Liputan Khusus
Kelompok Rentan Tapi Bukan Sasaran Terdepan Penerima BPUM
"Dulu proses pencairan ribet sekali. Sudah riwa riwi tapi tetap tak berhasil. Tahun 2021, saya juga tidak dapat BPUM...." kata Adib, Ketua Sadifa
Tiap pekan, kumpulan untuk membayar cicilan pinjaman Mekaar digelar di rumah Yuli.
Saat ada progam BPUM, seluruh kreditur yang dikoordinirnya didaftarkan Mekaar sebagai calon penerima bantuan untuk pelaku usaha mikro terdampak Covid-19.
Namun ternyata hanya 12 orang saja yang menerima BPUM. Praktis, masih ada puluhan kreditur lain, termasuk dirinya yang tidak tercatat sebagai penerima BPUM.
Yuli menyayangkan hal ini. Sebab dari 12 penerima, mayoritas justru bukan pelaku usaha mikro, namun hanya sekadar kreditur saja.
“Saya ini punya usaha kerajinan mebel malah tidak dapat. Termasuk Siti Murni yang juga koordinator kreditur Mekaar juga tidak dapat BPUM. Akhirnya saya bilang kepada penerima agar berbagi BPUM. Tiap penerima Rp200 ribu. Uang itu lalu saya bagi dengan Siti Murni. Ini untuk solidaritas karena kami yang mengurusi,” jelas Yuli.
Tidak validnya data penerima BPUM juga terlihat di Desa Mindahan. Tetangga Yuli yang bernama Mariyati dan Masrukin. Pada 2020, pasangan suami istri dapat BPUM.
Masrukin mendapat Rp2,4 juta. Lalu istrinya Mariyati juga memperoleh Rp2,4 juta. Padahal usaha yang digeluti pasutri itu hanya satu, yakni kerajinan mebel.
Ternyata Masrukin mendapat BPUM hasil usulan dari BMT USA Cabang Batealit. Sedang Mariyati merupakan kreditur Mekaar yang dikoordinir Yuli.
Saat dikonfirmasi, baik Masrukin maupun Mariyati tak menyangka jika bakal dapat BPUM dobel. Masrukin mengaku tak tahu kalau namanya diusulkan BMT USA dan bahkan dapat BPUM.
Sedang Mariyati tahu kalau namanya diusulkan lewat Mekaar. Hanya saja, ia juga tak menyangka bakal dapat BPUM. Sebab banyak kreditur dalam grupnya malah tidak dapat bantuan dari pemerintah untuk pelaku usaha mikro terdampak Covid-19 itu.
“Kita bersyukur sekali karena saya dan suami dapat semua,” ujar Mariyati.
“Waktu itu usaha mebel sedang seret, permintaan turun. Jadi sangat membantu sekali. BPUM itu ada yang saya pakai untuk beli kayu dan bahan lainnya. Ada juga yang dipakai untuk kebutuhan hidup sehari-hari,” timpal Masrukin.
Anggaran BPUM 2020 sebesarRp28,8 triliun
Tahun 2020, BPUM diberikan kepada 12 juta pelaku usaha mikro dengan anggaran Rp28,8 triliun. Tiap pelaku usaha mikro dikucuri Rp2,4 juta.
Tahun 2021, BPUM menyasar 12,8 juta pelaku usaha mikro. Anggaran yang disiapkan pemerintah sebesar Rp15,36 triliun untuk 12,8 juta pelaku usaha mikro.
Tiap pelaku usaha mikro dikucuri Rp1,2 juta. Tahun 2022, BPUM ditargetkan menyasar 12,8 juta pelaku usaha mikro. Tiap usaha mikro dijatah Rp600 ribu.
Adib hanya salah satu nama pelaku usaha mikro dari kalangan disabilitas yang urung mendapat BPUM. Ada juga disabilitas lain seperti Said Asy’ari dan Mohammad Abrorul Falah yang bernasib sama. Namanya muncul sebagai penerima BPUM, namun bantuan pemerintah itu tak bisa dicairkan.
Said Asy’ari yang merupakan perajin Tenun Troso gagal mencairkan BPUM karena tidak sinkronnya angka terakhir yang tertulis dalam nomor induk kependudukan atau KTP dan Kartu Keluarga (KK). Dalam dokumen NIK angka terakhir tertulis 2, sedang pada KK 3.
Sedang Mohammad Abrorul Falah juga gagal menerima BPUM karena “kesalahan” sistem. Namanya tercatat sebagai penerima BPUM, namun nomor induk kependudukan (NIK) yang tercantum justru milik ibunya.
Lelaki penyandang tuna daksa ini berusaha mengurusi persoalan itu ke pihak-pihak terkait. Namun hingga batas waktu yang ditentukan, tidak sinkronnya nama dan NIK tersebut tak bisa diatasi.
Ia pun harus merelakan Rp2,4 juta jatah BPUM tahun itu. Pada 2021, Falah yang aktif di Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Kabupaten Jepara ini masih berkutat dengan persoalan yang sama.
Lagi-lagi, ia harus membiarkan BPUM sebesar Rp1,2 juta menguap.
“Sebenarnya itu (tidak sinkronnya nama dan NIK) itu bukan dari saya. Itu kesalahan mereka, tapi justru karena alasan itulah saya gagal dapat BPUM,” sesal Abrorul Falah.
Nasib serupa juga dialami Uswatun Chasanah (63), warga Jalan Mawar Indah No 20, Jepara. BPUM tahun 2021 sebesar Rp1,2 juta jatahnya hangus gara-gara melewati tahun anggaran.
Persoalannya, hal itu bukan karena kesalahan lansia yang hidup sendiri ini. Namun karena pihak lainnya.
Pihak BRI sebenarnya sudah mengirim surat pemberitahuan penerimaan BPUM ke alamat Uswatun Chasanah. Surat tersebut dikirm pada 30 November 2021 melalui kantor pos.
Namun ternyata surat tersebut baru sampai di rumah lansia ini pada 4 Januari 2022. Tentu saja, BPUM sebesar Rp1,2 juta itu tak bisa dicairkan. Sebab batas waktu terakhir pencairan BPUM 2021, pada tanggal 31 Desember 2021.
Anak Uswatun Chasanah yang bernama Toni J, sudah berkirim surat ke Gubernur Jateng Ganjar Pranowo. Ia juga melaporkan hal ini melalui portal Lapor Gub.
Tak hanya itu, Toni dan Uswatun Chasanah juga datang ke Semarang dan bertemu dengan Kepala Dinkop UKM Jateng, Ema Rachmawati. Namun tetap saja, BPUM jatah Uswatun Chasanah hangus.
Kasus Adib dan sejumlah disabilitas yang urung mendapat BPUM, adanya potongan yang dialami Nunung atau hangusnya BPUM jatah Uswatun Chasanah hanya potret kecil persoalan yang muncul di lapangan.
Selain itu, ada juga beragam persoalan lain yang mengakibatkan hampir separo anggaran BPUM tahun 2020 tak tersalurkan kepada para pelaku usaha mikro terdampak Covid-19.
Berdasar data Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) progam BPUM 2020 yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), diketahui jika ada dana BPUM sebesar Rp16,72 miliar yang belum disalurkan, terlambat disalurkan Rp588,62 miliar, tidak dapat disalurkan Rp1,66 triliun, serta belum dicairkan oleh masyarakat Rp12,61 triliun.
Tak hanya itu, ada juga penerima BPUM yang salah sasaran. Berdasar catatan BPK, ada 418.947 penerima yang mestinya tak berhak dikucuri BPUM.
Nilai BPUM yang kadung disalurkan untuk penerima salah sasaran ini sebesar Rp1 triliun. Padahal mestiya mereka tidak berhak mendapat BPUM karena ada yang berstatus TNI/Polri atau ASN.
Persoalan ini terjadi karena proses pengusulan, pembersihan dan validasi data serta penetapan penerima BPUM yang tidak memadai.
Hasil pemeriksaan BPK juga menunjukkan jika penetapan target 12 juta pelaku usaha penerima BPUM tahun 2020 tidak didukung dengan data yang akurat, update dan lengkap.
Kepala Bidang UMKM Dinkopumkmnakertrans Kabupaten Jepara, Ririn Haryati mengatakan
BPUM tahun 2020 memang banyak celah. Celah itu berasal dari banyak hal. Mulai dari adanya sejumlah lembaga yang bisa mengusulkan pelaku usaha mikro calon penerima bantuan hingga rentang waktu pelaksanaan bantuan yang singkat.
Informasi pelaksanaan BPUM diterima Dinkopumkmnakertrans Jepara sekitar September. Dan harus rampung Oktober.
Padahal ada berbagai urusan administrasi yang harus dirampungkan. Pihaknya menerima berkas dari berbagai lembaga pengusul. Dinkopumkmnakertrans juga menerima usulan dari desa.
Berbagai usulan itu lantas dikirimkan ke Pemprov Jateng dan juga sekaligus Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Jateng.
Dari provinsi, usulan itu lantas ditelaah dan selanjutnya dikirim ke Kementrian Koperasi dan UKM untuk diverifikasi.
Urusan administrasi itu saja sudah membuat Ririn kelimpungan. Maklum, SDM yang dimilikinya terbatas. Ia hanya membawahi dua kepala seksi dan dua staf. Terbatasnya SDM itu membuat proses verifikasi berkas calon penerima BPUM tak maksimal.
Waktu itu, ada ratusan ribu berkas pelaku usaha mikro yang masuk. Verifikasi akhirnya dilakukan secara acak. Imbasnya, ada UMKM yang diusulkan malah tercecer, namun ada yang tak masuk usulan tiba-tiba tercantum sebagai penerima bantuan.
Pada 2020, NIB atau IUMK tidak jadi satu-satunya ukuran. Jika pelaku usaha mikro tidak memiliki NIB atau IUMK maka mereka masih berpotensi menerima bantuan asal menyertakan Surat Keterangan Usaha (SKU) dari desa.
Hal itu membuka celah banyaknya usulan dari desa. Ririn sempat menemukan ada banyak berkas usulan dari desa yang tak sesuai ketentuan.
Ia mencontohkan ada empat berkas yang sebenarnya milik satu pelaku usaha. Hal itu diketahui Ririn dari foto tempat usaha yang memang wajib dilampirkan dalam berkas tersebut.
“Usulan dari desa yang masuk ke kita banyak yang dobel, bahkan lebih dari itu. Semisal usahanya jualan buah, hanya satu unit usaha, namun berkas yang dimasukkan ada tiga hingga empat.
Caranya meski latar belakang tempat usahanya sama, namun orang di dalam foto itu berbeda-beda. Setelah diperiksa dengan seksama, kita meyakini kalau itu hanya satu unit usaha.
Akhirnya beberapa berkas lain yang serupa kita coret. Prinsipnya satu usaha maka hanya satu pelaku usaha yang bisa dapat BPUM, agar tidak dobel anggaran,” jelasnya.
Progam BPUM kembali diluncurkan pada 30 Juli 2021. Kali ini, lembaga pengusul hanya Dinas Koperasi dan UMKM saja. Berbagai lembaga pengusul yang sebelumnya ada pada 2020, sudah tak dilibatkan lagi.
Namun tetap saja muncul celah di lapangan. Semisal aduan atau laporan terkait pemotongan BPUM. Kasus itu mencuat di sejumlah daerah.
Beberapa di antaranya seperti di Kabupaten Jepara, lalu di di Indramayu (Jawa Barat) dan Deli Serdang (Sumatra). Pemotongan BPUM juga ditemukan di Banyuwangi.
