READERS NOTE
Masihkah Siswa SD Dibebani Banyak PR dan Les Tambahan
Fenomena tekanan akademik pada anak SD bukanlah hal baru, tetapi kini semakin mencemaskan. Banyak sekolah menerapkan sistem belajar yang padat
Masihkah Siswa SD Dibebani Banyak PR dan Les Tambahan
Oleh Dr. Elinda Rizkasari,SPd. MPd
Dosen Prodi PGSD Unisri Surakarta
BEBERAPA waktu lalu, media sosial dihebohkan oleh video seorang siswa SD yang menangis karena lelah mengerjakan tugas sekolah. Dengan suara terbata, ia mengaku takut dimarahi guru bila nilainya turun, sementara waktu bermainnya nyaris tak ada.
Ribuan warganet merespons dengan empati, sebagian besar menulis, “Anak saya juga mengalami hal yang sama.” Kasus ini menjadi cermin getir tentang wajah pendidikan dasar di negeri ini seperti terlalu cepat menuntut kedewasaan dari anak-anak yang seharusnya masih bermain.
Fenomena tekanan akademik pada anak SD bukanlah hal baru, tetapi kini semakin mencemaskan. Banyak sekolah menerapkan sistem belajar yang padat, tugas menumpuk, bahkan memberi pekerjaan rumah setiap hari. Di luar jam sekolah, anak - anak masih mengikuti les tambahan. Dalam seminggu, mereka jarang benar-benar punya waktu untuk sekadar bermain di luar rumah.
Data UNICEF menunjukkan bahwa pada anak usia 6 - 12 tahun seharusnya memiliki waktu bermain aktif minimal dua hingga tiga jam per hari sebagai bagian dari tumbuh kembang optimal. Namun di banyak daerah, waktu itu telah tergantikan oleh tumpukan buku dan layar gawai.
Sebuah studi dari Universitas Indonesia (2024) menunjukkan bahwa enam dari sepuluh anak sekolah dasar di kota besar mengalami gejala stres ringan hingga sedang akibat beban tugas dan tekanan akademik. Penelitian serupa oleh Pusat Kajian Perlindungan Anak (2023) juga mencatat, anak-anak dengan durasi belajar lebih dari delapan jam per hari cenderung memiliki tingkat kecemasan dua kali lipat dibanding yang mendapat waktu istirahat cukup.
Data ini memperkuat dugaan bahwa sistem pendidikan kita belum ramah anak, dan justru memicu masalah kesehatan mental sejak usia dini. Akar persoalan ini terletak pada paradigma lama yang masih menguasai ruang pendidikan kita: nilai akademik sebagai tolok ukur utama keberhasilan. Sekolah berlomba - lomba menunjukkan hasil ujian yang tinggi, guru merasa harus memberi banyak tugas agar terlihat “bermutu”, dan orang tua bangga bila anaknya berada di peringkat teratas. Dalam atmosfer seperti ini, anak-anak kehilangan hak dasarnya untuk tumbuh secara alami bermain, berinteraksi, dan bereksplorasi.
Berpikir Kritis
Padahal, esensi pendidikan bukanlah menjejali kepala anak dengan informasi, melainkan menumbuhkan rasa ingin tahu, kemandirian, dan karakter. Pendidikan yang sehat seharusnya melatih anak berpikir kritis, berempati, dan bahagia belajar. Namun yang terjadi, sistem kita lebih sibuk menghitung skor daripada memahami manusia kecil yang sedang belajar mengenali diri dan dunia.
Slogan “Sekolah Ramah Anak” seharusnya menjadi jawaban, tetapi implementasinya masih jauh dari harapan. Banyak sekolah belum mengubah budaya akademik yang menekan. Anak-anak masih dinilai dari angka, bukan dari proses. Guru pun sering kali tidak mendapat dukungan untuk berinovasi karena terjebak dalam beban administratif dan target kurikulum. Akibatnya, sistem pendidikan berjalan seperti mesin: seragam, kaku, dan tidak mengenal perasaan.
Kita juga perlu mengubah cara pandang di rumah. Orang tua tidak boleh menjadi perpanjangan tangan sistem yang menekan. Penelitian Parenting Research Center Australia (2024) menemukan bahwa anak-anak yang diasuh dengan pola supportive parenting yakni orang tua yang menyeimbangkan disiplin dengan empati memiliki tingkat stres akademik hingga 40 persen lebih rendah dibanding anak yang dibesarkan dalam pola asuh otoriter. Artinya, pola pengasuhan yang penuh dukungan dapat menjadi benteng pertama menghadapi tekanan sistem pendidikan yang keras.
Kesejahteraan Psikologis
Sudah saatnya sekolah dan keluarga bersama - sama membangun kembali ekosistem belajar yang lebih manusiawi. Sekolah perlu meninjau ulang beban tugas dan jam belajar yang selama ini dianggap sebagai ukuran mutu. Guru dapat memberikan pekerjaan rumah yang berbasis proyek sederhana dan menyenangkan, yang menumbuhkan kreativitas alih - alih sekadar menyalin buku pelajaran. Pemerintah juga harus memperkuat penerapan Sekolah Ramah Anak bukan hanya dalam tataran slogan, tetapi sebagai kebijakan nyata yang menempatkan kesejahteraan psikologis siswa sejajar dengan pencapaian akademik.
Di sisi lain, orang tua harus menjadi “sekutu anak”, bukan malah menjadi hakim yang menilai dari angka rapor. Rumah sebaiknya menjadi tempat aman di mana anak dapat beristirahat dari tekanan sekolah, bercerita tentang rasa lelahnya, dan menemukan kembali semangat belajar dalam suasana yang hangat. Keseimbangan antara belajar dan bermain juga perlu dipulihkan. Negara Finlandia, yang dikenal memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia, justru tidak memberikan PR pada siswa sekolah dasar dan menjadikan permainan sebagai metode belajar utama. Anak - anak mereka tetap berprestasi, bahkan lebih bahagia, karena belajar dengan cara yang selaras dengan usia mereka.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jateng/foto/bank/originals/elinda-Dosen-prodi-PGSD-Unisri-Surakarta.jpg)