Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Semarang

Sejarah Pecinan Kota Semarang, dari Pengekangan Kolonial hingga Jadi Wilayah Multikulturalisme

Kawasan Pecinan Kota Semarang memiliki sejarah panjang. Pemerintah kolonial ternyata ikut andil dalam pembentukan kawasan tersebut.

Penulis: budi susanto | Editor: m nur huda
Tribun Jateng/ Budi Susanto
Suasana kawasan Pecinan Kota Semarang jelang Imlek 2023, Sabtu (14/1/2023). 


Catatan David Bulbeck dalam buku Chinese Economic Activity in Netherlands India terbitan 1992. Pemukiman berdasarkan etnis itu ditetapkan 1672.


Meski pemerintah kolonial mengelompokkan pemukiman berdasarkan etnis, namun sinergitas antar etnis di pecinan dan sekitarnya tetap terjalin baik.


Yang menarik, toleransi antar etnis justru terbangun lebih kuat dalam perjalanan pengelompokkan pemukiman etnis oleh pemerintah kolonial di Kota Semarang.


Bahkan menurut Asrida Ulinuha satu di antara pemerhati budaya dan sejarah Kota Semarang, pengelompokan pemukiman itu menjadikan kawasan Pecinan Kota Semarang sebagai kawasan multikulturalisme.


Jika dilihat dari sudut pandang antropologi, meski dikelompokkan masyarakat di Pecinan Kota Semarang tidak bisa lepas dari etnis lainya.


Ditambah kemiripan nasib dan kebudayaan, membuat masyarakat di Pecinan Kota Semarang mulai bekerjasama dengan etnis lainnya.


"Dari abad 17, sinergi itu terjalin hingga sekarang. Bahkan terjadi akulturasi budaya, satu di antaranya lontong cap go meh," terangnya, Sabtu (14/1/2023).


Terpisah, Sumarjo (68) satu di antara warga Gang Baru Pecinan Kota Semarang menuturkan, meski Pecinan Kota Semarang diisi oleh masyarakat Tionghoa namun hubungan antar etnis yang ada di wilayah sekitar berjalan secara baik.


Ia masih mengingatkan saat Imlek 1977, di mana masyarakat Tionghoa disuguhi tontonan wayang oleh masyarakat Jawa.


Tak hanya itu, ketika Idhul Fitri dan Natal. Masyarakat Tionghoa juga mendatangi satu persatu rumah warga yang merayakan.


"Benar-benar damai ketika itu meski saat orde baru ada stigma negatif bagi masyarakat Tionghoa, namun kami tidak merasa ada batasan. Baik masyarakat Tionghoa, Jawa, Arab dan lainnya tetap bersama-sama menjalankan kebudayaan masing-masing," imbuhnya.(*)

 

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved