Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Wabah Virus Corona

Apa Itu Happy Hypoxia Gejala Baru Virus Corona? Ini Jawaban Dokter Moniq

Sebagai penyakit baru, Covid-19 yang disebabkan oleh infeksi virus corona masih memiliki berbagai aspek yang belum diketahui.

Editor: galih permadi
Humas Pemkab Tegal
Ilustrasi penanganan pasien positif Covid-19. 

TRIBUNJATENG.COM - Baru-baru ini heboh soal gejala baru Covid-19  yaitu happy hypoxia.

Sebagai penyakit baru, Covid-19 yang disebabkan oleh infeksi virus corona masih memiliki berbagai aspek yang belum diketahui.

Termasuk salah satu gejala yang disebut happy hypoxia ini.

Detik-detik Kecelakaan Beruntun di Tol Banyumanik-Gayamsari Semarang, Saksi Lihat Sopir Terjepit

Cerita Warga saat Polsek Ciracas Dibakar, Dicegat Orang Bersenjata hingga Masuk Mako Kopassus

Teriakan Ningsih Bikin Heboh Kampung, Temukan Mayat Bayi Perempuan Tersangkut di Sungai

Ancaman KSAD Jenderal TNI Andika Perkasa ke Prada Ilham Cs Terlibat Pembakaran Polsek Ciracas

Tim penyakit infeksi emerging (PIE) RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, belakangan ini mendapati beberapa pasien COVID-19 mengalami happy hypoxemia syndrome atau happy hypoxia.

Yakni, kondisi seseorang dengan kadar oksigen rendah dalam tubuh.

Salah satu dokter spesialis paru di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, Wisuda Moniqa Silviyana, menuturkan beberapa pasien COVID-19 yang mengalami happy hypoxia terlihat biasa-biasa saja.

Padahal saat diperiksa, saturasi oksigennya sudah di level 70 hingga 80 persen.

"Hasil analisis gas darah arteri (AGD) juga menunjukkan tanda gagal napas. Tetapi pasien saat itu baik-baik saja, bisa berkomunikasi seperti biasa," katanya.

Menurutnya, kondisi di mana pasien mengalami penurunan saturasi oksigen serta tanda gagal napas, menunjukkan pasien sedang mengalami hypoxia.

Namun yang menarik perhatian tim medis saat itu adalah, mengapa pasien tersebut sejak awal tidak menunjukkan gejala hypoxia seperti, misalnya, sesak napas, gelisah, dan tubuh yang makin melemah.

Pasien malah terlihat baik-baik saja. Sebelum melanjutkan ceritanya tentang happy hypoxia, dia terlebih dulu menjelaskan, pada kondisi normal seseorang biasanya memiliki saturasi oksigen antara 95 sampai 100 persen.

Dalam keadaan saturasi oksigen normal maka sel darah merah atau hemoglobin dapat mengikat oksigen dengan baik lalu akan menyampaikannya ke seluruh sel pada jaringan tubuh.

Namun, saat mengalami hypoxia maka saturasi oksigen mengalami penurunan, di bawah level normal. Saturasi oksigen di bawah normal itu akan mengakibatkan berkurangnya kemampuan ikatan hemoglobin terhadap oksigen.

Pada akhirnya oksigen yang disampaikan ke seluruh sel pada jaringan tubuh juga berkurang.

Saat seseorang mengalami hypoxia, maka biasanya ada gejala yang ditunjukkan sejak awal seperti sesak napas, gelisah, hingga tubuh yang makin melemah, sebelum akhirnya kondisi makin memburuk.

"Namun fenomena yang berbeda terjadi pada beberapa pasien Covid-19 yang kami tangani. Pasien tampak tidak sesak atau tidak begitu sesak atau hanya sedikit sesak dan masih dapat melakukan aktivitas, berbicara, seolah sedang tidak mengalami hypoxia," katanya.

Pasien tersebut seolah-olah dapat menoleransi kondisi dalam tubuhnya sehingga tidak menunjukkan gejala penurunan saturasi sejak awal.

Hingga nantinya kondisinya makin memburuk.

Saat saturasi oksigennya sudah anjlok, baru pasien menunjukkan kondisi berat dan perburukan sehingga harus segera diberikan alat bantu napas.

"Kondisi itulah yang disebut dengan happy hypoxemia syndrome. Kepustakaan ada yang menyebutkan nama lain yaitu silent hypoxia syndrome, pasien seolah-olah baik-baik saja padahal sedang dalam kondisi hypoxia," katanya.

Gejala sesak napas, kata dia, baru mulai tampak setelah terjadi konsolidasi berat pada jaringan paru.

"Kalau dilihat dari patogenesis-nya, dyspnea atau gejala sesak napas baru mulai tampak setelah jaringan paru mulai mengalami penurunan dan bahkan sudah terjadi konsolidasi berat, jadi jika gambaran parunya rusak berat maka gejala sesaknya baru muncul," katanya.

Dia mengatakan RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo makin intensif mengamati adanya kondisi pasien yang tampak baik padahal saturasinya sudah sangat menurun itu pada Juli 2020.

 "Pada bulan Juli 2020 kami mulai mengalami peningkatan kasus rujukan dengan pneumonia sedang sampai berat, pada saat itu juga ada pasien yang saat tiba di rumah sakit kelihatannya tidak terlalu sesak tapi tidak lama kemudian makin memberat dan memerlukan ventilator. Setelah dilakukan analisis gas darah arteri ternyata pasien sedang mengalami hypoxia," katanya.

Berbekal pengalaman demi pengalaman itu, dia dan tim makin mengintensifkan pengecekan saturasi oksigen pada pasien secara berkala untuk mengantisipasi kondisi pasien yang memburuk tiba-tiba.

"Meskipun pasien tidak mengalami gejala hypoxia namun pengecekan saturasi oksigen pasien Covid-19 kami lakukan tiap sebentar-sebentar dan secara terus menerus," katanya.

Jika pengecekan tersebut menunjukkan pasien sedang mengalami hypoxia, maka pihaknya akan bertindak berdasarkan hasil analisis gas darah arteri pasien.

"Dari hasil analisis gas darah arteri dapat terlihat apakah pasien tersebut masih dapat dikoreksi dengan pemberian terapi oksigen dengan masker oksigen, atau memang sudah perlu ventilator, ada hitungannya. Di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo sendiri tidak perlu menunggu lama karena ada alatnya jadi segera dipasang jika memang perlu ventilator," katanya.

Kendati demikian, kata dia, pihaknya akan tetap mempertimbangkan terlebih dahulu.

Apabila memang masih memungkinkan dibantu dengan masker oksigen maka pasien akan dipasang masker oksigen saja.

Dia lantas menambahkan, pasien Covid-19 di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo yang mengalami happy hypoxia sebagian besar bisa ditangani dengan baik, tapi ada juga yang meninggal dunia.

"Bila kondisi pasien berlanjut karena infeksi makin parah, merusak paru dan terlanjur terjadi kerusakan luas pada jaringan paru maka pasien bisa tidak tertolong," katanya.

Karena itu pihaknya berharap dengan melakukan analisis gas darah arteri dan pengecekan saturasi secara berkala walau kondisi pasien terlihat baik-baik saja, maka akan dapat mengantisipasi kemungkinan terburuk.

"Apabila pemeriksaan dan hasil AGD menunjukkan hypoxia maka kami segera melakukan koreksi oksigenasi, memberikan tatalaksana secepat mungkin agar selamat dan tidak menunggu sampai pasien sesak," katanya.

Penyakit Penyerta

Dokter Moniq juga menyebutkan, ada tiga orang pasien Covid-19 di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo yang meninggal dunia setelah sebelumnya mengalami happy hypoxia.

Ketiga pasien tersebut, tambah dia, juga memiliki penyakit komorbid atau penyakit penyerta seperti gangguan jantung, hipertensi serta obesitas atau kegemukan.

Menurut dia, penyakit komorbid pada pasien dapat mempengaruhi imunitas dan imunitas yang menurun menyebabkan fungsi sel-sel imun juga menurun.

"Dengan demikian menjadi tidak maksimal dalam melawan infeksi yang terjadi," katanya.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Cerita Dokter Tangani Pasien Corona yang Alami Happy Hypoxia"

Kabar Gembira, Per 1 September 2020 Hendi Hapus Sanksi Administrasi Denda Pajak

Restoran Ambruk di China Tewaskan 29 Orang

Korban Tewas Akibat Ledakan di Beirut Bertambah Menjadi 190 Orang

Meski Jauh dari Mess Tim, Dragan Djukanovic Tetap Senang PSIS Berlatih di Kendal

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved