UIN SAIZU Purwokerto
Terjepit di Antara Dua Generasi, Nasib Generasi Sandwich di Indonesia
Terjepit di Antara Dua Generasi, Nasib Generasi Sandwich di Indonesia oleh Prof. Dr. H. Syufa'at, M.Ag.
Oleh : Prof. Dr. H. Syufa'at, M.Ag. dkk
Guru Besar UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto
Fenomena generasi sandwich, di mana seorang anak dewasa harus merawat orang tua dan anaknya secara bersamaan, kian marak terjadi di Indonesia. Istilah ini pertama kali dicetuskan oleh Dorothy A. Miller, seorang profesor dari Universitas Kentucky.
Dia mengamati banyak wanita paruh baya mengurus anak dan orang tua mereka yang berusia di atas 60 tahun. Dalam konteks Indonesia, kondisi ini telah menjadi beban yang tak terhindarkan bagi banyak keluarga, bahkan menjadi subjek penelitian ilmiah yang mendalam.
Sebuah studi yang diterbitkan di jurnal Al-Manāhij, berjudul "Sandwich Generation in Contemporary Indonesia," mengungkap realitas ini dari sudut pandang hukum dan budaya.
Penulis utamanya, Syufa'at, dari UIN Saizu Purwokerto, bersama timnya, menemukan bahwa di Indonesia, perawatan lansia merupakan tanggung jawab keluarga yang sangat kuat. Kewajiban ini berakar dalam nilai-nilai agama dan budaya yang mendalam, menjadikan tugas ini sebagai sesuatu yang tidak bisa dihindari.
Data dari penelitian ini menunjukkan betapa besarnya ketergantungan lansia di Indonesia kepada anak-anaknya. Mayoritas lansia, sebanyak 82,99 persen, menerima bantuan finansial dari anggota keluarga yang bekerja di rumah tangga mereka.
Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang mengandalkan tabungan pensiun (5,22 persen) atau investasi (0,41 persen). Hal ini diperparah dengan fakta bahwa Indonesia telah masuk kategori negara dengan populasi menua sejak tahun 2021.
Secara hukum, baik hukum Islam maupun hukum positif, anak dewasa memiliki kewajiban moral dan hukum untuk merawat orang tua mereka yang tidak mampu. Kewajiban ini berlaku bagi anak-anak yang telah dewasa, yaitu berusia 18 tahun (menurut UU Perkawinan) atau 21 tahun (menurut KUH Perdata).
Dalam hukum Islam, menafkahi orang tua yang membutuhkan adalah bentuk "birrul walidain" atau bakti kepada orang tua, yang dianggap sebagai kewajiban religius.
Tanggung jawab ini bukan sekadar moral, tetapi juga memiliki implikasi hukum. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga melarang penelantaran orang yang tinggal dalam satu rumah tangga, termasuk orang tua.
Jika terbukti melakukan penelantaran, pelakunya dapat dijerat dengan hukuman pidana, yaitu penjara hingga 3 tahun atau denda maksimal Rp 15 juta. Hal ini menunjukkan keseriusan negara dalam melindungi hak-hak lansia.
Meskipun demikian, peran pemerintah dalam isu ini seringkali dianggap hanya sebagai pelengkap, bukan sumber utama dukungan. Pemerintah memang menyediakan program-program kesejahteraan sosial dan pensiun, tetapi keberhasilan dan jangkauannya masih terbatas.
Oleh karena itu, beban utama tetap berada di pundak keluarga, diperkuat oleh konsep "gotong royong" yang merupakan pilar budaya di Indonesia. Dengan semakin meningkatnya populasi lansia, fenomena generasi sandwich diperkirakan akan terus berlanjut.
Karena itu, penting bagi anak-anak dewasa yang mampu secara finansial untuk memberikan dukungan kepada orang tua mereka. Kewajiban ini adalah bagian tak terpisahkan dari budaya dan agama mayoritas masyarakat Indonesia, menjadikannya sebuah tugas yang harus dipikul dengan penuh tanggung jawab.
| Dosen UIN Saizu Jadi Pembicara di Gontor Putri: Bahasa Arab sebagai Jalan Dakwah Global Muslimah |
|
|---|
| Apel Hari Santri 2025 di UIN Saizu: Momentum Refleksi Jihad dan Kebangkitan Santri Nusantara |
|
|---|
| Kembangkan Wakaf Produktif, P3W UIN Saizu Purwokerto Lakukan Benchmarking ke UWDS IPB |
|
|---|
| Dari Resolusi Jihad ke Nasionalisme: Ketika Ashabiyyah Santri Menjaga Negara |
|
|---|
| Rektor UIN Saizu Dukung Santri Award 2025: Ini Wujud Apresiasi untuk Dunia Pesantren |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.