Semarang
Anton Ajari Anaknya Cintai Produk UMKM Jateng di Gedung Oudetrap Kota Lama Semarang
Suara gamelan berpadu dengan riuh langkah pengunjung di Gedung Oudetrap, Kota Lama Semarang.
Penulis: Rezanda Akbar D | Editor: rival al manaf
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG – Suara gamelan berpadu dengan riuh langkah pengunjung di Gedung Oudetrap, Kota Lama Semarang, Sabtu (13/9/2025).
Suasana bangunan tua peninggalan Belanda itu seakan hidup kembali dengan hadirnya ratusan pengunjung yang penasaran melihat produk UMKM Jawa Tengah dalam ajang Pikat Wastra Nusantara.
Deretan stan berjajar rapi menampilkan beragam karya.
Ada kain batik dengan motif kontemporer, minuman tradisional dalam botol kaca, hingga kerajinan tangan yang memanfaatkan bahan alami dan limbah rumah tangga.
Baca juga: 2 Bek Persiku Kudus Absen dalam Laga Kontra PSIS Semarang
Baca juga: Puluhan Warga Genuk Semarang Diduga Keracunan Nasi Kotak, Nuryanti Masih Gliyengan
Semua tampak unik dan menarik, seolah ingin menunjukkan wajah lain dari kreativitas warga Jateng.
Di tengah keramaian, tampak Anton (35) berjalan beriringan bersama istri dan anak semata wayangnya.
Sesekali sang anak berhenti, matanya berbinar melihat bentuk kerajinan yang belum pernah ditemui sebelumnya.
“Unik-unik, ya. Anak saya malah tertarik lihat caping. Jarang banget sekarang nemu yang kayak gini,” kata Anton sambil menunjuk deretan Caping Kalo yang dipajang di salah satu stan.
Menurut Anton, acara semacam ini memberi pengalaman berharga bagi keluarga kecilnya. Ia merasa anaknya bisa belajar mencintai produk lokal sejak dini.
“Selain bisa lihat langsung, anak juga jadi tahu kalau bahan sederhana bisa jadi barang bagus. Apalagi harganya terjangkau,” ujarnya.
Tak jauh dari tempat Anton berdiri, caping berwarna cokelat keemasan memikat mata banyak pengunjung.
Tutup kepala khas Kudus itu dikenal dengan nama Caping Kalo, yang kini mulai jarang dibuat perajin karena sulitnya regenerasi.
Caping itu lahir dari tangan telaten Suryati (50) warga Bulungcangkring, Kecamatan Jekulo, pemilik Suryati Craft. Ia mengaku proses pembuatannya penuh kesabaran.
“Ini namanya Caping Kalo. Proses bikinnya lama, bisa sampai sepuluh hari. Harus sabar dan telaten,” tutur Suryati, sembari membelai anyaman enceng gondok yang telah berubah jadi caping elok.
Sebelum fokus menekuni kerajinan, Suryati adalah penjual jamu tradisional seperti beras kencur dan kunir asam.
Jalan hidupnya berubah ketika ia mulai belajar produk kerajinan tangan, dari melihat enceng gondok yang selama ini dianggap gulma bisa disulap jadi produk bernilai tinggi.
“Dulu enceng gondok disemprot biar mati karena merusak lahan. Tapi saya lihat bisa dimanfaatkan. Awalnya ikut pelatihan dari beberapa peserta yang bertahan ya cuma saya,” kenangnya.
Kini, ia juga memproduksi tas, sandal, keranjang, hingga hiasan rumah dari bahan Enceng gondok.
Dari situ dia terus mengasah skillnya, termasuk ikut pelatihan PT Nojorono untuk membuat caping kalo.
Produk-produk itu dijual dengan harga mulai Rp35 ribu untuk tas kecil, hingga Rp700 ribu untuk satu caping kalo.
Meski perjalanannya penuh tantangan, karya Suryati pernah menembus pasar internasional.
Dia mengenang kalau itu sewaktu ada pameran yang digelar di Semarang, tamu dari Hongkong, Kanada, Pakistan, hingga Singapura membeli karyanya sebagai oleh-oleh.
“Rasanya bangga sekali, hasil karya tangan kita bisa sampai luar negeri,” ucapnya.
Sementara itu, semangat berbeda namun tak kalah kuat ditunjukkan oleh generasi muda.
Rafi Alvian (19), pemuda asal Tembalang Semarang, berdiri di balik meja stannya yang penuh dengan tas, gelang, dan gantungan kunci berbahan dasar kertas koran bekas.
“Ide awalnya waktu pandemi. Koran di rumah numpuk, rumah juga dekat sama bank sampah, terus muncul ide bikin anyaman dari kertas koran,” cerita Rafi.
Awalnya, ia hanya membuat hiasan rumah sederhana.
Namun seiring waktu, produk Craftonesia miliknya berkembang menjadi beragam aksesori.
Bahkan, beberapa produknya sempat jadi buah tangan warga Indonesia untuk dibawa ke Taiwan.
Meski berbahan limbah, kualitas produknya terjamin. Semua sudah dilapisi agar tahan air.
“Kalau perawatan gampang. Tinggal dilap pakai kain saja. Daya tahannya bisa sampai bertahun-tahun,” jelasnya.
Harganya pun ramah di kantong, rata-rata di bawah Rp100 ribu untuk hiasan rumah dan gelang. Namun untuk tas bisa sampai Rp300ribu.
Tak heran bila pengunjung yang datang selalu penasaran mencoba gelang atau memegang tas dari koran yang justru tampak elegan.
Acara Wastra Nusantara kali ini menjadi bukti bagaimana kreativitas lokal bisa bertransformasi menjadi produk yang tak hanya bernilai ekonomi, tapi juga punya nilai budaya dan lingkungan.
Suryati hadir dengan misi melestarikan tradisi Caping Kalo yang kian langka, sementara Rafi membawa semangat inovasi lewat daur ulang kertas koran.
Dua generasi berbeda, namun menyampaikan pesan yang sama kerajinan tangan bukan hanya soal estetika, melainkan cara menjaga bumi dan merawat identitas budaya. (Rad)
Anggota Forum Pengurangan Risiko Bencana Kota Semarang Dikukuhkan Untuk Mitigasi Bencana |
![]() |
---|
Ini Upaya Pemkot Semarang Dalam Mengantisipasi Banjir dan Longsor |
![]() |
---|
Kisah Tukang Bangunan Bisa Berangkat Umroh, Bermula Ikut Program Hadiah |
![]() |
---|
Hingga September 2025, Kunjungan Wisatawan ke Kota Lama Semarang Tembus 2,3 Juta Orang |
![]() |
---|
"Bagus Banget Deh!" Kata Wali Kota Semarang yang Akan Optimalkan Kali Semarang Jadi Tempat Wisata |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.