Opini
Opini Hamidulloh Ibda: Lato-lato dan Kebangkitan Permainan Tradisional
DEMAM permainan lato-lato pada masyarakat hakikatnya melahirkan potensi kebangkitan permainan tradisional di tengah maraknya electronic sports games (
Opini Ditulis Oleh Hamidulloh Ibda (Mahasiswa S3 Pendidikan Dasar UNY)
TRIBUNJATENG.COM - DEMAM permainan lato-lato pada masyarakat hakikatnya melahirkan potensi kebangkitan permainan tradisional di tengah maraknya electronic sports games (esports games), digital game atau online game. Sejak Presiden Jokowi dan Gubernur Jawa Barat memainkan lato-lato ketika bertandang ke Subang tak lama ini, makin membuat masyarakat heboh. Rasa ingin tahu dan memainkan lato-lato yang kemudian viral di tengah masyarakat harus dimaknai positif sebagai momentum kebangkitan permainan tradisional.
Mengapa penulis sebut kebangkitan? Sebab, selama ini permainan bukan soal hobi, namun juga menjadi industri yang melahirkan potensi ekonomi, penguatan karakter, dan pelestarian khazanah bangsa. Evos Esports (2022) menyebut dari total 274,5 juta gamers di Asia Tenggara, Indonesia berkontribusi 43 persen, dan menyumbang pendapatan sebesar Rp 30 triliun.
Jumlah pemain game PC di Indonesia menurut Kominfo sebanyak 53,4 juta orang dan 133,8 juta bermain game mobile (Kompas.com, 16/10/2022). Data ini menandakan game di Indonesia didominasi yang berbasis digital, sedangkan yang tradisional kian terpinggirkan bahkan terlupakan.
Media sosial memiliki pengaruh besar terhadap budaya masyarakat dalam menggunakan game. Penggunaan lato-lato bukan sekadar permainan, namun sarat akan nilai ekonomi dan di dalamnya terkandung banyak karakter luhur yang harus dikaji dan dikuatkan pada anak-anak kita. Demam lato-lato menjadi momentum untuk membangkitkan geliat ekonomi kreatif dan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya penguatan karakter dan pelestarian permainan tradisional.
Lato-lato dan Esports Game
Lato-lato berasal dari Amerika Serikat yang berkembang sekira tahun 1960-1970-an (Brilian, 2023). Permainan ini masuk ke Indonesia sekira tahun 1990-an dengan nama lain latto-latto, tok-tok, nok-nok, click-clacks, clackers, knockers, dan bolas (Rosmayanti, 2022).
Sedangkan esports games berkembang pesat hanya satu dekade terakhir yang mendominasi dunia game digital saat ini. Di sejumlah negara, lato-lato yang dulu terbuat dari kaca sempat dilarang berbahaya akibat pecahan kaca yang dapat melukai anak. Kemudian dibuatlah lato-lato dari plastik yang lebih aman dan ramah lingkungan yang sampai kini berkembang di masyarakat.
Eksistensi permainan tradisional lato-lato di tengah maraknya esports game ibarat hujan di tengah kemarau. Sebab, dukungan pemerintah terhadap esports game sangat masif dan menjadi tren dunia bahkan lebih dari 200 negara mendukungnya (Amalia, 2020).
Hal itu terbukti dengan adanya olimpiade nasional dan global seperti Asian Games 2018, SEA Games 2019, PON Papua 2020, bahkan Olimpiade 2024 Paris. Di Indonesia sendiri, esports games sudah diakomodasi ke dalam cabang olahraga dan telah terbentuk Persatuan Besar Esports Seluruh Indonesia (PBESI) dan Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia (FORMI). Hal itu semakin membahana ketika Timnas Esports Indonesia mendapatkan Juara Umum dalam IESF Bali 14th World Esports Championship 2022 yang masuk Rekor MURI.
Lato-lato dan esports games memang berbeda. Lato-lato masuk kategori permainan tradisional dan kovensional, sedangkan esports games termasuk olahraga berbasis game dengan peranti digital. Selain dihadapkan pada esports games, eksistensi lato-lato juga harus bisa menjawab menjamurnya online game seperti Mobile Legends, Roblox, Ball Pool, Call of Duty: Mobile, Arena of Valor (AoV), Stumble Guys, Free Fire, PUBG Mobile, Clash Royale, dan lainnya. Lalu, bagaimana masa depan lato-lato dan permainan tradisional lainnya?
Permainan Tradisional
Mengurus permainan tradisional tidak bisa main-main. Sebab, pelestari permainan tradisional sangat langka. Anak-anak yang memainkan permainan tradisional juga hanya di desa-desa, bahkan sekarang sudah tergantikan dengan gawai. Riset-riset tentang permainan tradisional juga tidak begitu tren karena yang “layak” dijual hari ini adalah game berbasis digital, siber, dan kontemporer.
Padahal, Indonesia memiliki ratusan permainan yang lahir dari local knowledge (pengetahuan lokal), local genius (kecerdasan lokal), dan local wisdom (kearifan lokal) yang sarat akan nilai-nilai luhur, karakter, dan berbeda dengan permainan digital.
Permainan tradisional Indonesia banyak ditemukan tahun 1970-an bahkan awal kemerdekaan. Seperti contoh Hompimpa atau Gambreng, Batu Gunting Kertas, Karetan, Engklek, Keongan, Gundu, Layang-layang, Congklak, Hula Hoop, Cas Jadi Patung, Ular Naga, Lop-lop Kandang Ayam, Kuda Loncat, Tak Tik Bom Wer, Tebak Wajah, Kereta Api, Cuci Kain Buaya belum Datang, Injit-injit Semua, ABC Ada Berapa, Patok Lele, Tarik Tambang, Gasing, Egrang, Tarik Tambang, Lempar Boy, Lompat Karung, Tarik Tambang, dan lainnya (Yulita, 2017: x-xi). Namun apakah orang tua, guru, dosen, dan masyarakat tahu dan peduli dengan permainan-permainan tradisional tersebut? Tentu tidak.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.