OPINI
OPINI Edy Supratno : Peperangan Muria yang Terlupakan
Patung setengah badan Mayor Koesmanto yang ada di halaman kantor LVRI Kudus menjadi satu-satunya patung di kompleks perkantoran Mejobo, Kudus.
Di awal November 1949, De Locomotief, koran berbahasa Belanda yang terbit di Semarang memuat kisah tentang pasukan Belanda di Semarang yang akan pulang kampung ke negeri Belanda. Mereka adalah pasukan 3-7 RI di Batalyon Semarang yang berada di kota ini sejak 1946. Pada September 1947, pasukan ini berhasil menguasai Demak dan pada Oktober dalam tahun yang sama, pasukan ini kehilangan banyak prajurit karena terkena ranjau.
Mulai April 1948 sampai 19 Desember 1948 pasukan 3-7 RI ini diperankan sebagai Divisi Cadangan dan sering melakukan operasi, termasuk menjadi bagian saat Belanda melakukan Agresi Militer II ke wilayah Demak-Kudus hingga ke Cepu.
Dengan kendaraan lapis baja, mereka membombardir area yang dilewatinya. Menang dalamalat persenjataan, pasukan ini hanya mengalami kerugian kecil, yaitu enam prajurit yang terluka ringan. Meski tidak secara spesifik menyebut nama Macan Putih, namun dari cerita mereka dapat diketahui bagaimana aksi-aksi yang dilakukan Mayor Koesmanto dan kawan-kawan (De Locomotief:1949,3).
Mayor Koesmanto memilih wilayah pegunungan Muria sebagai lokasi basis pertahanan karena beberapa alasan. Alasan pertama karena faktor keamanan. Pasukan TNI sudah tidak memungkinkan bertahan di wilayah kotaKudus, Pati, dan Jepara karena kalah persenjataan dari pasukan Belanda.
Alam pegunungan Muria yang memiliki banyak hutan menjadi tempat yang cocok untuk taktik perang gerilya yang membutuhkan banyak tempat persembunyian. Alamnya yang bertebing menjadi tameng alami ketika melakukan pencegatan terhadap pasukan musuh.
Satu hal yang tidak bisa ditinggalkan adalah karena faktor ketersediaan air bersih dan logistik. Di wilayah pegunungan Muria hal-hal pokok ini mudah ditemukan, baik yang bersumber dari alam maupun dari bantuan masyarakat setempat. Di sinilah contoh konkret dari kemanunggalan antara alam, masyarakat, dan prajurit TNI.
Di Desa Glagah Kulon, Kecamatan Dawe ada satu warga yang rela rumahnya dijadikan markas Komando Daerah Muria. Rumah sederhana itu menghadap utara dan berdiri di atas tanah seluas 227 m2. Dari sinilah Koesmanto mengendalikan taktik penyerangan walau di rumah tersebut tidak ditulisi sebagai markas komando. Di sini pula Kahartan yang menjabat sebagai Bupati Militer Kudus menjalankan tugas-tugasnya meskipun tanpa perangkat kerja seperti kantor bupati yang berada di kota.
Warga yang merelakan rumahnya dijadikan markas TNI tersebut adalah Modirono Sarbu. Ini adalah salah satu bentuk perjuangan tanpa senjata dari seorang warga desa demi kembalinya kemerdekaan Indonesia, demi tegaknya Merah Putih, atau sedikitnya demi kembalinya PG Rendeng ke pangkuan Bumiputra. Di luar Sarbu banyak sekali masyarakat Muria yang memberi support dalam bentuk lain kepada perjuangan TNI, di antaranya berbentuk bantuan logistik.
Markas Macan Putihpernah mengalami sasaran emosi saat penyerbuan pasukan Belanda. Mereka sangat marah karena menjumpai rumah Sarbu ini sudah tanpa penghuni. Masyarakat menceritakan, Mayor Koesmantodan pasukannya bisa selamat karena mendapat bisikan dari seekor macan agar segera meninggalkan markas karena Belanda akan menyerang.
Pemaknaan Situs Bersejarah
Letnan Kolonel J.M. Koeman dan Mayor C.M. Schilperoord, komandan pasukan Belanda yang maju di medan perang mengakui bahwa mereka mendapat perlawanan sengit saat menerobos Kudus hingga Blora.
Banyak jembatan putus untuk menghambat pasukan Belanda. Pengakuan ini diberitakan di koran berbahasa Belanda. Karena kendala bahasa saya menduga tidak semua pasukan Komando Daerah Muria pernah membaca berita itu sehingga tidak tahu bahwa pasukan Indonesia telah dinilai hebat oleh musuh.
Sayangnya kehebatan ini tidak banyak diketahui oleh masyarakat, termasuk generasi muda di wilayah Muria. Hal ini tidak lain karena peristiwa heroik ini kurang terakomodasi dalam catatan sejarah nasional dan juga sejarah lokal.
Membaca buku sederhana yang disusun Kodim 0722 Kudus pada 1973, saya menangkap kerendahan hati dari penyusunnya, yang di antaranya adalah Letnan Satu Tona’im, pelaku sejarah dari Komando Daerah Muria.
Di halaman 22 dalam buku berjudul Sejarah Perjuangan Gerliya Semesta Komando Daerah Muria Kudus itu, penyusun buku ini menyadari bahwa dibandingkan peristiwa lainnya di Indonesia, apa yang dilakukan prajurit Komando Daerah Muria dan Pasukan Macan Putih hanya bagaikan sebuah auman macan kecil.