Bahkan kasusnya sudah ditangani oleh kejaksaan setempat.
Aduan terkait pemotongan BPUM juga mencuat di Kabupaten Kudus. Aduan yang masuk ke Disnakertrans Kudus itu menyebut jika pemotongan BPUM terjadi di empat desa di Kecamatan Kaliwungu. Rinciannya yakni Desa Karangampel, Mijen, Kaliwungu dan Gamong.
Disebutkan, potongan itu dibagi untuk beberapa pihak. Mulai dari perangkat desa hingga pegawai Dinas Nakertrans, Koperasi dan UKM Kudus.
Meskipun berdasar hasil penelusuran Disnakertrans, Koperasi dan UKM Kudus, tidak ditemukan bukti yang kuat adanya pemotongan BPUM itu.
Persoalan lain di lapangan yakni ada pihak-pihak tertentu yang berusaha “menunggangi” kebijakan itu. Di Jepara misalnya, sejumlah lembaga, anggota DPRD Jateng hingga “staf khusus” mantan Bupati Jepara disebut mengumpulkan para pelaku usaha mikro untuk didaftarkan kolektif sebagai calon penerima BPUM.
Di Kabupaten Kudus juga sama. Ada pihak yang mengaku “orang” dari anggota DPR RI Dapil Jateng II (Kudus, Jepara dan Demak) Musthofa yang melakukan pendaftaran secara kolektif para pelaku usaha mikro di Kota Kretek.
Tak tanggung-tanggung, sekali setor ada ratusan berkas usulan yang ditumpuk di Kantor Dinas Nakertrans, Koperasi dan UKM Kudus.
Saat media ini berkunjung ke Kantor Dinas Nakertrans, Koperasi dan UKM Kudus, berkas usulan BPUM dari mantan Bupati Kudus dua periode itu masih ada.

Di atas salah satu tumpukan, tertulis berkas usulan BPUM tahap 3 dari DPR Bp Musthofa wilayah Kecamatan Jati, 1 – 117 (berkas). Ada juga yang tertulis wilayah Kecamatan Kota, Gebog dan lainnya.
Berkas usulan Musthofa itu bertumpuk di atas meja bersanding dengan tumpukan berkas BPUM bermasalah dari berbagai kecamatan di Kudus.
Anggota DPR RI Musthofa mengakui jika timnya melakukan pendaftaran kolektif pelaku usaha mikro untuk diproyeksikan sebagai calon penerima BPUM.
Menurutnya, upaya tersebut merupakan aspirasi pelaku usaha mikro yang ditangkapnya dan berusaha dicarikan solusinya.
Terlebih saat pandemi Covid-19, para pelaku usaha mikro ini sangat merasakan dampak ekonomi imbas dari pembatasan kegiatan masyarakat, penurunan daya beli dan lainnya.
Di sisi lain, berdasar LHP BPK, ternyata pada 2020, ada ratusan ribu penerima BPUM yang salah sasaran. Musthofa ingin agar penyaluran BPUM tahun 2021 dan seterusnya benar-benar dinikmati oleh para pelaku usaha mikro.
“Saya di Komisi XI DPR, mitra kerja kita BPK. Jadi tahu betul soal LHP terkait BPUM. Makanya saya ingin BPUM itu benar-benar tepat sasaran.
Saya ini pembina Forum UMKM Jawa Tengah. Masyarakat banyak yang datang ke rumah aspirasi saya, dan keinginan mereka itu.
Jadi saya instruksi ke staf di rumah aspirasi agar membantu para pelaku usaha mikro yang terdampak ini. Saya sortir agar dapat yang benar-benar UMKM. Lalu salahnya dimana?" tanya Musthofa.
Menurut Musthofa, tim rumah aspirasinya tak hanya mendata saja. Namun juga melatih pelaku usaha mikro itu agar bisa bikin Nomor Induk Berusaha (NIB), karena itu salah satu syarat agar dapat BPUM.
Terkait hal itu, ia mengeluarkan uang dari kantong pribadi untik melatih pelaku usaha mikro itu. Uang itu untuk membeli paket data hingga konsumsi mereka.
"Saya ini justru berjuang membantu mereka. Jadi salah besar anggapan kalau saya memfasilitasi pendaftaran kolektif itu karena nanti akan dimanfaatkan atau ada sesuatu semisal memotong jatah mereka.
Toh, kalau cair itu masuk rekening mereka dan saya memang sejak awal menegaskan tidak bakal ada potongan BPUM. Silakan cek ke pelaku usaha mikro itu."
"Jangan dikira pelaku usaha mikro itu langsung bisa buka web, daftar secara online kalau tidak ada yang memfasilitasi. Saya ini justru ikut membantu pemerintah," ucap mantan Bupati Kudus dua periode ini.
Sayangnya, upaya Musthofa itu justru terbentur masalah. Pihak Disnakertrans, Koperasi dan UKM Kudus tidak mengirim berkas usulannya ke pemerintah provinsi dengan dalih masa pendaftaran progam BPUM sudah tutup.
Ia akhirnya harus memberi penjelasan kepada para pelaku usaha mikro yang diusulkan sebab tdak dikirimnya berkas itu di luar kewenangannya.
"Saya selaku anggota DPR memperjuangkan aspirasi masyarakat tapi malah pemkab dalam hal ini Disnakertrans, Koperasi dan UKM Kudus malah tidak hadir membantu mereka. Ini yang kita sayangkan," sesalnya.
Hingga kini, dokumen usulan BPUM dari Musthofa dan berkas bermasalah lainnya memang dibiarkan tertumpuk dan tak dikirim ke Dinkop UKM Jateng. Alasan tak dikirimnya berkas itu beragam.
Mulai dari usahanya fiktif, tidak mendaftar secara online hingga berkas diusulkan saat waktu pendaftaran sudah ditutup.
Dwi Rahayu merupakan salah satu nama pelaku usaha mikro yang ada di tumpukan berkas BPUM usulan Musthofa.
Dwi Rahayu yang mantan ketua RT ini mengaku mendaftar BPUM setelah dikoordinir oleh Ketua RW 3 Desa Nganguk Soleh.
Saat dikonfirmasi, Soleh mengaku sebagai timnya Musthofa. Ia memang mengkoordinir pendaftaran pelaku usaha mikro untuk BPUM di RW 3.
Hanya saja, meski berusaha lewat “jalur khusus” namun Soleh tak termasuk penerima BPUM. Ia tak tahu alasannya.
“Berkas usulan BPUM di RW 3 yang saya koordinir tidak ada yang lolos. Padahal saya ini riil jualan nasi kucing. Mbak Dwi juga pelaku usaha mikro jualan es dawet dan gempol, tapi tetap tak dapat BPUM,” jelas Soleh.
Kepala Dinas Nakertrans, Koperasi dan UKM Kudus, Rini Kartika Hadi Ahmawati mengatakan terkait BPUM pihaknya bekerja sesuai SOP yang ditentukan.
Pihaknya tak mempermasalahkan berkas pelaku usaha mikro itu diusulkan siapa. Terpenting berkas tersebut memenuhi sejumlah persyaratan yang ditentukan pusat.
“Pada prinsipnya sepanjang memenuhi ketentuan pasti kita proses. Kalau tidak sampai kita kirim ke provinsi pasti karena ada sesuatu. Pelaku usaha mikro itu misalnya berkas tidak lengkap, fiktif atau saat didaftarkan sudah melewati batas akhir,” jelasnya.
Berdasar SK Kementrian Koperasi dan UKM, pada 2020 tercatat ada 1.654.035 pelaku usaha mikro di Jawa Tengah yang tercatat sebagai penerima BPUM. Tiap pelaku dikucuri bantuan Rp2,4 juta. Sehingga jika ditotal nominal BPUM mencapai Rp3,96 triliun.
Sedang pada 2021, jumlah penerima menyusut. Hanya tinggal 1.600.314 pelaku usaha mikro yang menerima BPUM. Tiap penerima dikucuri Rp1,2 juta. Sehingga jika ditotal nominal BPUM tahun itu mencapai Rp1,92 triliun.
Di Jawa Tengah, penyaluran BPUM tahun 2021 masih diwarnai dengan sejumlah masalah. Hal ini diketahui dari hasil reviu progam BPUM tahun 2021 yang dilakukan Bidang IPP Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Provinsi Jawa Tengah.
Review BPKP Jateng memang hanya dilakukan di Kabupaten Boyolali. Namun BPKP menegaskan jika review itu juga bisa dipakai sebagai gambaran penyaluran BPUM di wilayah Provinsi Jateng.
Hasil reviu BPKP Perwakilan Jateng menunjukkan jika data penerima BPUM tahun 2020 tidak dikonfirmasi ulang.
Data usulan calon penerima BPUM tidak sesuai dengan petunjuk pelaksanaan yang ditetapkan. Alamat tidak lengkap dengan nomor yang valid.
Lalu status sebagai pelaku usaha mikro berbeda antara usaha dan yang tercatat pada Surat Nomor Induk Berusaha (SNIB) atau Surat Keterangan Usaha (SKU).
“Realisasi penyaluran BPUM belum maksimal,” demikian tertulis dalam laporan reviu BPKP Perwakilan Jateng.
BPKP Jateng menyarankan agar dilakukan verifikasi atau validasi ulang saat penyaluran BPUM tahun 2022.
Selain itu, juga ada penambahan syarat untuk calon penerima BPUM. Semisal swafot calon penerima BPUM di depan usaha yang dimilikinya.
Agar hasilnya maksimal, pokja provinsi atau kabupaten/kota dapat berkoordinasi dengan KPA dan lembaga penyalur.
Semisal melakukan pemutakhiran database penerima BPUM dan memantau pencairan BPUM benar-benar tanpa potongan atau biaya lainnya.
Kepala Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Jawa Tengah, Ema Rachmawati mengatakan tak ada prioritas khusus bagi kalangan disabilitas dalam progam bantuan BPUM.
Mereka diperlakukan sama seperti pelaku usaha mikro lainnya.
Terkait verifikasi calon penerima BPUM diakuinya memang tak maksimal. Hal itu lantaran
trend kasus Covid-19 pada 2020 yang terus melonjak. Saat itu, juga diterapkan kebijakan pembatasan interaksi.
“Proses yang dilakukan hanya verifikasi berkas, tidak sampai cek kondisi lapangan. Masyarakat berbondong – bondong daftar ka kantor dinas, tapi karena khawatir tertular akhirnya mereka diminta meninggalkan berkas. Setelah terkumpul dan berkas disterilisasi baru dilakukan verifikasi. Karena berkasnya sangat banyak maka verifikasi dilakukan acak karena waktunya juga dibatasi,” jelasnya.
Terkait BPUM 2022, menurut Ema hingga kini belum ada petunjuk teknis (juknis) dari Kemenkop dan UKM serta Kemenko Perekonomian.
Praktis, pihaknya juga belum bisa memastikan berapa jumlah pelaku usaha mikro yang disasar maupun anggaran yang dikucurkan pemerintah.
“Kalau juknis sudah ada kita langsung laksanakan,” tandas Ema.
Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Agus Sarwono mengatakan meski sudah dijalankan dua tahun selama pandemi Covid-19, namun hingga kini data pelaku usaha mikro calon penerima BPUM tidak solid.
Menurutnya, pandemi menunjukkan jika pemerintah memang tidak serius menggarap database pelaku usaha.
