Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Semarang

Buku Evolusi Jari: Saur Hutabarat & Ikhwan Syaefulloh Bahas Peran Nalar Manusia di Era Teknologi

Di tengah dominasi teknologi digital dan kecerdasan buatan, manusia kini menghadapi pertanyaan mendasar

IST
BUKU - Sebuah karya buku berjudul Evolusi Jari, hasil pemikiran jurnalis senior Saur Hutabarat dan context engineer Ikhwan Syaefulloh - ist 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Di tengah dominasi teknologi digital dan kecerdasan buatan, manusia kini menghadapi pertanyaan mendasar: apakah kita masih memegang kendali penuh atas cara berpikir kita sendiri?

Fenomena itu menjadi gagasan utama dalam buku terbaru bertajuk Evolusi Jari, yang memuat pemikiran jurnalis senior Saur Hutabarat dan context engineer Ikhwan Syaefulloh.


Menurut Saur Hutabarat, tantangan terbesar era digital bukan terletak pada kecanggihan mesin, melainkan pada kemampuan manusia menjaga kejernihan bernalar.


“Masalahnya bukan pada cepatnya mesin. Masalahnya ketika manusia berhenti melambatkan diri untuk berpikir,” ujarnya, Senin (24/11/2025).


Ia menilai pola interaksi digital yang serba instan membuat manusia semakin reaktif.


“Kita terbiasa merespons dalam hitungan detik, bukan menimbang dalam hitungan menit. Padahal keputusan-keputusan penting justru butuh jeda,” tambahnya.

Baca juga: Kemenangan Perdana PSIS Semarang di Pegadaian Championship 2025: Jangan Euforia


Pemikiran Saur kemudian diperdalam melalui kolaborasinya dengan Ikhwan Syaefulloh, seorang praktisi rekayasa konteks yang sehari-hari bergelut dengan kecerdasan buatan.

Ikhwan melihat bahwa teknologi justru sedang menguji kapasitas berpikir manusia modern.


“Teknologi itu cermin. Ia memperlihatkan siapa kita sebenarnya. Kalau manusianya tidak jernih, pantulannya pun kacau,” jelasnya.


Saur juga mengingatkan pentingnya keberanian mengambil risiko dan keluar dari zona nyaman, yang ia sebut sebagai “kesintingan yang dibutuhkan zaman”.

“Kemajuan itu tidak pernah lahir dari orang yang terlalu patuh pada arus utama,” tuturnya.


Tidak hanya membahas relasi manusia dan teknologi, percakapan keduanya mengalir pada isu moral publik, politik, hukum, hingga spiritualitas.

Melalui analogi sederhana seperti kisah kain kafan, Saur menegaskan bahwa pada akhirnya manusia kembali pada nilai dasar yang sama.


“Kita pulang tanpa atribut. Yang tersisa hanya kejujuran kita sendiri,” ujarnya.


Dengan pengalaman lebih dari empat dekade di dunia jurnalistik, Saur Hutabarat dikenal sebagai salah satu figur penting dalam perdebatan publik di Indonesia.

Sumber: Tribun Jateng
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved