Berita Nasional
Sejarah Mencatat! Mengapa Isu Zionisme Dianggap Menodai "Qanun Asasi" NU Warisan Mbah Hasyim Asy'ari
Rapat Harian Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang meminta KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) mundur dari kursi Ketua Umum.
Penulis: Raf | Editor: raka f pujangga
TRIBUNJATENG.COM - Jagat warga Nahdliyin dikejutkan dengan beredarnya risalah Rapat Harian Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang meminta KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) mundur dari kursi Ketua Umum.
Alasannya Gus Yahya dinilai melanggar Qanun Asasi dan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) karena mengundang tokoh terkait jaringan Zionisme dalam agenda kaderisasi NU.
Tuduhan melanggar Qanun Asasi bukanlah perkara remeh.
Baca juga: Ultimatum 3 Hari Syuriyah PBNU: Gus Yahya Diminta Mundur atau Diberhentikan dari Jabatan Ketua Umum
Ini menyentuh jantung konstitusi organisasi Islam terbesar di dunia ini.
Untuk memahami beratnya tuduhan tersebut, perlu menengok kembali sejarah, siapa pendiri NU, dan untuk tujuan mulia apa jamiyah ini dilahirkan hampir satu abad silam.
Lahir dari Rahim Pergolakan Dunia
Nahdlatul Ulama, yang berarti "Kebangkitan Ulama", didirikan di Surabaya pada 16 Rajab 1344 H bertepatan dengan 31 Januari 1926.
Kelahirannya bukan sekadar respons lokal, melainkan jawaban atas pergolakan geopolitik Islam global.
Saat itu, Raja Ibnu Saud yang beraliran Wahabi menguasai Hijaz (Mekkah dan Madinah).
Ada kekhawatiran mendalam dari para ulama nusantara bahwa tradisi bermadzhab akan dilarang, dan situs-situs sejarah Islam akan dihancurkan atas nama pemurnian agama.
Para ulama pesantren di tanah air kemudian membentuk Komite Hijaz yang dipimpin KH Wahab Chasbullah untuk melobi Raja Ibnu Saud agar tetap memperbolehkan kebebasan bermadzhab.
Keberhasilan diplomasi inilah yang kemudian melembagakan komite tersebut menjadi organisasi permanen bernama Nahdlatul Ulama.
Tiga Pilar Utama (Triumvirat) Pendiri NU
Berdirinya NU tidak lepas dari restu dan tirakat para Muassis (pendiri) yang merupakan ulama khas dengan sanad keilmuan yang bersambung hingga Rasulullah SAW.
Ada tiga tokoh sentral yang kerap disebut sebagai "Triumvirat" pendiri NU:
1. Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari (Tebuireng, Jombang) Beliau adalah Rais Akbar (pemimpin tertinggi) pertama dan satu-satunya dalam sejarah NU. Mbah Hasyim adalah peletak dasar teologis dan ideologis NU. Beliau yang merumuskan Qanun Asasi (Undang-Undang Dasar) NU dan kitab Risalah Ahlussunnah wal Jamaah.
Dalam Qanun Asasi, Mbah Hasyim menekankan pentingnya persatuan (jam'iyah) dan memegang teguh tradisi salafus shalih. Pelanggaran terhadap Qanun Asasi—seperti yang dituduhkan Syuriyah saat ini—dianggap mencederai warisan spiritual sang Rais Akbar.
2. KH Wahab Chasbullah (Tambakberas, Jombang) Jika Mbah Hasyim adalah "ruh" NU, maka Mbah Wahab adalah "motor" penggeraknya. Beliau adalah inisiator, diplomat ulung, dan pemikir strategis yang merancang struktur organisasi. Sebelum NU lahir, Mbah Wahab telah mendirikan Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916 dan Tashwirul Afkar (Kebangkitan Pemikiran) pada 1918, yang menjadi embrio NU.
3. KH Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang) Beliau dikenal sebagai ahli fikih yang sangat disiplin dan tegas dalam hukum Islam. Mbah Bisri melengkapi kepemimpinan NU dengan ketegasannya dalam menjaga batasan syariat di tengah dinamika organisasi.
Qanun Asasi dan Khittah NU: Pagar yang Dijaga
Dalam mukadimah Qanun Asasi, KH Hasyim Asy’ari mengutip ayat Al-Qur'an dan Hadis tentang pentingnya berjamaah dan menjauhi perpecahan.
Nilai dasar NU adalah Tawassuth (moderat), Tawazun (seimbang), Tasamuh (toleran), dan I'tidal (tegak lurus).
Namun, toleransi (Tasamuh) dalam NU memiliki batasan.
NU secara historis berdiri membela kaum tertindas (mustadh'afin) dan menentang penjajahan.
Hal ini dibuktikan dengan Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang menyerukan perang melawan sekutu.
Dalam konteks polemik saat ini, hadirnya narasumber yang terafiliasi dengan Zionisme dianggap oleh Syuriyah sebagai pelanggaran terhadap prinsip kemanusiaan dan anti-penjajahan yang diwariskan para pendiri.
NU, sejak kelahirannya, selalu berpihak pada kemerdekaan Palestina sebagai amanat konstitusi dan amanat para Kiai sepuh.
Ujian Bagi Nahdliyin
Dinamika yang terjadi hari ini, di mana Syuriyah (lembaga tertinggi/pengendali) "menjewer" Tanfidziyah (pelaksana), merupakan mekanisme kontrol yang sebenarnya wajar dalam tradisi organisasi, meskipun jarang terjadi dengan eskalasi setinggi ini (permintaan mundur).
Sejarah mencatat, NU telah melewati berbagai badai zaman, mulai dari masa kolonial, Orde Lama, hingga Orde Baru.
Kekuatan NU tidak hanya terletak pada struktur organisasinya, tetapi pada kepatuhan santri kepada Kiai dan barokah para pendiri.
Baca juga: Tak Mau Ikut Campur, PWNU Jateng Desak Islah di PBNU: Gus Yahya Disarankan Meminta Maaf
Kini, publik menanti apakah "turbulensi" ini akan berakhir dengan islah (perdamaian) demi keutuhan jamiyah, atau menjadi babak baru reformasi di tubuh PBNU untuk kembali ke rel yang digariskan Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari.
Satu hal yang pasti, NU didirikan bukan untuk kepentingan kekuasaan sesaat, melainkan untuk meninggikan kalimat Allah (Izzul Islam wal Muslimin) dan menjaga kedaulatan bangsa. (*)
| Ultimatum 3 Hari Syuriyah PBNU: Gus Yahya Diminta Mundur atau Diberhentikan dari Jabatan Ketua Umum |
|
|---|
| Rakor Kemenham Jateng & Disnaker: Soroti Penahanan Ijazah dalam Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM |
|
|---|
| Kemenham Jateng Ikuti Kick-off Satu Data HAM, Wujudkan Integrasi Tata Kelola Data Nasional |
|
|---|
| Kanwil Kemenham Jateng Dorong Penguatan HAM dalam Raperda Penyelenggaraan Pendidikan Kota Semarang |
|
|---|
| Kemenham Jateng Gandeng Puskesmas Bugangan Gelar Skrining Kanker Serviks Periksa Kesehatan Gratis |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jateng/foto/bank/originals/20251121_ketua-umum-PBNU-KH-Yahya-Cholil-Staquf-mundur-dari-jabatannya_1.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.