Meski ada progam dan anggaran tapi jika datanya tidak valid maka berpotensi terjadi pemborosan uang negara. Selain itu out put yang diharapkan juga tidak tercapai.
"Siapa yang bisa menjamin jika BPUM tidak habis untuk konsumsi. Padahal mestinya itu untuk menunjang kegiatan usaha saat pandemi," jelasnya.
Tahun 2020 jumlah pelaku usaha penerima BPUM sebanyak 12 juta, lalu 2021 12,8 juta pelaku usaha. Sedang untuk BPUM 2022 belum jelas.
Meskipun soal anggaran, Kemenkop dan UKM sudah mengajukan dana sebesar Rp7,68 triliun ke Kementrian Keuangan.
Anggaran itu diproyeksikan untuk 12,8 juta pelaku usaha mikro penerima BPUM. Tiap penerima dikucuri Rp600 ribu.
Agus Sarwono juga mempertanyakan apakah BPUM tepat sasaran. Pada BPUM 2020 dan 2021 pihaknya mendapat banyak laporan terkait BPUM.
Mulai dari laporan adanya potongan, praktik percaloan pembuatan IUMK yang merupakan syarat penting bagi pelaku usaha penerima BPUM, adanya pelaku usaha mikro yang justru tercecer dari daftar penerima dan lainnya.
Hal itu juga diperkuat hasil laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun data Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK yang menermukan penerima bermasalah dalam penyaluran BPUM.
Menurut BPK, persoalan ini terjadi karena proses pengusulan, pembersihan dan validasi data serta penetapan penerima BPUM yang tidak memadai.
“Mestinya untuk tahun 2022, pemerintah harus lebih transparan soal data. Sumber data dari mana, siapa saja penerimanya, bagaimana mekanisme penyalurannya dan seterusnya,” tandas Agus. (M Olis)
Data Progam BPUM
1. Progam BPUM pertama kali diluncurkan Presiden Joko Widodo pada 24 Agustus 2020. Lalu progam serupa kembali diluncurkan pada 30 Juli 2021. Sedang BPUM tahun 2022 pemerintah belum memastikan waktu pelaksanaannya.
2. Tahun 2020, anggaran dana BPUM ditetapkan sebesar Rp28,82 triliun dan diproyeksikan untuk 12 juta pelaku usaha mikro (realisasi tidak mencapai 100 persen). Tahun 2021, anggarannya Rp15,36 triliun untuk 12,8 juta pelaku usaha mikro (realisasi 100 %). Sedang tahun 2022, anggarannya Rp Rp7,68 triliun untuk 12,8 juta pelaku usaha mikro.
3. Berdasar data Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK progam BPUM 2020, hingga 31 Oktober, anggaran yang berhasil disalurkan Rp21,97 triliun atau 76,25 % dari total alokasi anggaran sebesar Rp28,82 triliun. Realisasi BPUM tersebut dilaksanakan dalam 19 tahap penyaluran dengan total penerima BPUM sebanyak 9.157.098 pelaku usaha mikro yang tersebar di seluruh kabupaten/kota di Indonesia.
4. Dana BPUM tahun 2020 yang belum disalurkan sebesar Rp16,72 miliar, terlambat disalurkan Rp588,62 miliar, tidak dapat disalurkan Rp1,66 triliun, serta belum dicairkan oleh masyarakat Rp12,61 triliun.
5. Berdasar catatan BPK, ada 418.947 penerima yang mestinya tak berhak dikucuri BPUM. Nilai BPUM yang kadung disalurkan untuk penerima salah sasaran ini sebesar Rp1 triliun. Para penerima BPUM salah sasaran ada yang berstatus TNI/Polri atau ASN.
BPUM bermasalah tahun 2020 dan 2021
1. Laporan Iktisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2020 BPK mencatat Rp1,18 triliun terdistribusi untuk 414.590 penerima bermasalah.
2. Dalam laporan BPK, sebanyak Rp101 miliar disebut mengalir ke 42.487 orang dengan status sebagai ASN, TNI, Polri, pegawai BUMN dan BUMD. Meskipun Kemenkop UKM membantah telah salah memberikan dana BPUM untuk para ASN ataupun aparat penegak hukum. Mereka mengaku sudah menelusuri data tersebut dan mengklaim tidak semuanya benar. Alasannya, ada pelaku UKM yang dulu terdata PNS atau aparat, sekarang sudah pensiun sebagai PNS, TNI-Polri.
3. Selain itu, sebanyak Rp3,34 miliar mengalir ke 1.392 penerima yang mendapatkan lebih dari sekali dana BPUM. Kemudian Rp46,4 miliar mengalir untuk 19.348 penerima yang tidak memiliki usaha mikro.
4. Berdasar ketentuan, mestinya penerima kredit perbankan tak boleh dikucuri BPUM. Namun BPK menemukan ada 11.830 penerima yang sedang menerima kredit perbankan juga mendapatkan BPUM, total dana yang tersalurkan Rp28,3 miliar. Sebanyak 280.815 penerima dengan NIK tidak padan juga menerima, total dana mencapai Rp673,9 miliar. Rp49 miliar tersalurkan untuk 20.422 penerima dengan NIK anomali.
5. Ditemukan pula BPUM yang diberikan kepada penerima yang sudah meninggal sebanyak 38.278 penerima, yaitu sebesar Rp91,8 miliar. BPUM yang diberikan kepada penerima yang sudah pindah ke luar negeri sebanyak delapan penerima sebesar Rp19.200.000.
6. Penyaluran dana BPUM pada 22 penerima sebesar Rp52.800.000 tidak sesuai lampiran Surat Keputusan (SK) Penerima BPUM. Serta terdapat duplikasi penyaluran dana BPUM kepada satu penerima sebesar Rp2.400.000.
7. Untuk keperluan penyaluran dana BPUM, Kementerian Koperasi dan UKM telah membuka rekening penampungan pada dua bank penyalur untuk menampung dan menyalurkan dana BPUM. BPK mengungkapkan beberapa permasalahan lain yaitu, dana BPUM sebesar Rp145,2 miliar atas 60.502 penerima telah diaktivasi meskipun berstatus diblokir.
8. Kasus pemotongan BPUM terjadi di sejumlah daerah.Di Kabupaten Jepara, Jateng misalnya ada potongan BPUM sebesar Rp200 ribu (dari Rp2,4 juta) yang dilakukan oleh ketua kelompok nasabah Mekaar PNM di Desa Mindahan, Kecamatan Batealit. Berdasar temuan TII, kasus serupa juga terjadi di Indramayu (Jawa Barat) dan Deli Serdang (Sumatra).
9. Bahkan ada juga kasus pemotongan BPUM yang diproses hukum. Hal ini seperti yang terjadi di Kabupaten Banyuwangi (Jawa Timur). Kejaksaan Negeri Banyuwangi menetapkan inisial S sebagai tersangka dalam kasus ini. Praktik pemotongan BPUM ini disinyalir terjadi sejak April 2021. Tiap penerima BPUM dipotong Rp300 ribu – Rp500 ribu. Dari pratik ini, S mengantongi uang hingga ratusan juta rupiah.
10. S merupakan warga Banyuwangi. Modus yang dilakukan S mengaku sebagai penolong pendataan agar calon penerima bisa lolos BPUM. Setelah itu, ia meminta bagian dengan dalih biaya administrasi. Aksi S ini terindikasi dilakukan di enam kecamatan yakni Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi, Kalibaru, Glenmore, Genteng dan Purwoharjo.
Sumber: BPK
Liputan ini merupakan kerja sama Tribun Jateng, Tempo.co, Philippine Center for Investigative Journalism (PCIJ), Tempo Institute, dan Kini Academy dalam program Fellowship SEA Covid-19 Financial Stimulus Package.