Opini
Kartu Zilenial dan Tantangan Implementasi Program Kepemudaan
Pemerintah berupaya mendorong kreativitas dan membuka ruang seluas-luasnya bagi pengembangan diri, serta menguatkan daya saing generasi muda
Penulis: Adi Tri | Editor: galih permadi
Oleh M. Teguh Satriyo, S.Pd., M.Si.
(Ketua MGMP Bahasa Indonesia SMA/MA Kota Semarang)
ARUS perubahan zaman terasa makin deras, lahirnya Kartu Zilenial menjadi angin segar bagi generasi muda Jawa Tengah. Program yang diperuntukkan bagi pemuda (generasi muda berusia 16 hingga 30 tahun) ini bukan sekadar kartu identitas baru, melainkan simbol komitmen pemerintah daerah. Pemerintah berupaya mendorong kreativitas dan membuka ruang seluas-luasnya bagi pengembangan diri, serta menguatkan daya saing generasi muda di bidang kewirausahaan, keterampilan digital, dan penguatan komunitas.
Generasi muda memiliki potensi besar. Mereka cenderung penuh ide dan berani bereksperimen, memiliki semangat belajar tinggi, serta kepedulian sosial yang luar biasa. Namun, potensi tersebut sering kali terbentur pada keterbatasan akses dan ruang aktualisasi yang memadai. Karena itu, Kartu Zilenial dapat menjadi jembatan antara semangat dan kesempatan bagi kaum muda di Jawa Tengah, asalkan dikelola dengan visi yang jelas dan sistem berkelanjutan.
Namun, sebagaimana program lain yang menyasar kalangan muda, tantangan utama bukan pada gagasannya, melainkan pada implementasi yang tepat sasaran. Program serupa ini berisiko menjadi program seremonial jika tidak disertai sistem pendampingan yang jelas dan komitmen proses realisasinya.
Sosiolog Emile Durkheim pernah mengatakan bahwa masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang mampu “mentransformasikan energi muda menjadi kekuatan sosial yang produktif.” Artinya, energi besar pemuda harus diarahkan melalui mekanisme sosial dan pendidikan yang terencana, agar tidak menjadi lekadakan sesaat tanpa arah. Tanpa sistem pendampingan dan keberlanjutan, program seperti Kartu Zilenial hanya akan melahirkan euforia, bukan transformasi.
Masalah yang sering muncul adalah ketidakpaduan antarinstansi dan minimnya mekanisme tindak lanjut. Pemuda masa kini tidak cukup diberi pelatihan teknis; mereka cenderung butuh mentoring berkelanjutan. Banyak pelatihan kewirausahaan atau digital marketing berhenti pada tahap pelatihan, tanpa tindak lanjut berupa pendampingan usaha. Kartu Zilenial seharusnya menjadi pintu masuk menuju ekosistem pembinaan berkelanjutan, bukan hanya simbol keikutsertaan program saja.
Dalam konteks pendidikan, Ki Hajar Dewantara telah lama menegaskan pentingnya menuntun kodrat anak agar mereka dapat tumbuh sesuai zamannya. Prinsip ini relevan dengan semangat Kartu Zilenial; mendampingi, bukan menggiring. Artinya program ini tidak boleh bersifat top-down, tetapi membuka ruang bagi pemuda untuk berpartisipasi secara aktif, mengemukaan gagasan, bahkan mengkritisi kebijakan yang menyangkut mereka. Sekolah-sekolah juga mestinya dilibatkan sejak awal sebagai mitra pengarah dan penghubung agar siswa memahami makna program bukan sekadar administratif, tetapi sebagai ruang pembentukan karakter dan kemandirian.
Selain sekolah, komunitas-komunitas muda di berbagai daerah juga perlu dilibatkan. Banyak komunitas kreatif di Semarang, Solo, Banyumas, dan daerah lain yang memiliki pengalaman lapangan secara nyata. Kolaborasi semacam ini akan membuat program lebih kontekstual dan membumi, karena mereka memahami bahasa, kebutuhan, dan dinamika anak muda di lapangan.
Dunia industri juga perlu dilibatkan secara aktif. Banyak perusahaan memiliki program tanggung jawab sosial yang dapat diarahkan untuk mendukung pelatihan kewirausahaan, magang, atau inkubasi bisnis. Jika Kartu Zilenial mampu menjadi wadah yang mempertemukan pemuda dengan dunia industri, maka ia dapat memosisikan diri sebagai fasilitator yang menjembatani kolaborasi tiga pihak; pemerintah, industri, dan komunitas.
Selain itu, perguruan tinggi juga dapat menjadi laboratorium inovasi kebijakan. Mahasiswa dan dosen yang meneliti bidang sosial, ekonomi, atau teknologi dapat dilibatkan sebagai mentor pagi peserta program. Pola peer learning semacam ini tidak hanya memperkuat semangat gotong royong antargenerasi muda, tetapi juga mengikis jarak antara dunia akademik dengan dunia praktik. Kolaborasi lintas sektor semacam ini akan memperkuat ekosistem Kartu Zilenial agar benar-benar berfungsi sebagai wadah pertumbuhan sumber daya manusia muda Jawa Tengah yang tangguh.
Lagi-lagi, kolaborasi semacam itu memerlukan keberanian birokrasi untuk berbagi kuasa; memberi ruang bagi partisipasi warga muda dalam pengambilan keputusan. Selama ini, banyak program kepemudaan berjalan dengan pola paternalistik: pemerintah memutuskan, pemuda melaksanakan. Padahal, semangat zaman digital menuntut desentralisasi gagasan, di mana suara pemuda menjadi bagian dari desain kebijakan, bukan sekadar penerima manfaat saja. Atau bukan pula kaum muda sebagai penerima perintah saja, lalu hanya seperti robot yang melaksanakan apa yang telah diperintahkan kepadanya.
Anthony Giddens, seorang sosiolog kontemporer menyebut bahwa masyarakat modern hanya bisa maju jika memiliki reflexive agency, yakni kemampuan individu untuk menilai, memperbaiki, dan mencipta kembali sistem sosial yang menaunginya. Kartu Zilenial bisa menjadi instrumen lahirnya refleksivitas sosial itu, jika pemuda diberi ruang untuk berpikir kritis dan berpartisipasi dalam perencanaan program. Dengan begitu, tidak ada yang tidak mungkin. Tentu semua perlu dicoba, dievaluasi, dan dilakukan dengan komitmen tinggi.
Dalam realitas sosial, pemberdayaan tidak bisa dipahami sebatas bantuan dana atau pelatihan. Pemberdayaan sejati adalah ketika seseorang merasa memiliki kendali atas masa depannya. Karena itu, keberhasilan Kartu Zilenial tidak dapat diukur dari banyaknya kartu yang dicetak atau peserta yang terdaftar, tetapi dari rasa memiliki yang tumbuh di kalangan muda: rasa bahwa mereka didengar, dipercaya, dan dilibatkan. Ketika para pemuda ini berada di titik bahwa pendapat mereka didengar, gagasan mereka dipertimbangkan bahkan dipercaya, serta keberadaan mereka sungguh dibutuhkan dengan dilibatkan secara aktif, maka kepercayaan diri para pemuda akan semakin kuat dan harapannya berdampak positif.
Seperti kalimat yang pernah dilontarkan Bung Karno, “Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncang dunia.” Kutipan ini bukan sekadar retorika sejarah yang diulang-ulang dalam berbagai forum, melainkan pengingat bahwa perubahan sosial, ekonomi, dan kultural selalu lahir dari tangan-tangan generasi muda yang diberdayakan dan diberi ruang untuk berinisiatif. Dalam konteks Kartu Zilenial, semangat itu seharusnya bukan berhenti pada pencetakan kartu, pembagian akses, atau slogan pemberdayaan, melainkan menjelma menjadi sistem yang menghidupkan daya cipta pemuda di setiap lini kehidupan.
| Mengawal Peta Jalan Vokasi 2045 |
|
|---|
| Memperkuat Program Speling sebagai Model Baru Layanan Spesialistik Berbasis Inklusi |
|
|---|
| Membangun SDM dan Literasi Digital: Arah Baru Jawa Tengah |
|
|---|
| Aksesibilitas dan Kolaborasi: Dua Pilar Strategis Pendidikan Jawa Tengah |
|
|---|
| Bandara Internasional Jenderal Ahmad Yani: Gerbang Baru Pertumbuhan Ekonomi Jawa Tengah |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jateng/foto/bank/originals/20251117_M-Teguh-Satriyo-SPd-MSi.jpg)