Polemik PPN Sembako
Polemik Rencana PPN Sembako, Sosiolog: Perbedaan Strata Sosial di Masyarakat akan Sangat Tinggi
Ketimpangan sosial dimungkinkan terjadi karena kemiskinan yang semakin mengekang masyarakat bila PPN semabko jadi diterapkan.
Penulis: Idayatul Rohmah | Editor: moh anhar
Penulis: Idayatul Rohmah
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Rencana pemerintah soal Penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) pada barang kebutuhan pokok memunculkan polemik di masyarakat.
Beragam reaksi muncul dari berbagai pihak, termasuk pengamat yang menyebutkan risiko terjadi apabila kebijakan tersebut diberlakukan.
Rencana perluasan objek PPN tertuang dalam Draf Revisi Kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
Dalam rencana aturan baru itu, Pasal 4A draf RUU KUP sembako dihapus dalam kelompok barang yang tak dikenai PPN di samping jasa seperti pelayanan kesehatan medis yang juga dihapus dari jenis jasa yang tidak dikenakan PPN.
Menanggapi rencana tersebut, Pengamat Sosial (sosiolog) Unika Soegijopranata Semarang, Drs Hermawan Pancasiwi BA MSi mengatakan, kebijakan ini akan berdampak pada kodisi sosial masyarakat.
Baca juga: Soal PPN Sembako, Ganjar Pranowo: Kebangetan Jika Kebijakan Tersebut Diterapkan
Baca juga: Kamar Isolasi Covid-19 di RSUD Kendal Penuh, Petugas Tambah 37 Tempat Tidur di 2 Rumah Sakit
Baca juga: Varian Baru di Kudus, HM Hartopo: Usia Muda dan Tanpa Komorbid Tetap Harus Waspada
Menurutnya, ketimpangan sosial dimungkinkan terjadi karena kemiskinan yang semakin mengekang masyarakat.
"Stratifikasi sosial di masyarakat sangat tinggi, ada yang sangat-sangat kaya dan ada yang sangat-sangat miskin bahkan untuk mendapatkan sembako saja sulit.
Kalau sudah seperti itu dengan dikenai PPN yang kemudian konsekuensinya barang kebutuhan pokok menjadi lebih mahal, akan sangat mungkin ada semacam pembedaan antara orang-orang miskin dan orang-orang kaya," kata Hermawan saat dihubungi Tribunjateng.com, Sabtu (12/6/2021).
Hermawan menilai, usulan pemerintah memberlakukan PPN pada kebutuhan bahan pokok kurang sesuai jika diterapkan di Indonesia dengan kondisi pendapatan masyarakatnya yang heterogen.
Menurutnya, masyarakat dengan penghasilan rendah akan sangat terbebani apabila kebutuhan pokok tersebut turut dikenai PPN.
"Kalau promo menu Mc Donalds BTS Meal yang ramai kemarin itu dipajaki, pantas. Akan tetapi misal semua dipajaki sampai sembako, mereka sudah tidak kuat lagi.
Apa yang digagas Kemenkeu itu memang hal yang terjadi di beberapa negara lain. Tapi Masalahnya, negara yang dicontoh itu adalah negara yang relatif homogen, dalam artian pendapatan masyarakatnya cukup merata. Jadi kalau toh ada kenaikan tidak setajam itu," kiranya.
Dia menambahkan, jika pemerintah tetap bersikeras menerapkan kebijakan fiskal itu, pemerintah perlu berhati-hati melakukan sasaran agar tidak ada masyarakat yang terbebani.
"Kalau toh (rencana kebijakan) itu diteruskan tidak masalah, namun harus berhati-hati kepada siapa pajak itu dikenakan.
Baca juga: Menko Airlangga: Dukungan Pemerintah dalam Pengembangan Ekonomi Syariah dengan Halal Value Chain
Baca juga: Kekayaan Nikita Mirzani Sudah Capai Rp 1,3 Triliun, Raffi Ahmad Masih di Bawahnya
Baca juga: Apa Itu Kolaps? Kenali Isyarat Tubuh Ini untuk Menghindari Kolaps Saat Berolahraga
Kalau mau jujur, pandemi ini sebetulnya ternyata tidak serta merta menutupi semua kenyataan bahwa orang itu masih banyak yang kaya. Seperti BTS meal kemarin, ada yang dengan sangat mudah membeli dalam jumlah banyak hingga membayar jutaan rupiah.
Jadi pajak tersebut seharusnya dikenakan kepada orang yang memang pantas dikenai pajak, maka semua akan sama rata, tidak akan ada orang miskin yang merasa kesulitan," tukasnya. (*)