Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Semarang

Semarang Climate Strike: Anak-anak, Pemuda, Tokoh Agama dan Aktivis Lingkungan Ingatkan Krisis Iklim

Ratusan warga Semarang terdiri dari anak-anak, pemuda, tokoh agama, aktivis lingkungan melakukan aksi Semarang Climate Strike

Penulis: iwan Arifianto | Editor: muslimah
Walhi Jateng
KRISIS IKLIM -  Ratusan warga Semarang melakukan aksi Semarang Climate Strike atau aksi Jeda Untuk Iklim 2025, di Jalan Pahlawan, Jumat (14/11/2025).  

TRIBUNJATENG.COM,SEMARANG - Ratusan warga Semarang terdiri dari anak-anak, pemuda, tokoh agama, aktivis lingkungan melakukan aksi Semarang Climate Strike atau aksi Jeda Untuk Iklim 2025, di Jalan Pahlawan, Jumat (14/11/2025). 

Aksi ajakan untuk peduli pada isu krisis iklim dan transisi energi bersih berkeadilan itu dimulai dari Taman Indonesia Kaya (TIK).

Peserta lalu long march menyusuri Jalan Pahlawan dari depan kantor Gubernur Jawa Tengah hingga ke titik panggung aspirasi yang berada di depan Patung Diponegoro, Pleburan kampus Undip Semarang

Peserta aksi membentang sejumlah spanduk bertuliskan tolak solusi palsu untuk mengatasi krisis iklim, cukup mantan bikin panas suhu bumi jangan, janji palsu solusi palsu harapan palsu transisi energi palsu restorasi palsu cop30 palsu ternyata yang nyata cintaku padamu, COP 30 = janji global luka lokal, dan lainnya.

"Anak-anak yang turun ke jalan hari ini adalah bukti bahwa generasi muda sedang menanggung beban dari kebijakan yang tidak pernah mereka buat. Inilah bentuk ketidakadilan antargenerasi yang paling nyata berupa generasi hari ini dipaksa menghadapi krisis yang dipicu oleh kelalaian masa lalu," terang Staff Kampanye dan Media WALHI Jawa Tengah, Azalya Tilaar.

Aksi tersebut juga menyinggung soal Konferensi tahunan Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-30 tentang perubahan iklim (COP30) di Kota Belem, Brasil, diikuti 190 negara yang berlangsung dari 10 hingga 21 November 2025. Indonesia hadir dalam konferensi tersebut, tetapi banyak dikritik oleh aktivis lingkungan karena dinilai gagal membawa kepentingan rakyat soal keadilan iklim.

Menurut Zalya, krisis iklim tidak terjadi begitu saja, ia adalah hasil dari keputusan politik yang selama bertahun-tahun memberi karpet merah bagi industri ekstraktif dan energi kotor.

Untuk mengatasinya, lanjut dia, pemerintah harus segera menghentikan izin-izin perusahaan perusak lingkungan, memensiunkan dini dan menutup ruang bagi ekspansi PLTU dan industri batubara, serta memastikan transisi energi yang adil, yang menempatkan keselamatan rakyat dan keberlanjutan ekosistem sebagai prioritas utama.

Negara memiliki tanggung jawab moral dan politik tidak hanya kepada warga hari ini melainkan pula kepada anak-anak yang belum lahir. 

Keputusan negara yang diambil masa sekarang akan menentukan kelayakan hidup generasi mendatang yang akan hidup layak atau dalam bencana yang tak berkesudahan.

"Karena itu, negara tidak boleh lagi menunda. Menyelamatkan bumi adalah mandat antargenerasi, dan negara wajib menjalankannya,” terangnya.

Makin Panas

Peserta aksi Kyralee (11) yang juga pelajar kelas VI EduHouse Primary Semarang mengaku, cuaca hari ini semaikin panas akibat krisis iklim. Ia tidak bisa membayangkan cuaca di masa mendatang.

"Orang dewasa perlu mengubah cara hidup biar Bumi lebih baik. Anak-anak juga perlu belajar bagaimana menjaga Bumi buat masa depan kami nanti,” terangnya yang diwawancarai dengan persetujuan pendampingnya.

Kepala Sekolah SMA Kebon Dalem, Krista, SDP mengatakan, di tengah krisis iklim perlu ada langkah pertobatan ekologis dengan cara menggunakan listrik secukupnya. Meminimalkan sampah dan menanam pohon.

"Sekolah-sekolah bisa sangat berperan dengan membiasakan anak didiknya peduli terhadap lingkungan secara nyata dan peka terhadap kerusakan lingkungan," jelasnya.

Bhikkhu Ditthisampanno Mahathera dari Wihara Sima Buddha Jayanti Bukit Kassap Pudakpayung Banyumanik menyebut akar krisis iklim ini terjadi karena moralitas dan kesadaran spiritual. 

Eksploitasi alam berlebihan adalah cermin keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kebodohan (moha) manusia.

"Padahal menyakiti alam, berarti menyakiti diri sendiri dan seluruh makhluk. Lewat aksi ini, kita mengakui kembali bahwa semua kehidupan saling bergantung," paparnya.

Aksi  Semarang Climate Strike merupakan bagian dari gerakan global Global Climate Strike. Kampanye ini sebagai bentuk komitmen para pelajar dan anak muda sedunia serentak untuk turun ke jalan demi terwujudnya keadilan iklim. Tahun ini tema sentral bersamanya adalah “Just Transition Now!”. 

Untuk aksi ini di Semarang merupakan aksi kelima sejak tahun 2019 yang dikoordinir oleh Jaringan Peduli Iklim dan Alam (Jarilima).  

Koordinator Jarilima,  Ellen Nugroho, transisi energi bersih sudah sangat urgen demi kelangsungan hidup warga Semarang dan Jawa Tengah. Ia menyebut warga Jawa Tengah tentu sudah merasakan sendiri dampak kenaikan suhu Bumi, cuaca ekstrem yang mendatangkan banjir, badai, kekeringan hingga  ancaman krisis pangan dan air.

Ia mengingatkan pemerintah harus bertindak secara konkret dengan  menghentikan pembiayaan dan ekspansi proyek berbasis bahan bakar fosil, serta melakukan investasi besar-besaran dalam energi terbarukan yang bersih dan terjangkau.

"Jangan terus berpikir jangka pendek, ingat nasib anak-anak kecil dan generasi muda kita ini. Jangan tunggu Semarang tenggelam, transisi ke energi bersih sekarang," ujarnya. (Iwn) 

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved