OPINI
OPINI Muhamad Mustaqim : Akademisi dan Tikungan Publikasi
BEBERAPA waktu lalu, seorang teman harus merelakan “kegagalan” kenaikan pangkatnya pada suatu level.
Oleh Muhamad Mustaqim, MM, MPdI
Dosen IAIN Kudus
BEBERAPA waktu lalu, seorang teman harus merelakan “kegagalan” kenaikan pangkatnya pada suatu level. Alasannya, salah satu artikelnya di sebuah Jurnal Scopus lenyap. Jurnal tersebut ternyata sudah di-discontinued, ditendang dari daftar Scopus. Padahal satu artikel tersebut adalah “golden ticket”, satu-satunya senjata pamungkas untuk bisa lompat level.
Teman saya tentu bukan satu-satunya kasus. Banyak kasus serupa, yang saat ini menimpa akademisi terkait dengan publikasi ilmiah. Teman saya tidak sepenuhnya salah, pasalnya pada saat publish, jurnal tersebut nyata-nyata eksis dan terdaftar.
Selain itu, untuk publish juga harus membayar fee yang boleh dikata lumayan besar, berkisar jutaan. Satu-satunya kesalahan “kecil” teman saya barang kali adalah kekurang hati-hatian dalam memilih Jurnal.
Era informasi memang telah merubah lanskap publikasi ilmiah, yang menjadi spirit tri dharma Perguruan Tinggi: pendidikan, penelitian (plus publikasi) dan pengabdian. Jika dulu pada zamanya, hasil penelitian cukup dijilid dan diletakkan di Perpustakaan untuk dibaca pengunjung (diseminasi), maka saat ini diseminasi berarti mempublikasi hasil riset tersebut ke dalam terbitan ilmiah melalui platform elektronik.
Dan tidak cukup di situ, terbitan ilmiah atau jurnal yang dimaksud, tentu tidak sembarangan, ada kualifikasi tertentu, tidak semua naskah atau artikel bisa diterbitkan. Sebut saja Sinta satu sampai enam untuk kategori jurnal nasional, dan Scopus atau WOS untuk kualifikasi Jurnal Internasional Bereputasi.
Nah, teman saya tadi adalah dalam rangka memenuhi syarat kualifikasi yang terakhir tersebut: Jurnal Internasional bereputasi. Untuk jabatan akademik tertentu, misalnya Guru Besar dan Lektor Kepala, memang ada klausul yang menegaskan ada publikasi di Jurnal kualifikasi tersebut.
Bahkan untuk jabatan Guru besar, masih ada kualifikasi rigid berupa angka SJR (Scimago Journal Ranking) dan IF (Impact Factor). Hal ini tentu saja menjadi problem tersendiri di kalangan akademisi. Tidak heran jika kemudian ada yang mengistilahkan dengan “hantu scopus”, karena diaggap begitu “menakutkan” bagi beberapa kalangan untuk karir akademiknya.
Celakanya, Scopus yang tampak “disakralkan” tersebut juga tidak luput di beberapa problem. Sebut saja persoalan kapitalisasi.
Jurnal berbayar
Beberapa jurnal yang sudah mendapat “lisensi” Scopus, tidak sedikit yang tergoda oleh gejala komersialisasi ini. Dengan berlindung di bawah payung lisensi tersebut, mereka seakan bebas berbuat apa saja.
Yang paling jelas dalam hal ini adalah menerbitkan jumlah artikel di luar batas kewajaran. Karena, semakin bayak artikel yang terbit, maka akan semain banyak pula “pundi-pundi” yang didapatkan oleh jurnal tersebut. Mengingat setiap artikel yang terbit mensyaratkan adanya biaya terbit atau APC (Article Processing Charge).
Dan ini sungguh bisnis yang menggiurkan. Saya pernah iseng menghitung, sebuah jurnal dalam satu tahun menerbitkan 15 nomor, setiap nomor berisi kisaran 200 an artikel. Setiap artikel dibandrol dengan tarif sekitar Rp 5 juta (tentunya dalam bentuk dollar). Mari kita hitung: 15 x 200 x 5.000.000 = 15.000.000. Ya betul, Rp 15 miliar dalam satu tahun.
Kabar baiknya, jurnal-jurnal tersebut bukanlah jurnal yang berasal dari Indonesia. Kabar baik yang kedua – barang kali malah kabar buruk bagi beberapa orang – jurnal-jurnal tersebut banyak yang sudah “diciduk” dari Scopus. Meskipun saya yakin seyakin-yakinnya, masih banyak pula jurnal yang “belum terciduk”.
Apakah ini berarti bahwa setiap jurnal yang berbayar pasti buruk? Tentu tidak. Justru, beberapa jurnal terbaik adalah jurnal yang berbayar. Namun jika kita amati polanya, sebenarnya kita akan tahu “trend” dan kecenderungan jurnal yang akan terciduk tersebut, dengan parameter sederhana: jumlah terbitan yang luar biasa, tanpa ada proses review yang standar dan berbayar.
Ada calo