, hentikan kebijakan teknikal sebagai bagian dari mitigasi kebencanaan," ungkapnya.
Masih Sebatas Teknikal
Sementara itu, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah kini fokus melakukan penanganan banjir di Kaligawe Semarang yang sudah terendam selama sembilan hari. Kondisi banjir tersebut menyebabkan ribuan warga terdampak dan truk angkutan barang kesulitan melintas.
Gubenur Jawa Tengah Ahmad Luthfi mengatakan, penanganan banjir di Kaligawe harus segera surut.
Langkah dilakukan adalah dengan memasang pompa. "Jadi pakai pompa sebanyak-banyaknya sehingga (air) lancar kembali dan masyarakat tidak terendam," kata Luthfi saat mengunjungi kolam retensi Terboyo dalam keterangan tertulis, Kamis (30/10/2025).
Pompa yang dipasang Pemerintah dalam mengatasi banjir Kaligawe ada sebanyak empat titik utama di Sringin, Terboyo, Tenggang dan Pasar Waru.
Dirjen Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum, Dwi Purwantoro menjelaskan, penanganan banjir di Semarang dilakukan dengan menambah pompa dan pelebaran saluran air. "Kalau pompa nanti sedot air dari Kaligawe ke kolam retensi Terboyo lalu dibuang ke (kali) Babon," bebernya. (Iwn)
| Jalur Alastua-Tawang Sudah Bisa Dilewati Kereta Api Dengan Kecepatan Terbatas |
|
|---|
| Banjir Pantura Semarang–Demak Masih Tinggi, Pengendara Beralih ke Jalur Majapahit Meski Macet |
|
|---|
| Seminggu Terendam, Total Penanganan Banjir di Semarang Capai Rp 1 Miliar |
|
|---|
| 3 Orang Meninggal Akibat Banjir di Kota Semarang |
|
|---|
| Banjir Rendam Pemukiman di Genuksari Kota Semarang, Ketua RW: Belum Ada Perintah Evakuasi |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.